MOJOK.CO – Warga Perkebunan Kalijompo Jember mengajari saya untuk bersyukur dan menikmati segala anugerah dari Yang Maha Kuasa. Itulah sumber kebahagiaan.
Di antara 38 kota/kabupaten yang ada di Jawa Timur, Jember menempati urutan ketiga sebagai kabupaten terluas setelah Banyuwangi dan Malang. Dari data yang saya temukan, luas kabupaten Jember mencapai 3.293,34 Km2.
Sebagai wilayah yang berada di bagian Tapal Kuda, ada berbagai gunung yang menjadi bagian Kabupaten Jember. Mereka adalah Raung, Betiri, Gumitir, dan Argopuro.
Di setiap gunungnya juga lazim ada perkebunan yang turut menopang kabupaten ini. Salah satunya adalah Perkebunan Kalijompo Jember. Wilayah ini masuk bagian lereng Hyang Argopuro. Kira-kira berjarak 14 kilometer dari Alun-alun Kota Jember. Wilayah ini masih menjadi bagian Dusun Gendir, Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Jember.
Menuju Dusun Gendir dan Perkebunan Kalijompo Jember
Jalanan yang rusak penuh bebatuan mengantarkan saya menuju wilayah Dusun Gendir. Saya menjadi salah satu dari beberapa seniman yang mendapat kesempatan residensi Kalisat Tempo Dulu 10. Adalah Sudut Kalisat yang menyelenggarakan kegiatan ini. Sebuah kolektif partisipatif, arsip bertumbuh, narasi sejarah dan lingkungan.
Sesampainya di Perkebunan Kalijompo Jember, sebagai orang yang lahir dan besar di Temanggung lalu lima tahun ke belakang ini bekerja di Jogja, pemandangan di Perkebunan Kalijompo cukup jarang saya temukan. Biasanya saya hanya melihat gedung-gedung berlantai, rumah-rumah warga yang terlalu padat, dan area persawahan.
Tapi di Kalijompo, di pedalaman Jember, saya melihat area perkebunan yang padat oleh pohon karet, kopi, dan cengkeh. Selain pepohonan yang rindang, di Kalijompo juga terdapat permukiman warga.
Masyarakat sekitar menyebutnya dengan istilah “kongsi”. Tempat inilah yang disediakan oleh pihak perkebunan kepada para warga yang bekerja di sana. Kira-kira jumlah keseluruhan ada 60 KK. Terbagi menjadi 21 kongsi, yakni ada di dekat pabrik dan dekat dengan lapangan SD Klungkung 2.
Semuanya tentu saja adalah pekerja perkebunan. Mereka bekerja secara turun-temurun dan membangun keluarga di area perkebunan. Untuk bahasa sehari-hari, mereka menggunakan Bahasa Madura.
Baca halaman selanjutnya: Belajar cara bahagia di Jember.
Tinggal di Perkebunan Kalijompo Jember
Selama residensi, saya bersama seniman dan tim Sudut Kalisat, tinggal di dekat lapangan SD Klungkung 2. Kira-kira ada 24 rumah yang ada di pemukiman ini. Adalah Pak Samsul, salah satu pekerja, yang menyediakan rumahnya menjadi tempat tinggal selama residensi.
Saya mendengar kalau permukiman tempat kami tinggal terbilang baru. Permukiman ini berdiri selepas banjir bandang yang menimpa Jember awal 2006. Untuk permukiman yang lebih lama umumnya berada di area pabrik. Bahkan ada juga kongsi yang sudah kosong. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama “pulo”.
Selain pulo, di sekitar kami tinggal, ada cukup banyak rumah yang kosong. Umumnya, para pekerja ini meninggalkan Perkebunan Kalijompo Jember karena sudah pensiun atau pulang kampung..
Dinamika yang terjadi selama tinggal di area perkebunan
Perkebunan Kalijompo Jember adalah wilayah pedalaman atau pelosok. Kamu boleh menggunakan istilah mana saja.
Oleh sebab itu, dinamika yang kali pertama saya temukan adalah susah sinyal. Mau pakai provider mana saja, tetap susah. Sinyal ada hanya di titik-titik tertentu saja.
Pihak perkampungan mencoba mengatasi kesulitan ini dengan memasang WiFi. Namun, ya maklum, kalau sangat lemot. Untuk internet, tarifnya Rp100 ribu per bulan. Yah, bagi saya dan teman-teman residensi, soal internet masih bisa kami atasi.
Masalah yang rada bikin pusing adalah soal listrik. Ketahuilah, untuk 24 rumah, listrik hanya tersedia sekitar 900 watt. Jadi, sangat sering terjadi mati listrik ketika warga mulai menggunakan perangkat secara hampir bersamaan.
Saya cukup sering mengalami mati listrik. Dan repotnya, gardu untuk menyalakan listrik berjarak 2 kilometer dari Perkebunan Kalijompo Jember.
Lain cerita untuk kongsi yang berada di dekat pabrik. Di sana, masyarakat masih menggunakan panel surya dan kincir air. Belum ada PLN. Jadi, di sana, pagi-sore menggunakan panel surya, lalu malamnya menggunakan kincir air untuk menghidupkan listrik.
