“Di Jakarta, satu-satunya yang kutakuti selain Tuhan ialah menyeberang jalan.”—Jun Nizami
Beberapa kali ke Jakarta, saya jadi mengerti betapa kegelisahan Jun dalam puisi tersebut juga menjadi kegelisahan saya. Meski belakangan saya sudah jarang ke kota itu, tapi sialnya Jakarta seperti menghantui kita semua melalui media massa maupun linimasa di media sosial. Jakarta yang ribut, macet, ramai, dan selalu haus perhatian.
Hal tersebut lantas membuat orang-orang menjadi bertindak di luar kewarasan, seperti menyatakan dukungan untuk Ahok sebagai DKI1, padahal KTP-nya bukan KTP Jakarta. Boa edan. Syukur alhamdulillah, saya tidak turut hanyut soal itu. Yah, kalau nyelenting dikit-dikit mah ada ajalah. Sekadar mengusir kebosanan dan kesepian.
Hingga kemudian seorang teman membuat saya teu paruguh rasa setengah mati. Pasalnya dia membagikan sebuah gambar dari fanpage Indonesia Darurat Syiah. Gambar tersebut bertuliskan: “Kalau ada orang muslim mendukung Ahok, berarti lebih takut kepada Ahok daripada kepada Allah.”
Kemudian di bawah gambar tersebut ada sebuah ayat: Wa la tatakhidzu min dunil mu’minina awliya’.
Kegedekan saya jadi kian meningkat lagi ketika ayat tersebut diterjemahkan menjadi: “Janganlah kamu mengambil orang kafir sebagai pemimpin.”
Tapi di atas itu semua, ternyata ada tulisan lain yang membuat kegedekan saya melebihi batasnya: “Lebih baik pemimpin kafir tapi adil, bersih, dll. daripada muslim tapi khianat, berarti kemusliman Anda dipertanyakan. Pedoman hidup Anda (Al-Quran) menyatakan tidak boleh mengambil wali dari kalangan kafir. #mikir!!!”
Ya Allah, walaupun saya bukan anak Jakarta, tapi saya jengkel bukan buatan sama gambar tersebut. Maksudnya apa coba?
Gambar tersebut membuat saya ngeh, sebab ternyata ada yang lebih bikin pedih tinimbang melihat mantan kita akhirnya bisa bersama orang yang lebih keren dari kita, yaitu mendapati teman sepengajian, sepermainan, dan sepermantanan kita ternyata sejenis kaum tempik sorak khilafah. Aduh, rasanya enek-enek gimana gitu.
Sebagai anak muda yang menempuh kuliah di Jurusan Tafsir, saya pun merasa perlu memancarkan beberapa hal semacam-sinar-cinta-begitu kepadanya.
Cacat Logika
Ada berbagai sesat logika dalam kalimat “Memilih Ahok berarti lebih takut kepada Ahok daripada kepada Allah SWT”. Akan saya tunjukkan satu per satu.
- Deduksi cacat: cacat logika ini terjadi karena memakai suatu premis yang cacat dalam menarik sebuah kesimpulan.
Contoh: “Si Jamilah hidup di Jakarta dalam lingkungan yang mejemuk. Maka, ia akan mendapatkan masalah dalam akidah dan keislamannya jika Jakarta dipimpin orang yang bukan seagama dengannya.”
- Argumen ad hominem: Tidak fokus pada inti persoalan, tapi menyerang sisi pribadi orang tertentu.
Contoh: “Halaaah, si Ahok itu agamanya aja bukan Islam, pasti kinerja Ahok buruk!”
- Argumentum ad verecundiam: Kesalahan penalaran yang berangkat dari pengultusan seseorang. Beranggapan bahwa apa pun yang berasal sosok yang dikultuskan ialah benar dan tidak dapat diganggu gugat.
Contoh: “Akun Indonesia Darurat Syiah mengatakan bahwa memilih Ahok berarti lebih takut kepada Ahok daripada kepada Allah SWT. Jadi begitulah realitasnya.”
- Argumentum ad ignorantiam: Menganggap benar karena tidak ada bukti yang mengatakan benar atau sebaliknya.
Contoh: “Keadilan di tangan non-muslim itu tidak ada karena si Bunga tidak pernah membacanya.”
- Fallacy of dramatic: Generalisasi yang tergesa-gesa. Bisa disebabkan karena pengambilan sampel yang tidak cukup.
Contoh I: “Orang-orang yang merugikan umat Islam di masa Rasulullah saw. itu orang non-muslim (atau munafiqin), Ahok adalah Gubernur DKI 1 non-muslim yang hidup berabad-abad setelah masa Rasulullah saw., maka sudah pasti Ahok merugikan umat Islam.”
Contoh II: “Allah SWT melarang memilih waliy dari orang non Muslim, Jamilah si muslim memilih Ahok sebagai Gubernur Jakarta, maka Jamilah lebih takut kepada Ahok daripada kepada Allah SWT.”
