MOJOK.CO – Asisten sutradara itu, selain ibarat tangan dan kaki sutradara, di sisi yang lain, mereka adalah jantungnya sebuah produksi. Profesi yang sangat penting.
Mei 2006. Jogja dilanda gempa besar. Puluhan ribu jiwa meninggal dalam bencana itu. Ratusan ribu orang kehilangan tempat tinggal, banyak fasilitas publik yang hancur dan banyak juga kerugian lain. Kesedihan, kebingungan, dan keputusasaan menemani warga Jogja di hari-hari itu.
Jogja hampir ambruk, tapi tidak mati. Ia lalu menggeliat. Untungnya, warga Jogja itu bermental kuat dan berjiwa kreatif. Banyak momen-momen kebangkitan Jogja saat itu mulai dari ekonomi, sosial, dan budaya. Salah satunya di dunia perfilman.
Adalah lahirnya JAFF (Jogja Asian-NETPAC Film Festival) di Agustus 2006, menjadi sebuah momentum kebangkitan bersama. Penggerak utamanya tentu generasi muda perfilman Jogja saat itu. Dibantu kawan-kawan dari daerah lain, serta dukungan jejaring perfilman Asia, JAFF, sebuah festival film yang dimotori pegiat film dari seluruh Indonesia, meramaikan perhelatan yang rencananya akan digelar setiap tahun.
Banyak tokoh perfilman nasional, mulai dari produser, sutradara, asisten sutradara, hingga filmmaker dari rumah produksi besar di Jakarta mendukung acara ini. Tentu saja ada faktor Garin Nugroho, filmmaker senior yang menjadi Presiden Festival JAFF saat itu, menjadi faktor kunci. Faktor Mas Garin yang menjadi kunci terbukanya keran jaringan film ini, sampai meliputi level ASIA melalui jejaring NETPAC. Festival itu sendiri diselenggarakan di beberapa tempat seperti jaringan bioskop XXI, Gedung Societet, dan Benteng Vredeburg
JAFF pertama di tahun 2006 itu menjadi peristiwa penting untuk kelahiran ekosistem perfilman Jogja. Di JAFF 2006 itu juga saya beruntung ikut hadir dan merasakan euforia kebahagiaan dari kebangkitan Jogja.
Saya mencatat ada dua film pendek buatan filmmaker muda Jogja yang menarik. Pertama, Mati Bujang Tengah Malam yang dibuat oleh filmmaker keren Fajar Nugros, dan dibintangi oleh Eros Sheila on 7. Kedua, Harap Tenang Ada Ujian karya sutradara muda berbakat Ifa Isfansyah. Film garapan Ifa, menurut saya, adalah film pendek terbaik karya filmmaker Jogja. Terbaik tiada lawan sampai sejauh ini. Saya tidak tahu apakah kedua film tersebut saat ini tersedia atau tidak ada di kanal YouTube.
Selain dua nama di atas, perlu juga saya sebutkan nama-nama filmmaker seperti Eddie Cahyono, Yosep Anggi Noen, BW Purbanegara, dan nama-nama keren lainnya yang sedang memulai melukis kariernya dengan tinta perak bercampur emas di JAFF 2006. Ketika tulisan ini ditulis di tahun 2022, artinya sudah berjarak 16 tahun, nama-nama yang saya sebut di atas sudah menjadi nama-nama penting di peta sinema Indonesia.
Workshop menjadi asisten sutradara
Nah, di tengah ingar bingar festival, terselip sebuah acara kecil namun sangat membekas di hati saya, yaitu “Workshop Menjadi Asisten Sutradara”. Sebuah kegiatan mengenalkan profesi, tugas, dan tanggung jawab seorang asisten sutradara (astrada). Workshop itu dibawakan oleh pemateri dari ibu kota, seorang asisten sutradara profesional, bernama Sugeng Wahyudi.
Di ruang audio visual Benteng Vredeburg siang itu, di hadapan 50 peserta, Mas Sugeng membuka workshop asisten sutradara dengan sebuah informasi penting berkaitan dengan isi Undang-Undang Perfilman Indonesia. Dia menyampaikan dengan gaya dramatis ala film thriller yang mencekam. Kami semua yang menjadi peserta langsung deg-degan, bahkan saya sendiri juga sempat menahan nafas, karena digiring dalam suasana yang genting.
Mas Sugeng bilang, sebetulnya, di Undang-Undang Perfilman Indonesia ada sebuah pasal penting yang mengatur relasi antara SUTRADARA dan ASTRADA. Kami semua penasaran apa itu isinya.
