5 Alasan Mengapa Inkonsisten Itu Enak dan Perlu

5 Alasan Mengapa Inkonsisten Itu Enak dan Perlu

5 Alasan Mengapa Inkonsisten Itu Enak dan Perlu

MOJOK.COInkonsisten adalah keniscayaan. Oleh sebab itu, jangan dilawan. Percuma.

Coba bayangkan betapa buruknya dunia ini tanpa inkonsistensi. Dunia akan terasa membosankan. Stagnan. Kayak hafalan. Persis seperti pakem rumus matematika dan fisika yang tidak bisa bergeser. Kaku.

Perhitungan geser sedikit, gedung bisa roboh atau sekurang-kurangnya miring. Apa iya, kehidupan manusia mau disamakan dengan bangunan gedung? Apalagi dalam ketatanegaraan.

Makanya, saya coba ulas lima hal betapa inkonsisten itu enak dan perlu bagi kehidupan yang fana—layaknya kampanye politisi—ini.

Pertama, perubahan itu adalah keniscayaan. Mengutip filsuf Yunani, Heraclitos bahwa satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri.

Ya, berubahlah.

Jangan khawatir berubah dengan cepat dan lincah di tengah permainan kata dan lagu politik. Ketidakpermanenan manusia, kata Kahlil Gibran adalah seperti ayat-ayat yang dituliskan di permukaan air. Ia akan berubah seiring arus.

Masih ingat kata-kata para pejabat yang mengatakan akan fokus menjabat kepala daerah selama lima tahun dan tidak akan berpindah? Janji tidak akan mencoba menjadi presiden dan lain-lain? Masih ingat?

Kalau ada yang terkesan melanggar dan terdengar mencla-mencle soal beginian, Anda jangan marah,  Anda saja yang kelihatannya kurang memahami.

Itu namanya perubahan orientasi. Istilah kerennya adalah “membuka ruang perjuangan yang lebih besar” setelah berjuang di tempat yang lebih kecil. Makanya, jangan paksa para kepala daerah maupun pejabat lainnya untuk konsisten pada satu jabatan dan menyelesaikan masa jabatannya.

Anda salah! Biarkan mereka memperjuangkan apa yang mereka perjuangkan di panggung yang lebih baik (baca: tinggi).

Itulah keniscayaan para pejuang yang memang mau berjuang di segala medan dan kondisi, karena naik jabatan itu enak untuk yang bersangkutan dan perlu untuk partai pengusung yang berjuang.

Kedua, perubahan itu adalah berkembangnya visi pemahaman.

Perubahan itu memperlihatkan cara memandang yang horizonnya bisa berubah seiring dengan perubahan kesadaran dan kematangan. Mirip pergeseran antara pandangan Marx muda yang masih menggebu dengan Marx yang semakin tua dan dipengaruhi keterasingan dirinya.

Mau menganggap Marx berubah? Nggak dong, itu karena pengalaman dan spektrum pandangan dia saja yang berubah.

Marx tetap menawarkan begitu banyak hal kritis, termasuk hantunya yang masih diproduksi massal hingga di pojokan salah satu sudut jalan di Jogja ditulis, “Kami memerangi Maksiat dan Marxian.”

Semakin matang usia, visi seseorang bisa jadi berbeda. Anda pasti pernah ingat ada anak muda yang mengatakan tidak berniat maju jadi kepala daerah dan cukup berbisnis kuliner saja. Bapaknya bahkan dengan senyam-senyum mengatakan iya, anak saya ini cukup bisnis saja.

Namun kemudian, anaknya maju jadi kepala daerah dan bapaknya sampai harus memanggil kandidat lawan anaknya ke Istana. Jika Anda mengatakan itu inkonsisten, Anda keliru. Bahkan cenderung sesat!

Hal semacam itu diperlukan, seiring pergeseran cara pandang, akibat semakin matang dalam usia, juga semakin sadar bahwa aji mumpung kesempatan belum tentu datang dua kali. Terutama jika inkonsisten macam begini didorong oleh visi parpol yang kebelet pengin segera mendompleng.

Ketiga, inkonsisten sebagai koreksi.

Iya, inkonsisten itu adalah bagian dari koreksi. Coba Anda lihat, mengapa kalau Anda menulis standar ilmiah harus menggunakan teknis pengutipan (sitasi) yang ketat, lengkap dengan tahun?

Itu sebab, semua orang bisa berubah dan diperkenankan berubah. Makanya, tahun itu fungsinya untuk melacak jejak pemikiran itu adalah pada tahun tersebut. Beda tahun, ya bisa jadi terjadi perubahan atas pandangan.

