Beda Zaskia Adya Mecca, Takmir, dan Santri ketika Lihat TOA Masjid

MOJOK.COMenjembatani etos kerja berlebih pengurus masjid dengan keluhan masyarakat yang diwakili oleh Zaskia Adya Mecca itu penting.

Belum lama, Zaskia Adya Mecca mengkritik penggunaan pengeras suara masjid untuk membangunkan sahur. Menurutnya, cara membangungkan model begitu (yang kata orang sedang hits), tidaklah etis.

Zaskia banjir kritik sekaligus dukungan. Istri sutradara kondang Hanung Bramantyo itu menghidupkan kembali persoalan TOA yang rasanya jauh dari kata usai.

Tentu Anda masih ingat persoalan TOA ini bisa berdarah-darah seperti kasus yang menimpa Meiliana beberapa tahun silam.

Saya mau mengomentasi situasi di atas dalam dua perspektif. Pertama, sebagai marbot musala; dan kedua sebagai santri.

Jelek-jelek begini, saya toh masih “dipaksa” sebagai penasihat struktur ketakmiran di satu musala di bilangan Bantul. Perlu diketahui bahwa ketakmiran masjid/musala merupakan salah satu sistem organisasi tertua di dunia.

Saya tidak berlebihan ketika menyebut itu. Sebab usia ketakmiran sama tuanya dengan usia masjid.

Anda tahu Universitas Al Azhar?

Yaps, universitas tertua di dunia yang dibangun pada tahun 970 M di Mesir itu bermula dari sebuah masjid. Begitupun adanya “madrasah”. Sebelum menjadi sekolah formal, ia hanyalah salah satu pojokan (zawiyah) dalam masjid.

Bisa disimak dalam Dairatul Ma’arif Al Islamiah (Ensiklopedia Dunia Islam) khususnya dalam entry: madrasa.

Bayangkan! Jika masjid-masjid tadi tidak ada yang mengurus, mungkinkah lahir madrasah dan universitas? Secara singkat, sistem dan organisasi ketakmiran telah menjadi “Ibu” bagi sistem dan organisasi keagamaan yang lahir belakangan.

Nah, di dunia modern, agar terus eksis, ketakmir perlu dana dan program. Maka muncullah kotak infak. Tapi ada dana saja tanpa program kan lucu? Maka muncullah program-program macam pembangunan masjid, santunan yatim piatu, sedekah, pengajian, amaliah ramadan, dan seterusnya.

Dalam bulan Ramadan, kegiatan-kegiatan itu harus lebih intensif. Ketakmiran sering membuat semacam “Cipta Lingkungan Ramadan”.

Selain takjil dan pernak-pernik Ramadan, program andalan lainnya biasanya adalah “membangunkan sahur”. Caranya bisa macam-macam. Salah satunya yang paling umum dilakukan adalah melalui pengeras suara. Hal yang sempat dikritik oleh Zaskia Adya Mecca.

Singkatnya, program membangunkan sahur adalah wujud eksistensi adanya sistem ketakmiran atau paling tidak sistem ke-remaja-masjid-an. Terkadang memang program masjid tidak ada sangkut pautnya dengan ketaatan atau ibadah. Semata agar nampak eksis dan hadir aja sih.

“Oh, takmir masjid sini aktif lho.”

“Wah, salut sama semangat remaja masjidnya.”

Kira-kira semisal dua kalimat itulah yang pengin didengar oleh pengurus-pengurus itu. Lagian tentu tidak nyaman jika pengurus masjid tampak tidak punya program selama Ramadan. Jadi, tidak ada kaitannya dengan amar ma’ruf nahy munkar, kadang-kadang.

Jadi, sebagai bagian dari ketakmiran, saya memahami kritik dari Zaskia Adya Mecca. Namun sebelum mengkritik, baiknya kita coba juga untuk apresiasi. Soalnya semakin langka pemuda-pemudi yang masih mau mengurusi masjid, terutama pemuda-pemudi akamsli: anak kampung samping masjid asli.

Sekarang kita bicara dalam perspektif santri. Persoalan TOA bisa kita masukkan dalam bab “Iz’aj al-Akharin” alias gangguan ketertiban masyarakat.

Kita bisa memulainya dengan memasukkan beberapa hal yang relevan. Di antaranya, Nabi Muhammad Saw meminta sahabat untuk melirihkan bacaan Al-Quran ketika berada dekat dengan orang shalat atau orang yang sedang tidur. Dalam teori Fikih, ada istilah mafhum muwafaqah.