Sugeng melanjutkan, “Pasal itu terdiri dari dua ayat. Ayat satu berbunyi ‘SUTRADARA TIDAK PERNAH SALAH’. Lalu ayat dua berbunyi ‘JIKA SUTRADARA TERNYATA SALAH, TOLONG BACA KEMBALI AYAT SATU’.” Sontak seluruh isi ruang workshop meledak dengan tawa. Tentu saja kami tau, Mas Sugeng hanya bercanda.
Melalui workshop itu kami kemudian dikenalkan definisi sutradara, asisten sutradara, sampai tugas dan kewajiban masing-masing. Mas Sugeng saat itu juga bercerita bahwa dia di Jakarta sudah sering menjalankan peran sebagai asisten sutradara untuk sutradara papan atas Indonesia seperti Garin Nugroho dan Hanung Bramantyo. Jadi, dengan tangkas, Mas Sugeng bisa menjelaskan teori-teori sekaligus memadupadankan dengan pengalaman empiris yang terjadi di lapangan.
Hari itu, kami juga diajak mengenal lebih dekat profesi astrada. Ternyata, Production House (PH) ketika meng-calling astrada ada dua cara.
Pertama, asisten sutradara yang di-calling satu paket dengan SUTRADARAnya. Jadi, semisal PH meng-calling si sutradara X, itu sudah satu paket sama astrada Y. Selama ini, mereka berdua sudah menjadi tandem yang cocok.
Yang kedua, dari pihak PH yang mencarikan seorang asisten sutradara profesional, bisa jadi belum saling mengenal dengan sutradara. Atau bisa jadi sudah kenal nama tapi belum pernah kerja bareng. Jadi, ibaratnya si PH ini menjodohkan sutradara dan asisten sutradara. Masalah cocok atau tidak saat kerja bareng, itu urusan nanti. Toh akan terlihat selama proses pra produksi.
Asisten sutradara penjadwalan
Asisten sutradara itu bisa juga disebut sebagai jantungnya sebuah produksi film. Misalnya, dia yang mengatur penjadwalan. Bahasa kerennya Mem-breakdown schedule. Produser atau bisa juga Line Producer biasanya memberi jatah sekian hari shoting days, untuk satu skenario film yang terdiri dari 150 scene dalam skenario misalnya.
Biasanya, setelah skenario final dibagikan, asisten sutradara akan menjabarkan semua scene atau adegan dikelompokkan dalam SET lokasi tempat yang sama, atau bisa juga dikategorisasi berdasarkan kesediaan waktu hadir pemain-pemain kunci. Maklum saja, para aktor dan aktris yang terlibat bisa jadi adalah artis-artis sibuk yang waktunya sangat padat dengan jadwal syutingnya berpotensi bentrok aneka kegiatan yang lain.
Setelah di-breakdown, asisten sutradara akan menerbitkan rencana jadwal produksi. Misalnya, 150 scene tadi dibuat menjadi 30 hari syuting. Jadi, satu hari akan mengambil 4, 5, atau bisa juga 6 scene. Bahkan kalau ada sebuah scene besar yang sulit, misalnya akan melibatkan ratusan pemain, bisa jadi satu scene itu akan khusus dikerjakan hanya dalam waktu 1 hari.
Hasil pemikiran asisten sutradara dalam membuat jadwal tadi disebut schedule draft 1. Setelah selesai, jadwal dilaporkan kepada Line Producer dan Produser. Selanjutnya, setelah direvisi oleh Line Producer, jadwal itu didistribusikan ke departemen lain seperti Director of Photography, Penata Artistik, Penata Busana (Wardrobe), Penata Makeup, Sound Department, Talent Coordinator, Location Manager (Manajer Lokasi yang mengurusi perizinan tempat syuting), Production Coordinator, Unit Manager yang mengurusi transportasi, logistik, konsumsi, dan lain-lain.
Pastilah setelah lembar jadwal itu dibagikan, akan terjadi negosiasi dan mereka semua akan mencari jalan terbaik. Semacam titik kompromi dari segala macam potensi beban kerja yang berat di masing-masing departemen.
Sutradara bisa saja ikut ngurusin, tapi sebaiknya pasrah saja sama astrada. Biar energinya bisa lebih fokus ke kreatif dan menggarap pemain-pemain.
Asisten sutradara Pengadegan
Sebuah blueprint film yang bernama skenario terdiri dari banyak adegan yang terdapat dalam banyak scene. Oleh sebab itu, sutradara dibantu oleh asisten sutradara, biasanya astrada pengadeganan, membahas detailnya seperti apa. Sutradara dan para astrada, akan melakukan rapat internal terlebih dahulu, sebelum mempresentasikan ke forum rapat yang lebih besar dengan lintas departemen.