Kalau Anda mengutip tokoh, Anda harus menulis tahun di belakangnya. Misalnya, mengutip Anies Baswedan, dalam teknis pengutipan harus ditulis “(Anies Baswedan, 2014)”.

Kenapa? Ya karena bisa jadi Anies Baswedan di tahun 2017 sudah lain perkataannya dengan yang di tahun 2014. Itu sebabnya Anda tulis lagi “(Anies Baswedan, 2017)”. Begitu juga Mahfud MD, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, bahkan Joko Widodo sendiri.

Masih ingat ada yang janji untuk menguatkan KPK dan usaha pemberantasan korupsi secara umum? Jika ia berubah dengan menginisiasi Perubahan UU KPK yang bikin jadi lemah kayak sekarang, itu adalah koreksi. Mengoreksi KPK yang sudah melakukan penangkapan para koruptor.

Apakah itu salah? Bukan! Itu adalah bagian dari koreksi terhadap KPK dan juga pada saat yang sama: koreksi terhadap janji memperkuat KPK.

Artinya, upaya ini adalah koreksi untuk meletakkan kembali ke posisi sebagaimana mestinya. Soal apakah langkah ini menghendaki KPK yang lebih lemah, nah itu hal lain, yang paling penting, secara teoretis inkonsisten itu bagian dari tindakan korektif.

Keempat, inkonsistensi adalah penjelasan.

Akan konyol jika ada di antara Anda yang tidak paham maksudnya. Mudah sekali memahamkan ini.

Masih ingat kata-kata akan melakukan perubahan UU ITE?

Nah, sekarang, jangankan bakal diubah, dimasukkan prolegnas saja tidak. Etapi tunggu dulu, jangan Anda anggap itu salah. Inkonsisten di sini adalah penjelasan. Karena kalian semua pada kelewat bernafsu dengan perubahan UU ITE.

Kan janjinya saat itu adalah apabila ada yang dianggap salah dalam UU ITE maka perubahan harus dilakukan. Ya kalau tidak ada rencana perubahan, ya berarti selama ini tidak ada yang salah dengan UU ITE.

Komunikasi publik semacam ini memang hanya dikhususkan bagi Anda-Anda yang mau berpikir saja. Dan inkonsistensi semacam ini begitu krusial karena sangat enak untuk pejabat dan sangat perlu untuk melatih sikap legawa masyarakat.

Kelima, sekaligus terakhir, inkonsisten adalah kesadaran kosmik bahwa ada tantangan zaman yang harus dihadapi dengan melakukan perubahan dan menolak konsistensi.

Dalam studi ketatanegaraan ada istilah “living constitution“, UUD yang hidup dan bisa ditafsirkan untuk mengikuti perkembangan zaman.

Maka, jika ada yang pernah janji tidak akan bagi-bagi kekuasaan, dan sekarang harus bagi-bagi kekuasaan, itu adalah kondisi politik dan ketatanegaran yang hidup dan mengikuti perkembangan zaman yang memang harus bagi-bagi jabatan.

Tak usah banyak tanya dan gugat. Pahami saja. Karena itu adalah bagian dari pentingnya inkonsisten dalam kehidupan kenegaraan kita.

Mengapa ini penting disampaikan, mohon bijaklah kalian membaca tanda-tanda perkataan, janji dan ucapan yang disampaikan. Jangan percayai berlebihan dan jangan juga mencerca berlebihan.

Inkonsisten itu baik dan akan indah karena Anda paham alasannya. Termasuk akan indah pada waktunya. Ini memang membutuhkan pemahaman kelas tinggi. Anda yang kemampuan biasa-biasa saja akan sulit menggapainya.

Bacalah ketidakinginan impor beras, ketidakinginan dicalonkan tiga periode, dan berbagai hal lainnya dengan cara baca di atas. Insya Allah Anda akan merasa tenang dan makin yakin bahwa dunia ini memang permainan dan senda gurau.

Jika Anda tak punya kemampuan menerima itu, Anda mungkin sedang dalam keadaan insecure, iri, mudah tersinggung, mungkin harus segera bertobat.

Jika AC Milan sekarang disalip Internazionale di pimpinan klasemen karena inkonsistensi permainan Milan di kandang, coba juga pahami dalam lima kepentingan inkonsisten di atas.

Insya Allah, Anda tidak akan terlalu kecewa, sama seperti saya.

BACA JUGA Sudah Saatnya Konsep ‘Yang Menang Pilpres Jadi Presiden dan yang Kalah Jadi Menteri’ Diinstitusionalkan dan tulisan Zainal Arifin Mochtar lainnya.

Exit mobile version