Tidak pernah kekurangan air
Jika listrik dan sinyal mungkin menjadi kendala, lain cerita soal akses air. Di Perkebunan Kalijompo Jember, air terbilang sangat mudah. Bahkan saya menyaksikan sendiri bagaimana air terus mengalir di masing-masing rumah. Tanpa diberi kran lazimnya rumah-rumah era sekarang
Mereka bisa mendapat akses air karena berasal dari sumbernya langsung. Paling masalah yang dihadapi ketika air mati adalah pipa yang bocor karena akar pohon yang masuk ke dalam pipa atau “dirusak” oleh babi hutan. Tapi biasanya warga langsung bergerak cepat memperbaiki ketika hal itu terjadi.
Yang menarik bagi saya adalah tidak ada kamar mandi atau toilet pribadi di tiap kongsi di Perkebunan Kalijompo Jember. Kamar mandi tetap ada, tapi jumlahnya cuma 4 utnuk 24 rumah. Lokasinya ada di setiap ujung kongsi. Di permukiman yang dekat dengan area pabrik pun juga begitu.
Menurut kabar yang saya dapat, kamar mandi/toilet ini terbilang baru, dibangun kira-kira 3 tahun yang lalu. Sebelumnya, masyarakat melakukan MCK dengan memanfaatkan sungai.
Tapi, berhubung sungai sudah dipakai untuk keperluan wisata, pengelola mulai membangun kamar mandi di setiap sudut kongsi supaya tidak “mengganggu” pariwisata.
Budaya di Perkebunan Kalijompo Jember
Di wilayah Perkebunan Kalijompo Jember, masyarakat mengkeramatkan satu makam, yaitu tempat peristirahatan terakhir Lorajun. Menurut penuturan warga, Lorajun adalah sosok yang “babat alas” Kalijompo. Beliau juga orang kepercayaan orang yang membangun perkebunan.
Di setiap kalender Jawa, tepatnya malam Jumat Legi, masyarakat berduyun-duyun untuk doa bersama di area pemakaman ini. Kabarnya, sebelum pandemi, ritual di makam Lorajun terbilang cukup mewah. Mulai dari mulai memberikan kepala sapi, mengundang wayang kulit, dan sebagainya.
Tapi kini acaranya hanya sebatas doa bersama dan bancakan saja. Bahkan kalau ada orang yang mau belajar di sini juga dianjurkan untuk ziarah ke makam Lorajun. Tentu saja kami yang residensi menyempatkan ziarah. Sebagai bagian dari doa agar selama tinggal di sini tidak ada hambatan.
Selain prosesi tradisi di makam Lorajun yang sudah berubah, ada juga tradisi lain yang hilang di wilayah Perkebunan Kalijompo Jember. Namanya adalah tradisi nyunteng. Biasanya, sehabis panen kopi, masyarakat melakukan tradisi ini. Tapi, semenjak pandemi sampai sekarang, tradisi itu juga sudah hilang.
Pabrik yang tidak pernah direnovasi sejak masa kolonial Belanda
Perkebunan Kalijompo Jember sudah eksis sejak abad 19, kira-kira 1884. Adalah Belanda yang membangun perkebunan ini dibangun. Selain mendirikan perkebunan dan membangun peradaban di sini, Belanda juga turut membangun pabrik. Konon, pabrik itu belum pernah direnovasi sejak awal berdiri.
Di sini, masyarakat melakukan aktivitasnya berupa menyortir kopi, menyimpan-menjemur cengkeh, dan menyetorkan hasil sadap pohon karet. Jumlah pekerja yang ada di sini terus berubah-ubah. Pernah “hanya” 200 orang dari sebelumnya 400. Pemangkasan itu terjadi karena banyak pekerja yang pensiun dan juga tata kelola pabrik sendiri.
Umur para pekerja di sini bervariasi. Tapi saya melihat mereka tampak lebih muda ketimbang umur aslinya. Misal, saya tanya ke salah seorang pekerja laki-laki yang tampaknya berusia 50 tahun. Begitu saya tanya soal usia, orang itu menjawab sudah berusia 60 tahun lebih.
Saya menduga mereka bisa tetap berumur panjang dan tetap terlihat muda lantaran melakukan aktivitas yang selalu bergerak. Dari mulai menyadap karet (proses mengumpulkan getah karet dari pohonnya), panen cengkeh dan kopi. Semuanya butuh gerak.
Bahagia di perkebunan
Selama 12 hari residensi di Perkebunan Kalijompo Jember, saya merasa senang. Warganya murah senyum, ramah, dan baik hati.
Bahkan, setiap mampir, warga selalu menyeduh kopi dan membuat masakan untuk saya dan teman-teman. Mereka mengambil bahan masakan dari kebun sendiri, misalnya daun kelor, labu, dan sayuran lainnya. Dan setiap mampir itu, warga selalu meminta kami untuk menginap.
Suatu ketika saya pernah bertanya, apakah warga sering pergi ke kota. Mereka menjawab “tidak” dan lebih sering menghabiskan waktunya di area perkebunan. Mereka merasa “cukup” serta bahagia.
Kata “bahagia” itu saya rasa bisa menjawab banyak hal. Terkadang, hidup ini jadi terasa begitu berat karena kita merasa tidak pernah cukup. Warga Perkebunan Kalijompo Jember mengajari saya untuk bersyukur dan menikmati segala anugerah dari Yang Maha Kuasa. Selama 12 hari, saya bukan residendi, tapi belajar kehidupan.
Terima kasih warga Perkebunan Kalijompo Jember. Tabik.
Penulis: Khoirul Atfifudin
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Terima Kasih Jember, Saya Jadi Semakin “Kaya” sebagai Manusia dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.