Karena membangun adegan itu tidak gampang, diperlukan asisten sutradara yang nantinya akan mengurusi latihan akting dan blocking para pemain. Demikian juga dengan pergerakan seperti apa yang diinginkan sutradara, para asisten sutradara harus mencatatnya dengan detail.
Persiapan film yang baik haruslah disertai dengan latihan yang serius. Bersama sutradara, asisten sutradara pengadeganan akan ikut menemani proses reading para aktor dan aktris sampai proses pendalaman karakter. Proses yang terjadi dalam pra-produksi ini terkadang juga mengundang seorang acting coach.
Apabila sebuah film juga mempunyai scene adegan kolosal, menggerakkan puluhan atau ratusan orang misalnya, sudah barang tentu ini menjadi tugas dari tim astrada. Kalau perlu, di hari-hari tertentu, tim asisten sutradara bisa saja memanggil tenaga tambahan untuk membantu mengorganisir ratusan orang tersebut.
Demikianlah garis besar ilmu hasil workshop asisten sutradara hari itu, yang sudah saya catat di hati dan kepala saya. Waktu itu, saya sudah feeling suatu saat saya pasti akan menjalani profesi asisten sutradara.
Namun, karena proses pembuatan film itu adalah kerja industri, dan membutuhkan penghematan efisiensi dan efektivitas kerja, tak jarang seorang asisten sutradara akan merangkap astrada penjadwalan dan astrada pengadeganan, sekaligus acting coach. Lihat dan rasakan betapa besar beban tugas dan tanggung jawab seorang asisten sutradara. Tak heran kalau gajinya juga besar. Apalagi asisten sutradara produksi iklan. Angkanya sungguh fantastis.
Di beberapa kesempatan, saya, dengan penuh canda, sering usul. Melihat beban kerja yang berat itu, kenapa tidak ada penghargaan Piala Citra untuk astrada terbaik. Dan jawabannya jelas. Itu adalah hal yang mustahil. Karena hasil jerih payah asisten sutradara itu sifatnya sangat internal dan tak terlihat secara kasat mata dalam sebuah film.
Sekali lagi saya tegaskan bahwa astrada itu selain ibarat tangan dan kaki sutradara, di sisi yang lain, mereka adalah jantungnya sebuah produksi. Dialah yang mendistribusikan tugas dan workflow semua departemen. Karena kalau nggak kompak ya bakal runyam berantakan nanti.
Jika ada pertanyaan apakah untuk menjadi seorang sutradara harus melalui proses menjadi asisten sutradara terlebih dahulu? Menurut saya, jawabnya adalah tidak harus dan tidak wajib.
Faktanya, bisa saja seorang sutradara menggarap sebuah film justru berangkat dari profesi yang lain, misalnya dari aktor atau editor. Bisa juga coming from nowhere. Fenomena seperti itu sering mewarnai pelangi perfilman Indonesia. Namun, untuk melatih jiwa organisasi, tidak ada salahnya. Saya kira, cobalah menjadi astrada terlebih dahulu.
Sementara itu, di sudut yang lain, ada juga para asisten sutradara yang bertekad dengan teguh selamanya hanya akan menjadi astrada yang serving, dan tidak pernah mau jika diberi kesempatan “naik pangkat”. Bagi mereka, asisten sutradara itu bukan sebuah jabatan bertingkat yang perlu naik pangkat. Mereka ini memang passion-nya ya jadi asisten profesional.
Penulis pernah beberapa kali menjadi asisten sutradara dalam produksi film. Pertama, untuk Riri Riza, dalam film Drupadi (2008). Kedua, untuk Ifa Isfansyah dalam film pendek Lintang Kemungkus (2009) yang merupakan pemanasan untuk Ifa sebelum ia menyutradarai film berat Sang Penari yang diangkat dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Sebuah karya sastra besar Indonesia. Di film Sang Penari itu sendiri Ifa Isfansyah dianugerahi Piala Citra sebagai sutradara terbaik di Festival Film Indonesia 2011. Saya sebagai mantan asistennya tentulah ikut berbangga hati.
Saya akan ceritakan pengalaman-pengalaman saya menjadi astrada film Indonesia di kesempatan selanjutnya. Semoga bisa menjadi pembelajaran untuk kita bersama. Maju terus sinema Indonesia!
BACA JUGA Kisah di Balik Layar Aktor Film Indonesia, Balada Mereka yang Menyandang Status Second Layer dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Giras Basuwondo
Editor: Yamadipati Seno