MOJOK.CO – Berikut adalah lima aktor politik yang pualing nendang dalam dinamika politik tahun pagebluk 2020 ini. Siapa aja mereka?
Ilmu perang Napoleon Bonaparte yang satu ini rada filosofis. Dia bilang, “Kemenangan tidak melulu harus berarti menang dalam sebuah pertempuran. Kemenangan juga bisa berarti ketika kita berhasil bangkit dan tetap tampil, setiap kali kita dikalahkan.”
Karena seperti juga dikatakan “jenderal perang” Inggris pada perang dunia kedua, Winston Churchill, “Bedanya dengan peperangan di mana kau hanya bisa dibunuh sekali, di politik kau bisa dibunuh berkali-kali.”
Di Indonesia, fakta-fakta menunjukkan bagaimana para penyintas politik loncat-loncatan sana-sini dari satu posisi ke lainnya, dari satu kandang ke kandang lainnya. Daya adaptasinya sungguh layak dicatat dalam khazanah ilmu pengurangan risiko bencana.
Kalah lah bunglon, mah. Dari pohon berdaun warna kuning pindah ke pohon berdaun merah, pikiran dan bahasanya jadi merah mengkilat. Dari oponent menjadi proponent yang “klir” seklir-klirnya. Fadjroel Rahman kalo nggak ngerti “klir” bahasa apa, buka KBBI!
Tahun 2020 akan kita kenang sebagai tahun pagebluk (penyakit). Bukan cuma penyakit biologis Covid-19, tapi juga penyakit korupsi yang tidak kunjung reda dan belum ditemukan vaksin penangkal efektifnya.
Dua pembantu presiden, Menteri KKP dan Menteri Sosial dicokok KPK ketika pemerintahan baru berjalan setahun. Mungkin ini bentuk lain dari kegemaran loncat-loncatan tadi, dari pejabat negara menjadi penjahat negara? Mbuh. Ora umooom….
Berikut adalah lima aktor politik yang pualing nendang dalam dinamika politik tahun pagebluk 2020 ini. Pemilihan ini jelas subjektif. Satu pertimbangan saya karena manuver mereka mengejutkan banyak orang dan punya magnitudo yang mampu membuat bergesernya beberapa konstelasi politik.
Konstelasi di sini jangan diartikan dalam konteks peta kekuatan politik. Ia lebih ke peta kepentingan politik. Karena partai politik lebih dikuasai oleh kepentingan para petingginya, bukan oleh aspirasi rakyat pemilihnya.
Satu: Prabowo sang kesatria berkuda dan lord tangguh yang kagak ada matinyeee
Sudah sejak awal reformasi, Prabowo Subianto digebuk dari berbagai arah. Rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira, yang di antaranya beranggotakan SBY, merekomendasikan pemberhentian Prabowo dari ABRI.
Institusi yang dia cintai dan tempatnya tumbuh dan berlaga, harus dia copot sepenuhnya. Matikah Prabowo? Tidak.
Prabowo seperti apa yang dikatakan Napoleon di atas, mencoba tetap berdiri dan bersinar di medan laga politik setelah dikalahkan. Dia membuat partai politik Gerindra dan memimpinnya. Prabowo bahkan sempat mencalonkan diri di kontestasi pilpres sebanyak empat kali sejak 1999 hingga 2019 kemarin, walau selalu gagal.
Kapok kah Prabowo dengan quattrick kekalahan tersebut? Ah, tida….
Selain membuktikan bahwa, bagaimanapun, Pak Prab punya pendukung/pemilih sekaligus aktor politik andal. Mungkin buat beliau berlaku kata-kata penulis Carl Sandburg ini, “Menjadi pecundang yang hebat adalah dengan belajar untuk menjadi pemenang.”
Makanya doi kaga ada matinya. Bersama Sandiaga Uno, cawapresnya di 2019, setelah kekalahan itu, mereka menyatakan siap menjadi oposan bagi Pemerintahan Jokowi. Genderang perang ditabuh. Pertahanan yang bagus adalah dengan menyerang.
Para pendukungnya bersemangat tentu saja. Dan menganggap sang pensiunan jenderal bintang tiga itu akan memimpin perlawanan. Tapi orang lupa nasihat di atas tadi, “To be a good loser is to learn how to win.”
Ini kan Napoleon banget. Mungkin orang tidak ada yang menduga bahwa Pak Prab sedang meningkatkan posisi tawarnya. Itulah yang kemudian terjadi. Jokowi mengajaknya untuk diboncengi sepeda di kabinetnya. Kelar.
