MOJOK.CO – Penyelewengan dana kemanusiaan yang dilakukan petinggi ACT (Aksi Cepat Tanggap) punya potensi destruktif. Baca analisis berikut ini.
Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) bikin ramai di pemberitaan. Majalah Tempo, dalam investigasinya yang tayang Sabtu, 2 Juli 2022, menyebut ada dugaan penyelewengan dana kemanusiaan yang dilakukan oleh petinggi ACT, Ahyudin.
Tak butuh waktu lama, kata kunci “ACT” bertengger di puncak pencarian Google Trends, sehari berselang, di Minggu, 3 Juli 2022. Tak heran memang, sebab ACT sebagai organisasi nirlaba, adalah pemain utama di dunia filantropi Indonesia.
Pada Senin, 4 Juli 2022, bola panas isu ini terus bergulir. Tagar #JanganPercayaACT yang bersanding dengan kata “Aksi Cepat Tilep”, sebagai sindiran untuk kepanjangan nama ACT, bergaung di linimasa Twitter.
Satu yang dipersoalkan adalah dana donasi yang dihimpun oleh ACT selama ini, diduga sebagiannya, digunakan untuk memenuhi gaya hidup beberapa petinggi organisasi terkait. Dari data yang dikumpulkan Tempo, ada nilai fantastis senilai Rp250 juta per bulan hingga fasilitas mobil mewah sekelas Alphard, masuk ke dalam benefit yang diterima petinggi ACT.
Sorotan berikut yang mencuri perhatian warganet adalah ACT diduga kesulitan melanjutkan pembangunan sekolah dengan aliran dana yang sudah mengalir dari Boeing sejak Januari 2022.
Dari laporan Tempo disebutkan, ACT mendapat dana sekitar Rp135 miliar dari Boeing untuk proyek pembangunan 91 sekolah di beberapa wilayah di Indonesia. Pembangunan sekolah ini sendiri merupakan bagian kompensasi dari Boeing kepada keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang jatuh pada 29 Oktober 2018. Detail lebih lengkap terkait kasus ini bisa kalian baca di sini.
Lalu, dengan serangkaian sorotan dan kontroversi yang menguak di atas, sejauh apa efek dari isu panas ini bisa berimbas?
Bakal muncul trust issue yang signifikan
Uang, mau gimana bentuknya, adalah “barang panas”. Sedikit saja bermasalah dengan barang ini, dampaknya bisa masif. Kasus First Travel hingga investasi bodong macam Binomo dan robot trading, adalah contohnya.
Efek masif yang kemungkinan akan menyusul dari “penipuan kepercayaan” oleh petinggi ACT adalah trust issue yang menurun, bahkan sampai menghilangnya kepercayaan publik. Dan di konteks ini, salah satu ketakutannya adalah penurunan minat berdonasi.
Tolong dicatat bahwa trust issue ini bukan hal sepele. Sebagai contoh, ketika sistem cashless mulai diterapkan di Indonesia, challenge utamanya adalah bagaimana mendapat kepercayaan publik. Kepercayaan itu diperlukan karena sistem e-wallet atau dompet digital membuat orang tak lagi memegang uang secara tunai, namun pelan-pelan diajak dan dibiasakan untuk memindahkannya menjadi mata uang digital.
Butuh waktu tak sebentar untuk kita berada di titik ini. Titik di mana QRIS sudah menjadi kebiasaan dan orang tak ragu lagi menjadi bagian dari cashless society. Dan dari kasus petinggi ACT yang bisa dibilang bombastis ini, trust issue bisa berujung kepada skeptisme masyarakat yang selama ini sudah mempercayakan donasinya untuk dikelola dan disalurkan ke pihak-pihak yang benar-benar membutuhkan.
Kasus petinggi ACT ancaman bagi potensi filantropi di Indonesia
Efek buruk berikutnya dari kasus petinggi ACT adalah ancaman bagi dunia filantropi di Indonesia. Di iklim digital yang tumbuh sangat masif belakangan ini, turut memengaruhi pula perkembangan dunia donasi atau filantropi di Tanah Air. Sebelum pandemi saja, tercatat di tahun 2019, potensi dana donasi di Indonesia disinyalir ada di angka Rp200 triliun per tahun. Hal itu disampaikan co-chair Badan Pengarah Filantropi Indonesia, Erna Witoelar, pada Senin, 17 Februari 2019.
