MOJOK.CO – Dideketin akhi-akhi yang perhatian banget kayak mau ta’aruf, ketika udah deket ditinggal gitu aja. Katanya, kamu cuma jadi lahan dakwahnya.
Pernahkah kamu secara nggak sengaja lihat trailer dari sinema-sinema yang menayangkan cerita proses ta’aruf berujung pernikahan yang disajikan dengan begitu manis, romantis, dan ngebaperin? Kalau pernah, tenang, kamu nggak sendirian.
Yah, nggak bisa dipungkiri, dengan menjamurnya akun-akun hijrah di media sosial, yang selain membanjirnya konten mengenai proses hijrahnya seseorang, tema yang turut serta digandrungi anak-anak muda, wabilkhusus yang baru hijrah, adalah konten ta’aruf.
Yaaa kaliii siapa yang nggak baper. Baru nyampe rumah, eh, di ruang tamu lagi ada cowok gagah, saleh, dan ganteng sedang narik iuran desa melamar kita secara tiba-tiba? Hm.
Fenomena hijrah yang sudah banyak menjamur seperti sekarang membuka peluang khayalan bagi saya untuk bisa bertemu dengan sosok-sosok alim nan bersahaja yang bisa jadi calon imam idola, lantas datang untuk ta’aruf ke saya.
Didukung dengan tayangan-tayangan mengharukan mengenai proses ta’aruf yang berlanjut ke khitbah dan akhirnya nikah. Hal kayak gini jelas makin memantik rasa pinisirin perempuan kayak saya.
Hm, gimana ya calon suami saya nanti? Apakah ia adalah sosok alim bergelar lulusan kampus ternama? Penghafal Al-Quran? Mapan? Tampan? Atau malah semuanya?
Khalayan-khayalan semacam itu memang pernah membuai saya. Mungkin karena saya kebanyakan nonton sinema-sinema ta’aruf sih, sehingga bikin jomblo akut kayak saya (pada waktu itu) semakin haus akan kehadiran sosok idaman.
Saya ingat betul masa-masa itu. Sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, saat saya masih fresh graduate dari SMA. Masih berada pada titik paling emesh–emesh-nya. Begitu unyu-unyu, polos, dan mudah tertipu.
Saat itu, saya didekati seorang akhi. Yah, sebut saja namanya Fahri. Seorang cowok yang terlihat saleh dan ‘alim.
Postingan Instagram Fahri selalu berisikan potongan-potongan video tausyah. Ini belum dengan DM-DM-nya yang selalu diawali dengan “assalamualaikum”. Udah gitu, nggak pernah meng-aku-kan atau meng-kamu-kan karena selalu pakai “ana” dan “antum”. Kami dekat lumayan lama, sekitar 3 tahun saling mengenal.
Ya, saya nggak mau munafik sih, siapa juga perempuan yang nggak ke-GR-an dideketin sama satu cowok saleh begitu? Apalagi rasanya kayak udah ngerasa sreg gitu.
Sayangnya, yang kemudian jadi pertanyaan bagi saya adalah…
“Hm, kok dia nggak nembak-nembak aku ya?”
Ada hal yang menguatkan saya untuk tetap berada dalam hubungan minim kejelasan kayak gitu, yakni kesadaran bahwa potongan cowok kayak Fahri ini pasti nggak doyan pacaran. Makanya, saya harus sabar menunggunya mau menjalani hubungan serius dengan saya.
Setelah lama memendam begitu banyak pertanyaan akan hubungan yang nggak jelas banget ini, saya memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan paling krusial nomer tiga setelah “kamu kapan nikahin aku?” dan “BPJS udah nunggak berapa bulan?”. Dan pertanyaan itu adalah…
“Hubungan kita ini sebenernya apa sih?”
Seolah mendapat cipratan dari amazing-waterfall-heavenly-blush-on-earth dengan dinginnya dia menjawab…
“Ya nggak ada. Ana mendekati antum tiada maksud lain selain daripada untuk syiar dakwah.”
(((UNTUK SYIAR DAKWAH)))
Ealah, 3 tahun dideketin, diperhatiin, kalo sakit disuruh minum obat dan istirahat. Kegiatan pagi, siang, malem saya dikabarin. Masa kelulusan, masa cari kerja, dan sampai di masa kami sama-sama kerja. Lalu ketika ditanya soal hubungan yang aing anggap itu sebuah hubungan antara akhi dan ukhti yang saling mencintai dalam diam dan bersua dalam doa di sepertiga malam, tahunya aing hanya dianggap peserta ruqyah doang.