Para cebong dan kampret pada bingung. Cuma para golputers yang sorak-sorak, “Gua kata juga apah! Yang psychofreak siapa, nih? Minus malum apa over malum, woi…”
Yaharap maklum, kekuatan golput kan cuma tereak-tereak.
Dua: Membayangkan Sandiaga berteriak “Uno!”
Dalam bahasa Italia, uno berarti satu (untuk maskulin). Apakah Sandiaga berkaitan dengan permainan kartu Uno? Entahlah. Tapi mungkin saja kata Uno terkait dengan rencana kebijakan Ok Oce (One Kecamatan, One Center of Entrepreneurship) yang serba One itu yang pernah jadi dagangan kampanye Sandiaga.
Ya, mungkin aja Sandiaga sedang berpikir meninggalkan legacy, kan? Namanya juga aktor politik, susah diraba kejelasannya.
Kembali ke permainan Uno, saya curiga Sandiaga berteriak “Uno!” ketika kabinet Jokowi dilanda korupsi para menterinya kemarin. “Now or never!” mungkin begitu teriakan hati Sandiaga, sambil berharap ikut direkrut.
Kan, ketika pilpres satu paket Prabowo-Sandi. Masa yang diajak cuma Prabowo doang? Akhirnya kita tahu jalan cerita pengusaha tajir ini: diajak juga oleh Jokowi gabung di kabinet. Meme Sandiaga ketika dulu menyatakan akan beroposisi kepada Jokowi kembali beredar di kalangan netijen.
Para pendukungnya kecewa. Sebagian kesal sambil jambak-jambak rambut sendiri, mungkin.
Orang mungkin tidak begitu ngah bahwa Sandiaga, pada akhirnya, adalah orang bisnis. Bagi orang bisnis, tantangan bisa diubah menjadi peluang. Pengusaha yang hebat adalah ia yang bisa melahirkan keuntungan dari sebuah krisis. Kita sedang menghadapi situasi multi krisis, kan. Di masa krisis orang biasanya ribut soal harga-harga, bukan soal nilai-nilai. Makanya kalau rencanamu gagal, bikin rencana baru. Nggak usah pikirin soal tujuan.
Kalau saya jadi Sandiaga, kepada mereka yang nyinyir itu, saya akan bilang: “Situ nggak suka saya? It’s okay. Nggak semua orang punya cita rasa yang bagus, kan?” Walau masih harus dibuktikan, kebangetan kalau menteri yang ketajirannya sukar dihitung angkanya ini bakal terlibat korupsi nantinya. Tapi ya, semoga jangan.
Tiga: Gibran bukan cuma ahli menggoreng martabak, tapi juga ahli nyalip di tikungan
Putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming (33 tahun), bisa saja menyalip calon Wali Kota Solo yang pertama diusulkan PDIP, Achmad Purnomo. Tapi Gibran tidak bisa mengklaim atau diklaim sebagai walikota termuda Indonesia. Catatan MURI tidak bisa disleding seperti PDIP.
MURI mencatat adalah Wali Kota Tanjungbalai, Muhammad Syahrial Batubara, sebagai Wali Kota termuda Indonesia yang mulai menjabat di usia 27 tahun.
Kontroversi ketika Gibran dicalonkan dan mendadak jadi aktor politik ini pun langsung merebak. Karena dalam waktu sama klan Jokowi juga ngeborong pilkada dengan dicalonkannya sang menantu Bobby Nasution menjadi Wali Kota Medan yang didukung lima parpol, termasuk lagi-lagi, PDIP.
Kontroversi di seputar tudingan bahwa Jokowi sedang akan membangun dinasti oligarki. Barang tentu hal tersebut dibantah.
Menurut Jokowi yang juga ditiru Gibran, pencalonan Gibran kan sebuah kontestasi. Kalau rakyat tak suka, ya, jangan dipilih. Lagi pula tidak ada (sengaja atau lupa?) aturan yang melarang seorang anak pejabat mencalonkan diri.
Kalau perspektifnya prosedural formil begitu, ya memang kagak bisa dicegah. Cuma etika dan nilai moral bagi aktor politik tak tertulis yang bisa mengontrolnya. Itu kalau etika dan moral masih dianggap penting di negeri ini.
Lagian coba kalau misalnya Gibran adalah penjual martabak telor biasa, bapaknya penjual cilok di Pasar Pakem, bukan anak presiden atau ketua partai, gerobak martabaknya mangkal di Jalan Kaliurang Jogja, apa Gibran bisa nyalip Achmad Purnomo dan disetujui PDIP? Sampai tu martabak hangus di penggorengan juga, menjadi mungkin aja bakal susah!
