MOJOK.CO – Coba deh kamu ketik “Indonesian Idol” di YouTube, di situ kamu nanti bakal nemu cuplikan video audisi yang cantik-cantik.
Idola Indonesia, katanya. Ajang tahunan, dua tahunan, atau tiga tahunan ini—ya suka-suka penyelenggara aja, sih, asal rating bagus, tahun depan garap lagi—selalu melahirkan idola-idola penuh talenta dalam bidang tarik suara. Mengadopsi dari acara Pop Idol dari Inggris dan bekerja sama dengan stasiun televisi paling nasionalis, RCTI.
Warga indonesia amat doyan dengan munculnya idola baru, dengan bukti sahih, musim ini adalah musim kesebelas ajang kontestasi pencarian bakat Indonesia Idol. Mengusung tema Special Season Indonesian Idol: A New Chapter, ya intinya sama saja, yang trending adalah mereka yang “menarik” dalam balutan semua sentuhan, bukan hanya tarik suara.
Nggak percaya?
Coba saja ketik “Indonesian Idol” per 21 November kemarin, besar kemungkinan laman pertama yang muncul di layarmu adalah cuplikan video audisi Femila Sinukaban. Atau kalau pun ketutup sama cuplikan video lain, video lain itu pun juga berurusan soal kecantikan.
Secara nggak adil, media justru mengambil poin nggak mashook seperti itu. Atau kalau bukan soal kecantikan yang dipotret adalah soal kepribadian atau keluarga peserta. Maksud saya, ada apa sih dengan pola pikir macam ini di Indonesian Idol?
Saya justru mengamini apa yang dikatakan oleh Green Day dalam tembangnya yang berjudul American Idiot, ““Don’t wanna be an American idiot/Don’t want a nation under the new media/And can you hear the sound of hysteria?/The subliminal mind-fuck America.”
Lirik yang tegas tersebut, memperlihatkan bahwa media banyak mengatur tetek bengek nggak masuk akal dan di luar teritori apa yang menjadi tajuk utama.
Dari giringan media, maka menghasilkan sebuah pola kemlinthi yang nantinya bakalan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat.
Pada akhirnya bukan hanya kualitas suara, tetapi faktor lain yang menjadi pembanding seseorang layak atau nggak menduduki tangga juara. Dengan dalih “ini kan Indonesian Idol”, menjadikan seseorang kudu sempurna tanpa tedeng aling-aling.
Pertama, paras menarik
Menarik lho ya, ini debatable banget, sih. Setidaknya, si pemenang ini harus menarik. Kalau yang perempuan ya cantik, kalau pria yang setidaknya nggak mbekisik. Ingat, sekali lagi, Indonesian Idol ini industri televisi. Paket lengkap itu nggak bisa diganggu-gugat.
Lha iya to, wong sudah jelas, dalam tiap judul video YouTube Indonesian Idol, kebanyakan menggiring kepada paripurna wajah seorang manusia. Saya ambil contoh saja finalis tahun ini, Femilia Sinakuban.
Alih-alih mengedepankan suaranya yang bagus, kanal YouTube resminya malah bikin judul, “Dibalik (iya, mereka menulis “dibalik”-nya di gabung) Parasnya yang Cantik…”
Maksud saya, nggak bisa apa ya melepaskan giringan opini bahwa Mbak Femilia Sinakuban ini benar-benar punya bakat berupa nyanyian?
Tanpa kudu membawa embel-embel paras. Nah, dari hal sederhana ini, sahih buktinya bahwa Indonesia Idol nggak hanya mengutamakan suara, tetapi juga paras.
Namanya juga dunia entertain, apa lagi menggunakan sistem kontrak dan bagi hasil setelah juara. Ya kali penyelenggara nggak mau cuan. Paket komplit biasanya menghadirkan cuan yang cukup deras. Nggak percaya? Lihat saja juara dan runner-up musim lalu.
