MOJOK.CO – Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa resmi umat Islam. Tapi jangan lupa, orang Arab juga manusia yang butuh untuk nyanyi lagu cinta maupun mengumpat.
Kalau di acara kawinan kamu setel lagunya Myriam Feres dan Haifa Wehbe ya boleh lah. Masih masuk. Lah, kalau acara pengajian, terus yang hadir kiai-kiai sepuh, masa iya lagu yang diputer lagunya mereka juga sih? Mentang-mentang pakai bahasa Arab, terus apa pun jadi terlihat religius gitu?
Nggak apa juga sih diputer, asal panitia menyediakan proyektor dengan subtitle Indonesia. Biar pada ngerti isi liriknya. Soal religius, KBBI mengartikannya sebagai religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut paut dengan religi. Dua cewek itu? Ya gitu deh, silakan googling aja sendiri.
Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa resmi umat Islam. Alasannya sederhana, karena Al-Quran dan Hadis disampaikan pakai bahasa ini.
Baiklah, itu kesimpulan yang benar. Tapi jangan lupa, orang Arab juga manusia yang kebutuhan bahasanya harus terpenuhi. Penutur bahasa non-Arab boleh misuh (baca: mengumpat), maka penutur Arab juga punya hak yang sama dong. Nggak boleh dong kita diskriminatif, karena misuh adalah hak segala bangsa.
Jangan khawatir, hak misuh mereka terpenuhi kok. Bahkan terdistribusi dengan baik dan merata. Asal tahu saja ya, hak mereka itu tidak sedikit, dalam arti kosakata misuhnya kaya raya.
Setidaknya, pisuhan orang Arab itu terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, pisuhan hewaniyah: yang ini lumrah dipakai di banyak bahasa. Jika mereka punya kata khummar, maka orang Jawa juga punya hasyu, anying buat Sunda, dan njing buat penduduk Jakarta.
Selanjutnya pisuhan jasmaniah: pisuhan ini diambil dari salah satu organ biologis manusia. Aduh, kalau pada bahasa lain sih ini lumrah kali ya, tapi percayalah saya tidak sampai hati menyebut contoh. Nyatanya, orang Arab itu, khususnya warga Mesir, akrab banget dengan pisuhan ini. Natalie Portman tahu itu.
“What is your favorite curse word?”
Dia jawab, “Khus Ummek.”
Penasaran apa artinya? Silakan lihat dan terjemahkan sendiri.
Terakhir, pisuhan verba, atau pisuhan yang melibatkan kata kerja langsung, diucapkan secara langsung di depan objek pisuhannya. Ini agak lucu. Orang Mesir, misalnya, menyebut yakhrub baitak, yang artinya “hancurlah rumahmu”.
Pisuhan ketiga ini barangkali kurang relevan dengan konteks pisuhan warga Indonesia secara umum. Tetapi inilah umpatan paling favorit mereka, dipakai hampir pada setiap peristiwa penting, seperti saat tim yang mereka dukung ternyata nggak masuk liga champion, saat tugas kuliah belum kelar, eh ada tugas tambahan, atau bahkan saat kepencet love saat scroll foto mantan di Instagram.
Sebetulnya ada satu kealpaan besar orang-orang Arab ini. Yakni, mereka tidak memasukkan pisuhan jenis polowijo, alasannya mungkin karena tanah mereka tidak gemah ripah loh jinawi, kali ya. Nggak ada tu orang Arab yang misuh dengan kata telo, kentang, dan asem. Sejujurnya saya pribadi masih bingung, mengapa orang Jawa seneng banget menggunakan polowijo sebagai pisuhan populer mereka.
Fenomena ini terjadi khususnya di daerah Jawa menengah ke arah bawah, alias Jogja. Dan itu tidak terjadi di wilayah Surabaya dan sekitarnya, yang mana pisuhan mereka didominasi oleh kata jancuk semata. Ditolak gebetan jancuk, kebelet ngising jancuk, kalah main PES jancuk. Jancuk kabeh pokmen.
Persis seperti misuh, musik juga merupakan hak segala bangsa.
Bahasa Arab itu ya bahasa juga, sama seperti bahasa Jawa, Endonesia maupun Enggres. Rasanya setiap bahasa itu punya keselarasan dengan musik daerahnya masing-masing sih ya. Ini persoalan rumit sebenarnya. Misalnya begini, memasukkan lirik Jawa pada musik metal itu sulit banget lo, Lur. setidaknya sulit diterima oleh telinga metalhead kebanyakan. Alasannya apa? Yo mboh, pokoknya kalau metal ya bahasa Enggres. Titik. Meskipun tetap saja banyak yang maksain.
