Baca cerita sebelumnya di sini.
Atau: Pandangan Bambang tentang Humor dan Alasan Saya Memecatnya
1. Setiap upaya melucu adalah tugas sedih. Semua pendengar tahu bahwa dorongan terbesar seorang humoris adalah perasaan ingin disukai dan dipedulikan, tetapi takkan ada yang berpikir, “Apa yang salah dengan dia?” sampai kelakarnya benar-benar tidak lucu atau, dalam beberapa kasus, ia mengulang lelucon yang sama lebih dari tiga kali.
2. Seperti pendusta, humoris selalu tahu kapan ia harus berhenti, tapi tak pernah sanggup melakukannya.
3. Setiap kelakar tentang orang tua, terutama yang benar-benar lucu, hanya mungkin diciptakan dan dihargai oleh orang-orang dengan masa kecil bahagia. Kedua orang tua saya, misalnya, mati terbakar beberapa tahun lalu. Sesaat setelah membuka risleting kantong-kantong mayat, saya berkata ke petugas medis: “Kulihat mereka berdua sama matangnya.” Petugas itu tertawa. Masa kecil saya sepenuhnya bahagia, kecuali saat-saat Ayah menghajar saya dengan gesper dan Ibu pergi dari rumah.
4. Setiap kelakar tentang orang cacat pada dasarnya merupakan protes terhadap gagasan tentang Yang-di-Atas-Sana. Masyarakat modern membenci perundung-perundung kecil, tetapi memuja perundung paling besar yang suka mengatur-atur dan mengancam dan mengadu domba dan menyuruhmu mengeluarkan uang dan sama sekali tak memahami consent.
5. Banyak orang mengatakan inti kelakar adalah kejutan. Namun, lelucon berisi kejutan-palsu atau tanpa kejutan pun bisa mengundang tawa. Terserah sajalah. Kau bisa mengatakan “105” atau “2.409” dan orang-orang akan tertawa, asalkan kau menyampaikannya dengan cara yang tepat.
6. Para pembenci slapstick adalah orang-orang yang tertawa paling keras saat menonton video pria gemuk telanjang tertimpa tiang listrik dan jatuh ke comberan di Facebook.
7. Setiap humoris harus mempertahankan keyakinannya tentang apa-apa yang lucu dan yang tidak di hadapan otoritas. Lelucon saya tentang bibir yang disengat tawon dalam Bakat Menggonggong—yang awalnya ditolak Dea Anugrah karena dia menganggapnya kasar dan misoginis—adalah bagian buku itu yang paling banyak dikutip di Instagram. Vox Bambang vox netizen, Motherfucker!
8. Lelucon tentang bunuh diri bukanlah jeritan minta tolong. Tenang saja. Tapi kalau suatu saat kau tertawa karena kata rambutan, segera hubungi Into the Light atau Ikan Kontol atau apa sajalah, yang penting kau cepat ditangani.
9. Plesetan seperti ibuprofen. Ia meredakan sakit kepala, tapi telanlah lebih dari tiga kali sehari secara rutin dan otakmu bakal segera dimakan tumor.
10. Sindiran hanya mungkin diciptakan dan dihargai oleh orang-orang miskin dan pengidap oedipus complex.
11. Afrizal Malna sudah berumur 61 tahun dan masih bersedih karena cinta.
12. Rambutan.
Baca cerita berikutnya di sini.