“Potensi donasi kita cukup besar dan nilainya mencapai Rp200 triliun. Tapi yang terkumpul secara terorganisir baru sekitar Rp6 triliun,” ujar Erna, tiga tahun lalu, dikutip dari Kumparan.
Dan yang terbaru, pada 2021 lalu, Indonesia lagi-lagi dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia. Sebelumnya, Indonesia juga juga meraih predikat yang sama pada 2018. Penobatan ini sendiri dilakukan oleh salah satu lembaga amal di Inggris bernama Charities Aid Foundation dalam laporan World Giving Index (WGI) pada 14 Juni 2021.
Dari indeks WGI, ada tiga indikator yang jadi ukuran yakni (1) Membantu orang asing atau tidak dikenal. (2) Memberi sumbangan uang. (3) Menjadi relawan. Persis seperti data di 2018, pada 2021, Indonesia berada di peringkat atas karena faktor memberi sumbangan mendapat nilai tertinggi yakni 83 persen. Dari laporan WGI, 8 dari 10 orang di Indonesia rela menyumbangkan uangnya untuk donasi.
Memang, “sisi kasihan” di dalam hati orang Indonesia pada dasarnya mudah terketuk. Apalagi kalau diiringi embel-embel agama. Sisi positifnya, rakyat Indonesia masih peduli kepada sesama.
Lebih lanjut, salah satu faktor yang menjadikan Indonesia sebagai negara paling dermawan adalah, ya itu tadi, kuatnya pengaruh ajaran agama dan tradisi kearifan lokal yang berkaitan dengan ajakan untuk berderma atau berdonasi dan membantu sesama yang kesulitan.
Namun, seperti data yang ditulis di atas, dari potensi dana donasi mencapai Rp200 triliun, dana yang terorganisir baru sekitar tiga persennya saja, yakni Rp6 triliun. Pengorganisiran dana donasi inilah yang kemudian jadi tantangan lembaga-lembaga crowdfunding untuk menghimpun, mengorganisir, dan menyalurkan dana-dana kemanusiaan tersebut.
Dan salah satu yang ditakutkan, meledaknya kasus dugaan penyelewengan dana kemanusiaan dari para petinggi ACT bisa berimbas buruk terhadap hal ini. Karena dari laporan keuangan terbaru saja per 2020 (karena laporan tahun 2021 belum tersedia di website mereka), ACT bisa mengumpulkan dana donasi sebesar Rp500 miliar. Ini angka yang fantastis, karena lembaga lain seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat misalnya, “hanya” mengumpulkan dana donasi sebesar Rp375 miliar dan Rp224 miliar.
Secara regulasi sendiri, saat ini, pemerintah memang belum memiliki regulasi khusus terkait penarikan dana atau crowdfunding dari masyarakat di luar zakat, infak, dan shodaqoh.
Kalau sudah begini, apa langkah dan nasib selanjutnya bagi (petinggi) ACT? Akankah berujung proses pidana seperti disarankan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI)? Ingat, yang bisa membawa kasus ini ke kepolisian adalah para petinggi ACT yang sekarang.
Atau, mengamini omongan Ketua Yayasan ACT yang baru, Ibnu Khajar, bahwa “yang sudah berlalu biarlah terjadi”?
Yah, yang berlalu memang pasti akan berlalu. Termasuk dana kemanusiaan yang “berlalu begitu saja” masuk rekening petinggi ACT dan tidak tersalurkan kepada yang membutuhkan. Enak, ya. Besok saya juga mau bikin crowdfunding saja lalu menilap duit orang yang lagi peduli kepada sesama ketimbang pusing merancang konten tiap harinya.
Kalau mau diusut polisi, saya jawab, “Sudah, Ndan. Yang lalu biarlah berlalu. Bentar ya, saya mau pulang dulu. Kebetulan Pajero Sport saya habis ganti oli.”
BACA JUGA Transparansi Dana Sumbangan Crowdfunding dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Isidorus Rio Turangga Budi Satria
Editor: Yamadipati Seno