Kedua, persona ngegemesin
Kita tahu hal ini worth-it banget dalam menerjang sistem kompetisi yang super berat seperti Indonesian Idol. Dua musim lalu, Brisia Jodie membuktikan pola ngegemesin atau sok digemes-gemesin, berhasil juga.
Dengan suara yang relatif biasa saja (ya, maaf, kontestan lainnya lebih syahdu dendangannya), Jodie bisa fight sampai tujuh besar.
Jodie nggak licik, tapi cenderung cerdas, bisa memanfaatkan apa yang dibutuhkan oleh pasar. Yah, idol kan konsumsi pasar, bukan perorangan. Dengan belaga ling-lung seperti wong habis mabuk, dia ngosak-ngasik mengambil hati dewan juri, penonton, bahkan bisa jadi entertain sejati dengan meninggalkan sisi ngegemesin ini.
Persona ini lah yang membuat promotor mempertahankan seseorang, dewan juri melihat potensi menarik di tengah pasar, dan tentunya laku dalam dunia entertain.
Nih, ya, Mbak Jodie bahkan jadi tokoh utama dalam film horror yang blas nggak horor itu. Horor-nya malah aktingnya yang flat dan hambar kayak sayur bayem dipanasin tiga kali.
Eh, persona sok nggemesin bloon ini emang dibuat-buat atau beneran nyata adanya, sih? Semoga gimmick doang ya, Mbak Jodie? Nyatanya, pasar suka gimmick begitu.
Ketiga, sensasi
Saya kurang ahli dalam urusan dunia tarik suara. Lah wong nyanyi di kamar mandi saja tetangga saya teriak-teriak. Tapi ya itu, suara bagus kan ada banyak, warna suara ini yang menurut saya menjadi senjata utama di dunia Indonesian Idol. Sayangnya, di sana semua nggak akan jadi apa-apa jika nggak ada sensasinya.
Saya paling suka musim kesembilan, di mana di partai puncak, derbi warna suara terjadi. Ini adalah musim di mana Indonesian Idol paling waras. Yakni Maria Simorangkir yang bersua dengan Ahmad Abdul.
Menjadi pertanyaan, apakah faktor warna suara bisa berpengaruh banyak? Singkat saja, Maria sudah main film, belum? Masak kalah sama juara enam?
Ini lah bukti sahih, persaingan sesungguhnya itu saat sudah terjun di pasar. No offense, ya, gimmick lebih menarick dari tarick suara. Harusnya, selain mengedepankan suaranya yang super yahud, Maria main gimmick sok ngegemesin atau apa gitu kek biar tambah laku.
Ayolah, Maria dan para kontestan yang akan mentas musim ini, jangan terlalu naif, suara saja nggak akan cukup. Di ajang kompetisi seperti ini, drama dan manipulasi nggak bisa terjadi. Pol mentok yang menjual derai air mata dan main gimmick tadi.
Jadi ya persiapkan saja, gimmick sok pekok atau sok imut.
Mengapa saya banyak mencontohkan musim kesembilan? Selain paling waras, realitas tersaji dalam musim ini terlihat amat riang gembira. Pada musim ini pula membuktikan bahwa suara nggak bisa mendorong mereka lebih jauh di ranah pasar tanpa menghadirkan gimmick seperti Mbak Jodie.
Yah, lagi-lagi, American Idiot dari Green Day, “Welcome to a new kind of tension/All across the alien nation/Where everything isn’t meant to be okay/Television dreams of tomorrow/We’re not the ones who’re meant to follow” makin enak saja didengarkan sembari melihat idola-idola baru ini lahir dan berkembang tanpa ada hubungannya langsung dengan urusan tarik suara.
Ealaah, tahu gitu jurinya jangan Ari Lasso, jangan Anang… tapi Uya Kuya dan Ivan Gunawan sekalian.
BACA JUGA Nama-Nama Ini Layak Jadi Kandidat Juri Indonesian Idol Masa Depan dan tulisan Gusti Aditya lainnya.