Bacaan Ringan Sebelum Menggugat Cerai Pasangan

Sosoknya hidup dalam ingatan saya sebagai tiruan sempurna Dian Sastro: berparas ayu, berpendidikan tinggi, memiliki karir bagus, dan bersuamikan lelaki idaman mertua manapun. Bertahun-tahun tak bertemu dengannya, tempo hari kami bersua di rumah sakit ketika saya sedang menjenguk kerabat. Dan keadaannya saat itu meruntuhkan segala kenangan saya tentangnya.

“Semuanya baik-baik saja, toh cuma sedikit lebam dan patah tulang,” ujarnya di atas kursi roda. Ibunya mengangguk-angguk, lalu meninggalkan kami agar kami bisa mengobrol dengan lebih leluasa.

Setelah sesi basa-basi, ia melanjutkan ceritanya tentang pernikahannya yang begitu sempurna di tahun pertama dan kemudian memburuk di tahun-tahun berikutnya. Suaminya amat pintar mencari nafkah dan tipe yang setia pada pasangan, tetapi sulit untuk tak melibatkan tangan dan kakinya dalam setiap pertengkaran yang, sedihnya, amat sering terjadi.

“Barangkali kami adalah keluarga yang paling sering berganti perabotan di seantero kompleks. Baru bulan lalu kami membeli televisi baru, tapi dia sudah menghancurkannya lagi di pertengkaran terakhir kami,” keluhnya. “Aku tak tahan lagi. Berpisah adalah jalan keluar.”

Ibunya datang untuk membawanya kembali ke kamar rawat. Ia berjanji akan mengabari saya lagi saat semuanya sudah beres, dan sebelum berlalu, ia memberi nasihat agar saya tak melakukan apa yang telah diperbuat suaminya. “Wanita,” ujarnya, “bukanlah samsak hidup lelaki.”

Saya setuju dengannya, tetapi ia kadung berlalu sebelum sempat saya berkata kalau saya tak memiliki televisi untuk dilemparkan ke siapapun. Lagipula, dalam perdebatan yang jarang terjadi, saya lebih inferior dibandingkan istri—ia memiliki kecakapan alamiah untuk membuat saya mengkeret di sudut kamar.

Namun, pertemuan dengan teman saya itu membuat saya termangu; Anda barangkali juga akan termangu bila mendapati kabar perceraian empat kali seminggu seperti yang saya peroleh. Tiga yang lain datang dari tetangga dan saudara, semua penggugatnya wanita, meski alasannya berlainan.

Apa pun alasannya, perceraian tetaplah menyakitkan. Ia seperti jalan keluar yang tak didamba dari sengkarut labirin pernikahan, dan ketika Anda telah keluar dari sana, Anda tahu bahwa ada suatu ruang baru yang tercipta, yang hanya diisi oleh kenangan buruk sekaligus harapan muram dan sedikit kelegaan. Dan Anda mengerti kalau Anda menjadi pribadi yang tak sama lagi.

Angka perceraian di Indonesia memang fantastis. Andai statistiknya dilombakan, tahun lalu mungkin Indonesia sudah berhasil menyabet medali emas di olimpiade perceraian se-Asia Pasifik. Hakim Pengadilan Agama mengetukkan palu sebanyak dua ratus ribuan kali di tahun lalu, dan pada periode terburuk, setidaknya ada empat puluh pasangan terpisah tiap jamnya.

Tentu saja itu menjadi indikator yang mengkhawatirkan; ada sesuatu yang keliru dalam relasi interpersonal di insitusi pernikahan. Tapi, justifikasi tak bisa diseragamkan terhadap pasangan yang sedang berperkara tersebut, sekalipun alasan mereka serupa. Bagaimanapun, hubungan suami istri memiliki keunikannya masing-masing, sehingga nasihat klise kala sesi mediasi tak banyak berpengaruh terhadap keputusan mereka.

Oleh sebab itu, nasihat paling tokcer sebaiknya diberikan sebelum pasangan melangkah ke jenjang pernikahan. Mencegah tentu lebih elok ketimbang mengobati. Dan sebagai pakar asmara sekaligus seseorang yang percaya bahwa keruwetan dunia bermula dari masalah rumah tangga, izinkan saya berpetuah kepada Anda.

Kepada Anda yang sudah kadung menyebar undangan—sebelumnya saya ucapkan selamat, sebentar lagi Anda akan menyandang status baru, kehidupan baru, dan, tentu saja, permasalahan baru. Menganggap pernikahan adalah pengejawantahan surga merupakan pemikiran yang keliru, dan sebaiknya Anda tahu itu.

