Alkisah, pasca hari kiamat sungguhan — bukan versi film Hollywood, apalagi ramalan sekte agama tertentu — Tuhan membariskan umat manusia di sebuah tanah yang begitu lapang. Pengadilan pun dimulai untuk melaksanakan fit and proper test terhadap manusia: Apakah ia masuk surga atau neraka.
Setelah ribuan tahun berlalu, pengadilan tersebut akhirnya menyisakan satu nama terakhir, yang kebetulan orang Indonesia. Namanya: Rojali.
Selama hidup, Rojali menjadi tokoh yang disegani di sebuah ormas kedaerahan dan mencari nafkah dengan menjadi juru parkir liar di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Berwajah gemetar sambil menahan pipis, Rojali maju mendekati Tuhan. Semestinya dakwaannya sudah jelas: Neraka. Tetapi, siapa yang mampu membaca kehendak Tuhan?
“Kau, masuk surga,” kata Tuhan, bukan dalam bahasa Arab, Ibrani, apalagi Jawa.
Rojali kaget. Ia girang bukan kepalang. Namun, berselang detik kemudian pikirannya berubah.
“Terima kasih kesempatan ini, Tuhan, tapi izinkan saya tinggal di sini saja,” pinta Rojali dengan mantap.
Tuhan terlonjak melihat kejadian langka tersebut. Walau demikian, Dia tetap bersikap demokratis dengan bertanya kepada Rojali.
“Mengapa kau justru meminta itu?”
Rojali menjawab, tenang:
“Saya lebih suka di sini, Tuhan. Menjaga parkir. Rasanya tak berbeda jauh seperti surga.”
Anekdot di atas tentu tak akan pernah terjadi. Akan tetapi, jika nyatanya semua itu kelak benar adanya, saya akan jadi mahluk pertama yang memprotes kepada Tuhan dengan argumen seperti berikut.
Pertama, parkir liar merupakan salah satu komponen terbesar penyumbang inflasi, tetapi, naasnya, tidak pernah terlihat.
Zaman sekarang hampir setiap orang menggunakan kendaraan untuk beraktifitas. Tak perlu jauh-jauh, saya contohkan diri sendiri. Rata-rata per hari saya terjerat sempritan jukir (juru parkir) liar tiga kali dengan kutipan Rp.2000 sekali kena atau sama dengan Rp.6000 per hari.
Secara kalkulatif, saya terpaksa merelakan Rp.180.000 dalam sebulan. Itu pun dengan catatan, saya tidak bermalam minggu atau melakukan kegiatan lain yang memungkinkan bertemu dengan tukang semprit sialan itu.
Rp.180.000 tentu bukan nilai kecil. Itu dua kali lebih besar dari nilai zakat karyawan berpenghasilan UMP. Jumlah itupun masih lebih besar dari konsumsi listrik rumah tangga dengan daya 900 watt!
Saya pernah bertekad menambah konsumsi daging sapi atau ikan supaya tidak terlalu tertinggal dari orang Jepang maupun Australia. Tapi, apa mau dikata, jukir liar sudah keburu membunuh niat baik saya.
Kedua, jukir liar menghapus image hobi tawuran yang dulu hanya dimiliki oleh anak-anak STM atau SMA.
Begini. Kebanyakan praktik parkir liar diorganisir ormas. Conflict of interest sangat rentan terjadi dan ketika meledak, tawuran antar ormas pun pecah. Mereka mungkin tidak tahu bagaimana susahnya membangun brand image. Para siswa tersebut sudah mati-matian, bahkan tak sedikit yang mati betulan, demi membangun image tawuran sejak puluhan tahun silam.
Jika Anda besar di era 90-an hingga 2000-an awal, bulu hidung Anda pasti akan bergetar ketika mendengar kata Boedoet, Belter, Risaoe, Camp Java, Kapal, dan sekolah bengal lainnya. Merekalah para biang tawuran, penguasa jalanan.
Tapi, jangan salah, yang mereka pertahankan dengan berdarah-darah itu bukan main mulianya, yaitu nama sekolah, lembaga pendidikan tercinta. Dengan kata lain: harga diri almamater!
Namun kini, lihatlah, brand image tersebut telah raib direbut ormas-ormas dengan misi lahan parkir. Bedebah!
Nama-nama sekolah beken seperti yang disebutkan di atas pun tak lagi nyaring gaungnya. Segendang-sepenarian dengan kian sepinya pertempuran ala Majapahit di jalanan tiap siang atau sore hari. Kalaupun beberapa waktu lalu sempat terjadi tawuran, perjuangan siswa-siswa merebut kembali brand image itu masih perlu lebih banyak usaha. Mari kita doakan saja.
Silakan nilai sendiri: Misi mana yang lebih mulia antara ormas parkir dengan anak-anak tawuran tadi? Meraih fulus dengan seenaknya atau menjaga nama sekolah?
Yang ketiga, penggunaan sempritan oleh jukir liar sungguh menghina nilai-nilai persepakbolaan Indonesia.
Dengan kondisi persepakbolaan yang carut marut kusut, tenaga wasit sepakbola Liga Indonesia sudah pasti tidak terpakai. Ironisnya, para jukir tersebut tidak menghargai nasib wasit karena menggunakan sempritan untuk memenuhi kantung pribadi. Sungguh biadab!
Apakah tidak terpikirkan oleh para jukir liar tersebut bagaimana jika wasit-wasit tadi tergugah memorinya di lapangan hijau lalu kebelet ingin menyemprit juga? Bukan tak mungkin terjadi pertempuran dahsyat antara jukir jalanan dan jurdil lapangan. Terlebih jika para wasit tadi bersatu dan merencanakan sabotase kepemilikian sempritan.
Aduh, saya ngeri membayangkannya, Bung.
Terakhir, profesi jukir liar ini sejatinya merupakan penghinaan terhadap juru-juru yang lain.
Juru mudi, misalnya, membutuhkan keahlian berkendara yang dibuktikan dengan Surat Izin Mengemudi (SIM). Juru tulis setidaknya pasti menguasai teknik menulis yang tepat dan cepat. Juru masak mempunyai kepiawaian membuat makanan.
Sementara jukir liar apa? Hanya bermodal satu sempritan yang bisa dipinjam shift berikutnya, mempelajari aba-aba yang sebenarnya sama sekali tak berguna, dan melatih kesabaran menunggu pemilik kendaraan keluar toko. Itu saja.
Dalam derajat tertentu, keahlian jukir liar ini tak berbeda jauh dengan kemampuan juru kampanye: sama-sama tak ada gunanya.
Entah mengapa, hal-hal serius yang saya jelaskan di atas tersebut tidak segera dipikirkan oleh para ormas jukir liar tersebut. Tapi, setelah saya renungkan kembali, sebenarnya hal tersebut cukup wajar mengingat menterinya saja juga tidak berpikir.