Praktiknya gini, jika membaca Al-Quran saja diminta lirih di hadapan orang yang tidur, apalagi cuma bangunin sahur?

Lagi. Nabi Muhammad pernah melewati orang yang salat dengan bacaan Al-Quran yang kelewat kencang. Komentar atau sabda Nabi: orang salat itu sedang berhadapan dengan Tuhan, hendaknya ia fokus bukan malah saling melantangkan bacaan Al Quran.

Lagi-lagi berlaku teori di atas. Jika melantangkan bacaan salat saja tidak diperkenankan kalau sampai mengganggu, yah apalagi teriak bangunin sahur?

Dalam nalar Fikih, sudah hampir pasti bahwa teriak menggunakan pengeras suara yang mengganggu kenyamanan banyak orang hukumnya haram. (Hati-hati dulur-dulur yang suka bengak-bengok pakai TOA). Namun sayangnya (atau berkahnya), kita bukan bangsa penganut fiqihisme yang apa-apa harus diselesaikan secara fikih.

Kita juga bukan negara totaliter yang apa-apa harus diatur negara. Saya kurang setuju jika negara campur tangan dalam persoalan TOA ini. Kok rasanya sebagai masyarakat, kita tak punya kemandirian dalam menyelesaikan persoalan. Apa-apa dimintakan kehadiran negara.

Lalu bagaimana menjembatani “etos kerja” berlebih pengurus masjid dengan keluhan masyarakat yang diwakili Zaskia Adya Mecca tadi?

Menurut saya begini.

Jika kamu pengurus masjid, bersikaplah dalam kerangka service excellent alias pelayanan prima. Singkatnya adalah pelayanan terbaik yang memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggan. Takmir dan atau remaja masjid perlu memposisikan jamaah yang hadir maupun tidak hadir sebagai customer; atau kelompok masyarakat yang menerima dampak layanannya.

Saya tidak meminta pengurus untuk terus mengucapkan selamat pagi bagi pelanggan yang masuk masjid laiknya masuk Indomaret. Bukan begitu konsepnya. Yang paling pas mirip pelayanan di rumah sakit. Lakukan yang terbaik untuk kepentingan pasien. Persoalan sembuh atau tidak kita serahkan pada Tuhan.

Nah yang umum terlihat, kepengurusan masjid punya orientasi program sendiri. Ibarat kata, mereka di satu lembah, sedangkan masyarakat sekitar berada di lembah yang lain.

Infak Jumat banyak dan melimpah, tapi melihat jamaah kehilangan sandal cuma dibilangin maklum pak, orang banyak, alih-alih membelikan sandal. Lihat tukang becak yang cuma mampir pipis, rebahan di teras masjid, atau numpang mandi malah di-besenguti alih-alih menanyakan kebutuhannya apa.

Kalau begitu keadaannya, rasanya masjid lebih butuh kotak saran daripada kotak infak. Terasa jauh amat sama masyarakatnya sendiri. Itu tentu jadi kritik yang baik untuk pengurus masjid kayak saya dong ya.

Lalu, jika kamu bukan pengurus masjid, mulailah memberi masukan langsung secara berkala. Masukan tidak melulu kritik. Justru berilah apresiasi untuk program yang bagus atau ikut berperan dalam kegiatannya. Kalau sudah begitu, ketika kamu memberi kritik rasanya lebih sumbut, pantas, dan tidak bikin suasana panas.

Saya mengerti, memberi masukan butuh keberanian. Apalagi jika kamu jarang ke masjid. Apalagi jika kamu non-muslim. Tapi masukan dalam kesunyian jauh dari hiruk pikuk, lebih bisa mashok bagi pengurus daripada ujug-ujug diviralkan di media sosial.

Kombinasi pengurus masjid yang open minded dengan masyarakat yang komunikatif akan mencegah lahirnya kasus-kasus baru layaknya masalah Zaskia Adya Mecca yang udah beres ini.

Dengan begitu, persoalan per-TOA-an ini bisa beres secara swasembada dan kearifan lokal. Tidak melulu harus pakai campur tangan negara. Apalagi waktu sahur begitu.

Lha gimana negara mau campur tangan, lha wong kantor mereka aja jam empat sore udah tutup.

BACA JUGA Jika TOA Masuk Surga, Maka Surganya Adalah Madura dan tulisan Miftakhur Risal lainnya.

Exit mobile version