Di gambar itu juga kata ‘wali’ (waliy) yang dengan semena-mena dialihbahasakan sebagai pemimpin. Itu dasarnya apa? Sebab soal arti ‘waliy’ ini sendiri masih debatable di kalangan mufassir. Tapi sudahlah, karena wilayah ini sedikit menyentuh Kajian Tafsir, mari kita lanjutkan poin berikutnya.
Pemerkosaan Ayat dan Legitimasi Politis
Bahkan sejak zaman turunnya, Al-Quran tidak akan pernah sampai kepada manusia sebagai sasaran syariatnya (mukhotob) sampai ada orang-orang yang bertindak sebagai jembatannya: penafsir.
Hatta, Nabi Saw. saja tidak hanya menyampaikan wahyu-wahyu Al-Quran secara persis, melainkan juga bertindak menjadi mufassir bagi ayat-ayat mutasyabihat. Beliau juga menjadi pusat kontrol pelaksanaan ayat-ayat muhkamat dari Al-Quran.
Bicara soal tafsir, mari kita ngaji dikit soal klasifikasi ayat berdasarkan pola-pola umum kalimatnya maupun penggunaannya sebagai asas hukum.
Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat. Ayat muhakmat adalah ayat yang kalimatnya jelas, sifatnya qoth’i, tidak dapat diganggu gugat, dan sering kali pola katanya sangat gamblang. Misalnya, perintah shalat, zakat, puasa, haji, bahkan hitungan warisan, dll.
Bagaimana dengan urusan politik?
Ayat-ayat yang berbicara soal bentuk pemerintahan yang ideal bagi umat Islam (apakah itu demokrasi, komunis, republik, bahkan negara kebangsaan sekalipun) memang tidak ada yang disebutkan. Al-Quran hanya menggambarkan roh-rohnya saja.
Semisal ayat baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur (QS Saba’) yang berarti, “Negeri yang baik dan Tuhan yang maha pengampun.” Yang dimaksud ialah negeri yang di dalamnya terdapat kemakmuran duniawi dan orang-orang yang pada baik nilai spiritualnya. Atau wa ja’lnakum syu’uban wa qoba’ila lita’arifu baynakum, inna akromakum ‘indallahi atqokum (“dan kami jadikan kalian bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar kalian saling mengenal”).
Terang sudah. Kalau kata M. Abid Jabir, urusan ini cocok dengan apa yang telah dikatakan Nabi Muhammad saw.: Antum a’lamu biumuri dunyakum (“Kalian lebih ngerti soal perkara dunia kalian sendiri”). (Untuk penjelasan lebih lengkapnya, bisa dicari dalam kajian ushul fiqh.)
Mari kita kembali ke ayat-ayat mutasyabihat yang sifatnya terbuka dan multitafsir. Bentuk ungkapan ayat jenis ini kerap bersifat metaforis dan selalu menjadi kelas yang hidup bagi para mufassirin.
Ayat-ayat ini sebenarnya tidak “bermasalah” sampai kemudian ia “diperkosa” dan tafsirannya dijadikan legitimasi politik suatu golongan untuk menjatuhkan marwah golongan lain. Contohnya bisa kita lihat pada bagaimana golongan tertentu melabeli simpatisan PKI sebagai ateis. Atau, ya … seperti yang kita baca pada gambar di atas.
Jika sudah begitu, bukankah tindakan tersebut justru merendahkan keagungan ayat Al-Quran? Bukankah itu semua merupakan paradigma dari berbagai kedegilan berpikir dan fanatisme tertentu?
Khotimah
Wa in tanaza’tum fi syai’in farudduhu ilallohi wa rosulih (QS Syuro). Sederhana sekali anjuran Al-Quran ini. “Jika kalian sedang berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah urusan itu pada Allah Swt. dan rasulnya.”
Ayat ini bisa saja kita pahami secara tekstualis sambil bersikap ahistoris dengan melupakan bagaimana khulafaur rasyidin (Abu Bakar r.a. dan Utsman bin Affan ra.) memberi contoh bernegara sepeninggal Nabi Muhammad saw. lewat asas maslahat dan musyawarah. Tetapi, kita juga bisa memilih untuk mengutamakan maslahat umat dibanding berlarut-larut dalam keributan karena iman (aktivitas batin) seseorang.
Tinggal Anda pilih mau yang mana: hidup bernegara yang baik atau rempong ngurusin iman orang?
Satu hal, saya enggak dukung Ahok, kok. Saya hanya orang Purwakarta yang jengah dengan suatu pict poster. Hal tersebut membuat saya berpikir, sepertinya Indonesia saat ini bukan sedang darurat Syiah, PKI, Komunisme, Santoso, ISIS, atau semacamnya.
Indonesia hari ini darurat tunabaca dan tunangaji.