Bahasa Jawa yang meliuk-liuk seperti keris itu cocoknya ya pakai pelog atau slendro. Urusan skala nada itu memang dari sononya begitu. Nenek moyang kita lebih tahu mengapa harus ada pelog dan slendro.
Berbicara skala nada, Arab punya banyak banget. Mulai dari nahawan, bayati, sobah, ajam, sikah dan seterusnya. Berbeda dengan Barat yang, paling mentok pentatonik, diatonik, minor, dan mayor. Dipakai dalam hampir setiap lagu yang kita dengar selama ini di MTV, Spotify, maupun Youtube. Seperti pada lagu Lagi Syantik, Jaran Goyang, Wedhi Kelangan dan sederet tembang-tembang favorit para redaktur Mojok.
Musik itu termasuk komoditas penting bagi orang Arab. Industrinya berkembang pesat. Jenisnya buanyak banget. Sejarahnya juga panjang. Bahkan, sebelum Islam masuk ke Jazirah Arab, mereka sudah mengenal musik dengan baik. Maka, jika telingamu belum diseting seperempat nada, lebih baik jangan mencela kualitas bermusik mereka deh.
Sementara orang Barat hanya mengenal setengah nada, orang Arab sudah akrab dengan seperempat nada. Tentu saja itu berarti telinga mereka lebih detail dalam mendengar nada-nada. Ini serius, jangan pernah mencela mereka. Dan, sayangnya, Nissa Sabyan yang viewer-nya mencapai 135 M itu bukan representasi kemegahan bermusik bangsa besar ini sedikit pun.
Coba deh dengerin Fairuz (salah satu penyanyi paling berpengaruh di dunia Arab). Kalau belum begitu akrab dengan seperempat nada, pilih album The Lady and The Lagend yang berisi kumpulan lagu-lagu terbaiknya. Fairuz memasukkan unsur jazz di dalamnya. Jan, maknyus tenan, Dab. Cobo nek ra percoyo.
Pada era ulama-ulama dulu. Sebut saja Al Kindi (801-873 M.), ilmuwan prolifik satu ini, bukan saja telah merumuskan teori musik, ia juga menjelaskan bagaimana musik berfungsi sebagai terapi kesehatan. Memang dia filsuf sih. Tapi keren banget kan. Tahun 800-an lo, Coy, mungkin saat itu di Nusantara, Candi Prambanan masih pada tahap RAPBN. Alias dananya belum turun.
Masih belum puas?
Baiklah. Pada dekade 60-80an, musisi Barat banyak yang melirik musik Arab, dan itu berlanjut sampai sekarang. Akhi-ukhti tahu Robert Plant dan Jimmi Page kan? Itu lo, pentolannya Led Zeppelin. Tepatnya pada tahun 1994, saat mereka menggelar konser bareng The Egyptian Orchestra di Marrakech, Maroko. Mereka membawakan lagu Kashmir, sungguh itulah musik padang pasir yang nyata nan sempurna.
Atau Sting yang berkolaborasi dengan Cheb Mami dalam lagu Desert Rose. Direkam pada tahun 1999. Cheb adalah musisi beraliran Rai asal Aljazair. Ada cerita menarik soal lagu ini. Sting mengaku sulit meniru cengkok Arab, tapi lanjuntya, “Gue nggak putus asa, dan gue bakal mainin ini lagi sampai kapan pun.” Dengerin deh!
Begini lo, Lur. Kedewasaan beragama kita itu campur aduk rakaruan. Mirip-mirip dengan atmosfer politik nasional belakangan ini. Bahasa dan agama kan dua hal yang berbeda. Bahasa, sampai kapan pun merupakan produk budaya yang terus berkembang. Dan ini persoalan profan. Jika bahasa adalah produk agama, maka ia menjadi sakral, dong.
Jika bahasa disakralkan, kamu bakal pusing saat mendengar orang Arab ternyata misuh menggunakan bahasa Arab juga. Atau mendengar orang Nasrani di Mesir mengucapkan subhanallah, bahkan diucapkan lebih fasih dari ikhwan-ikhwan. Karena bagi pemeluk Nasrani, Allah juga merupakan Tuhan mereka. Dan subhanallah bagi mereka ya berarti Mahasuci Allah. Meski dengan preferensi Tuhan yang tak sama dengan Islam.
Subhanallah, pakai h (ح) ya, Lur, bukan subkanallah, pakai k (ك).