Pilkada di Solo dan Medan—di mana barisan partai politik kompak mendukung anak dan mantu Jokowi—juga menunjukkan betapa tumpulnya partai-partai politik yang tidak punya kader bagus yang secara efektif bisa menandingi kekuatan keluarga elite politik.
Partai politik miskin kader! Beginilah dinamika politik versi mereka. Apa yang dinamis? Cuma mendukung dan tak ada perlawanan kok dinamis?
Empat: First strike Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas lindungi Syiah dan Ahmadiyah
Jelang akhir tahun, “untungnya” ada pernyataan selevel khusnul khatimah dari Menteri Agama edisi new release, Yaqut Cholil Qoumas.
Beliau langsung bikin first strike kehebohan pada hari-hari pertamanya. Seperti sedang testing the water, pernyataan Menag langsung memicu gelombang lumayan sengit. Bahkan ada yang langsung meminta agar sang menteri langsung dipecat. Napsu beuts. Mau bikin rekor?
Pernyataan Yaqut yang membangunkan macan yang tidurnya nggak pernah pules itu, adalah seputar komitmen dia untuk melindungi penganut Ahmadiyah, Syiah, dan penganut keyakinan minoritas lain.
Salah satu portal berita ternama bahkan memberitakan pernyataan Yaqut yang akan mengafirmasi hak beragama kelompok Syiah dan Ahmadiyah di Indonesia. Ini yang kemudian membuat MUI me-WOY-kan sang menteri untuk hati-hati.
Menteri Yaqut langsung memberi klarifikasi. Menurutnya dia tidak pernah menyatakan akan memberi perlindungan khusus kepada kelompok Ahmadiyah dan Syiah. Yang ingin dia lindungi adalah para penganut itu sebagai warga negara.
Pernyataan klarifikasi yang justru membingungkan sebenarnya. Bagaimana memisahkan warga negara dari keyakinannya, coba? Walau memang di dalam Hak Asasi Manusia, yang menjadi subjek adalah hak-hak manusia dan bukan instrumen atau piranti seperti organisasi dan sebagainya.
Artinya lagi, sudah benar apa yang dikatakan Yaqut bahwa dia tidak melindungi organisasi Syiah dan Ahmadiyah. MUI kudu sadar. Belajar lagi soal mendasar dalam wacana hak asasi. Sidang-sidang hak asasi di PBB tidak membicarakan organisasi atau kantor ormas keagamaan. Mereka membicarakan situasi pelaksanaan pemenuhan HAM di negara-negara anggota PBB.
Idealnya memang Yaqut berkata jelas seperti: “Saya melindungi warga negara dan hak-hak berkeyakinan asasinya.” Jelas, tidak abu-abu.
Cuma kan, Yaqut itu sekarang bisa dibilang sebagai aktor politik juga. Pernyataan politisi sering licin dan samar-samar. Jangankan dipegang, dilihat aja susah. Warga negara dan keyakinannya tidak bisa dipisah. Negara harus mengakui dan menghormati hak berkeyakinan, menjamin perwujudannya, dan melindunginya dari ancaman apapun terhadapnya.
Apalagi hak beragama termasuk salah satu non-derogable rights (hak yang tidak boleh ditunda dalam keadaan apapun), dan sudah diadopsi di dalam UUD 1945.
Akhirnya, kelima: Komandan yang ahli kehutanan, tahu apa itu tebang pilih, tumpang sari, dan social forestry
Dan sebagai komandan dari semua arus dinamika aktor politik tadi, Jokowilah orang terdepan dalam memainkan orkestrasi politik 2020. Sebagai alumni fakultas kehutanan, Jokowi mesti paham bagaimana memasuki hutan rimba politik dan menghadapi semua makhluk fauna dan floranya.
Beliau pasti paham metode tebang pilih dalam sistem pemanfaatan hutan: siapa yang mesti ditebang, siapa yang mesti dipilih. Beliau juga pasti yes dengan konsep menanam tumpang sari dan mestinya juga tidak suka dengan sistem monokultur.
Buktinya orang-orang beragam latar belakang profesi dan kepentingan politik beliau rekrut di satu panggung. Bahkan kalo perlu tidak sesuai background keahlian sebagai praktisi, kayak Menkes yang baru, juga not father (ga papa).
Mungkin beliau berharap bisa menunjukkan pada rakyat kalau: Begini ini lho sistem perhutanan sosial (social forestry) politik itu. Di mana hutan bisa memberi manfaat kepada banyak partai dan pengusaha rakyat.
Mungkin inilah praktik paling paripurna dari kuwot Harry S. Truman selama ini…
“If you can’t convince them, confuse them.”
BACA JUGA 5 Peristiwa Politik Paling Wadidaw Sepanjang Tahun 2020 dan tulisan Saleh Abdullah lainnya.