Kala itu, rasanya pengen banget bikin FTV terus dikasih judul, “Aku simpan cerita yang berlimpah ruah, aku simpan semua yang kau anggap hanya sekadar syiah dakwah.” Tapi nggak jadi. Kepanjangan anjir kek judul skripsi.
Saking kecewanya, semenjak itu saya menutup semua akses untuk berkomunikasi dengan dia lagi. Pokoknya bodo amat dengan cap memutuskan silaturahmi, aing nggak peduliiii. Aing sakit hatiiiii!
Sampai akhirnya saya jadi lupa kalau pernah begitu ingin dita’arufi oleh Fahri. Tiba-tiba pada suatu hari, seorang ukhti menghubungi saya. Jilbabnya lebar, penghafal Al-Quran, dan beliau nge-DM saya.
“Mbak siapanya Fahri, ya?”
Saya jawab, “Temen. Kenapa emang? Ada yang perlu saya banting bantu?”
Tanpa dinyana ia lanjut curhat kalau dulu pun pernah dideketin, dibikin baper sampai berharap bakal segera dikhitbah sama Fahri. Ternyata—sama kayak saya—Fahri langsung pergi menghilang gitu aja kayak buron KPK.
Fahri… Fahri… keterlaluan amat sih elu, Riii, Riii.
Bapak lu nonton, Fahriii.
Mendengar cerita dari mbaknya, saya bisa mengambil kesimpulan kalau si Fahri mengerjai si mbak ini barengan ketika saya dia kerjain juga. Syialan.
Emang kayaknya, pendalaman karakter Fahri-nya benar-benar berhasil. Memposisikan diri seolah-olah lagi berada di tengah-tengah dua perempuan yang ngarepin dia, seolah-olah lagi kebingungan pilih Aisha atau Maria lalu akhirnya ninggalin dua-duanya. Haes, Fahri bangke!
Kalau saja dulu saya se-suudzon saya yang sekarang, saya pasti akan mencari tahu dia lebih dalam. Ya kan siapa tahu postingannya tausiyah semua, tapi di list following-nya ada Mia Khalifa pula? Kan siapa tauuu~
Selain itu, saya juga kepengin menghardik dia yang doyan banget manggil saya ontam-antum-ontam-antum. Dan saya pasti akan lebih cepat untuk menendang dia dari kehidupan saya sebelum luka hati itu kadung terjadi.
Lagipula, syiar dakwah macam apa yang antum praktikkan, Akhi?
Metode dakwah dari ustaz mana yang tengah antum tiru, Akhi?
Syiar dakwah mana yang selalu mengawali tanya “lagi apa nih”, Khi?
Syiar dakwah mana yang nanya kamu di mana, dengan siapa, semalam berbuat apa, hah?
Bukan sekali dua kali saya menyaksikan kisah-kisah orang yang berta’aruf di dunia nyata. Banyak yang berhasil dan bahagia pada akhirnya, tapi ada juga yang sebaliknya. Ada yang malah ditipu, karena CV yang diisi si calon tidak sesuai dengan apa yang dimiliki dalam kenyataan. Atau kayak saya, yang cuma berakhir jadi objek dakwah.
Sejujurnya saya mendukung adanya insan-insan kreatif yang memvisualkan hubungan dua manusia yang begitu berjalan harmonis dan romantis seperti yang ditayangkan oleh channel–channel Youtube spesialis percintaan islami.
Tapi, alangkah baiknya kalau kita sebagai penonton, jangan sampai terlalu terbawa perasaan, dan lebih realistis dalam melihat segala sesuatunya. Soalnya, jodoh itu benar-benar rahasia Allah, maka biarlah ia mengalir seperti seharusnya. Meski orang yang datang untuk ta’aruf nantinya tidak sesempurna aktor utama Ayat-Ayat Cinta jilid satu dan dua.
Jangan terlalu terbuai dengan apa yang disaksikan, sesungguhnya hubungan relasi antara dua orang adalah hubungan yang dinamis dan penuh aura begajulan. Apa yang kamu saksikan, meski sangat manis, harus diakui sedikit banyak dilebih-lebihkan oleh editor videonya.
Bisa jadi orang yang mendatangimu tidak sesuai harapan, bisa jadi ia justru orang yang paling kamu benci, yang bahkan lain dari nama orang yang sering kamu sebut di sepertiga malam.
Saya percaya, perkara menemukan jodoh itu rumit tapi simpel. Rumit karena harus mencari orang yang mau menyempurnakan separuh agama kita sekaligus rela menyempurnakan separuh rangkaian skincare kita. Simpel.
BACA JUGA Perempuan yang Sekolah Tinggi Memang Tidak Berniat Menikahi Akhi-Akhi Cupet atau tulisan Elsa Fitriyani lainnya.