MOJOK.CO – Jaga Jogja dari narasi-narasi yang memperlemah perlawanan, menjauhkan kita dari tuntutan perihal keadilan kepada penguasa.
Sangat dilematis ketika aksi demonstrasi besar tengah terjadi di Jogja. Apalagi ketika tujuan aksi ternyata tidak sampai tetapi sudah menemui tindakan represif dari aparat. Tepat pada saat itu, tagar jaga Jogja bebarengan muncul mengisi linimasa.
Melalui sebuah poster ciamik dengan gambar Tugu Pal Putih yang berselimut bendera merah-putih (sangat nasionalis), dan terdapat logo Pemda DIY, Pemkot Yogyakarta, Pemkab Bantul, Pemkab Gunungkidul, Pemkab Kulonprogo, dan Pemkab Sleman, namun maksudnya penuh dengan tanda tanya. Sebenarnya jaga Jogja bebarengan dari siapa, sih?
Pertanyaan “Jaga Jogja dari siapa?” akan terus muncul
Semua asumsi muncul di kepala sebab kita tidak tahu maksudnya menjaga kota ini dari siapa. Saya harus berhati-hati jika bertemu dengan orang di jalan karena saya harus terus menjaga Jogja.
Kemudian saya ingat, kalau jaga macam ini sih tiap hari sudah saya lakukan. Sebab kota tak bisa melindungi warganya dari kekerasan jalanan. Maka dari itu, warga menjaga kotanya dengan swadaya sisa nyawa.
Namun, apakah jaga Jogja macam itu yang dimaksud? Nyatanya tidak
Poster yang muncul ketika demo besar sedang terjadi, memunculkan asumsi liar di publik. Dan asumsi liar itu tentu saja merujuk pada satu hal: jaga Jogja dari pendemo yang ricuh.
Maka, kesimpulan yang paling sederhana, jaga Jogja sama dengan tidak ikut demo. Dari satu poster, panen logical fallacy terjadi. Seperti yang sudah-sudah, unjuk rasa pun melemah.
Baca halaman selanjutnya: Kekerasan jalanan seakan tak pernah berhenti…