Boleh jadi suatu ketika pernikahan Anda diuji: pasangan Anda bertingkah ganjil, atau Anda merasa ada cinta yang tumbuh di halaman tetangga, atau kondisi rumah tangga berkembang ke arah yang persis sama dengan bayangan terburuk Anda. Namun, agar bahtera Anda nantinya terus mengapung, ingatlah dua hal ini:

Pertama, semua bentuk hubungan mensyaratkan kerelaan untuk menyakiti dan disakiti. Terdengar mengerikan? Tidak juga, tetapi itu sesuatu yang pasti terjadi mengingat Anda dan pasangan adalah manusia, bukan dedemit atau blasteran cyborg. Kerelaan untuk disakiti oleh pasangan sebaiknya Anda tanamkan dalam diri sedini mungkin, dan ingatkan pula pasangan Anda bahwa suatu hari nanti Anda pasti menyakiti dirinya.

Barangkali Anda bertanya, bukankah pernikahan juga berisi hal-hal yang menyenangkan? Tentu saja. Ada banyak kegiatan yang tak mungkin dilakukan oleh pasangan yang belum menikah, kegiatan-kegiatan menyenangkan yang membuat pernikahan amat didamba oleh orang-orang bahkan sebelum mereka akil-baligh. Sekurang-kurangnya, Anda tak perlu was-was digeruduk warga saat berduaan di kegelapan.

Namun, kesenangan memang tak menuntut kesiapan, lain dengan kepedihan. Pertengkaran yang tak pernah Anda harapkan tiba-tiba datang. Tanpa kesiapan mental dan diperparah oleh paradigma yang keliru, Anda dengan mudahnya menganggap itu sebagai alarm perpisahan.

Nah, kalau Anda sudah tiba di titik itu, ingatlah nasihat kedua ini: tak ada perceraian yang mudah. Anda mesti mengurus ini-itu berbulan-bulan lamanya, yang semakin terasa buruk bila Anda masih tinggal serumah dengan pasangan. Bila Anda seorang penganut Katolik dan menikah di gereja, percayalah kalau perceraian bakal menjadi hal tersulit yang pernah Anda urusi di dunia, apalagi bila Anda telah dikaruniai anak. Nyaris mustahil.

Kemudian, untuk Anda yang masih berpacaran, bermainlah dengan aman—bukan kapasitas saya untuk menceramahi Anda di sini tentang perkara normatif. Sedikit keteledoran akan berbuah petaka, yang saya yakini sudah Anda prediksi tapi tak berani Anda hadapi.

Konsekuensi dari kehamilan saat berpacaran tentu saja adalah pernikahan. Ya, Anda sudah mengidamkan hidup berumah tangga dengan pasangan Anda dua pekan setelah Anda menyatakan cinta, barangkali, tetapi Anda tentu tahu bahwa ada perbedaan yang signifikan antara memasuki arena dengan kerelaan dan dengan keterpaksaan.

Dan di situlah masalahnya: Anda yang mendatangi KUA dengan cara diseret memiliki potensi lebih besar untuk bercerai. Ketika teman sebaya bergulat dengan diktat atau membangun karir impian atau menjelajah negeri-negeri yang jauh, Anda sudah harus berkutat dengan kompleksitas kehidupan berumah tangga yang tak pernah Anda pilih, yang kemudian tak pernah Anda menangkan.

Nah, untuk Anda yang masih melajang sekaligus menjomblo, entah karena keadaan atau malah kesadaran, pertahankanlah status tersebut. Di luar sana, bejibun orang rela menukar apa pun yang ia miliki agar kembali menyandang status itu, yang sayangnya tak mungkin.

Teruslah menggeluti hobi berburu film biru, dan abaikanlah tatapan penuh selidik dari kasir yang mendapati Anda memborong sabun mandi. Bagaimanapun, Anda adalah orang yang telah tercerahkan, yang mengerti bahwa sabun dan kekasih bukanlah sepasang benda yang bisa disubstitusi.

Tetapi, ketika Anda melemah dan merasa amat kesepian dan iri mendapati kemesraan orang-orang di sekitar Anda, cobalah bertandang ke Pengadilan Agama. Sama seperti berziarah kubur yang membuat Anda teringat kematian, piknik ke Pengadilan Agama adalah upaya terbaik untuk mengingatkan diri Anda bahwa tak ada garansi kebahagiaan dalam pernikahan.

Sebab pernikahan, sebagaimana perjumpaan, hanya memberi satu kepastian: perpisahan.

Exit mobile version