MOJOK.CO – Gara-gara video yang berisi santri di sebuah pesantren sedang menata piring viral, santri lalu dicap nggak peduli sama makanan higienis. Lha? Kan emang iya.
Nasib jadi orang yang pernah mondok, pertanyaan apapun soal pesantren kok ya selalu ditanyakan ke saya—apapun itu. Masih mending kalau tanyanya soal perkara haram, makruh, sunah, lha ini kebanyakan soal tradisi-tradisi pesantren yang aneh-aneh.
Baru saja hal itu terulang lagi. Teman saya, sebut saja namanya Audian Laili, Redaktur Mojok, tiba-tiba kasih sebuah link video soal makanan yang disajikan di sebuah pondok pesantren. Dibarengi dengan kalimat mancing-mancing agar saya mau nulis soal itu. Salah satu hal yang ditawarkan agar saya tertarik nulis ya soal komentar-komentar netizen di video tersebut.
Saya buka link tersebut, dan taraaaa….
Lihat postingan ini di Instagram
Hm, saya tak melihat sesuatu yang istimewa dari video tersebut. Kamu mungkin juga sependapat dengan saya. Pun dengan komentar-komentar netizen di sana. Biasa aja. Bahkan saya heran, ini kenapa video kayak gini aja yang nonton dan komen banyak amat dah?
Sampai kemudian saya menemukan komentar ini: “Itu makanan kok diperlakukan kayak sampah tohh.”
(((diperlakukan kayak sampah)))
Tentu saja komentar tersebut langsung jadi kayak pelet yang dilempar di kolam lele. Kemruyuk. Tanpa ampun. Udah bener-bener kayak Royal Rumble di WWE. Semua langsung nyerang orang yang bikin pernyataan makanan-kok-diperlakukan-kayak-sampah itu. Saya? Ya cuma cengengas-cengeges aja.
Wajar saja saya kira ketika ada netizen yang merasa tersentil ketika membaca komentar tersebut. Apalagi jika netizen tersebut pernah jadi santri. Rasanya, sebagai sesama santri, ada semacam jiwa korsa yang akan menyembul di dalam dada kalau santri atau pesantren lain dikomentari hal-hal ngguatheli seperti itu.
Padahal toh, bisa jadi yang komentar emang nggak tahu lika-liku kehidupan santri. Jadi ketika melihat video tersebut, perspektifnya cuma terpentok pada durasi detik dan sempitnya ruang kamera dalam menangkap cerita.
FYI aja nih, Mas atau Mbak yang komen.
Sebenarnya apa yang dilihat dari video itu justru merupakan bentuk penghormatan tertinggi seorang santri terhadap makanan. Terutama terhadap makanan sebanyak itu.
Soalnya kalau kegiatan itu terjadi di pesantren saya—berani taruhan saya, itu piring yang berisi makanan akan tersusun rapi di tempat yang sudah ditentukan: tanpa ada makanan yang tersisa sama sekali di atas piringnya.
Yaktul, kalau saya masih santri, saya jelas nggak tahan untuk ikut menggeser piring penuh makanan sambil mencomot satu komposisi makanan yang ada di atasnya. Satu kerupuk atau suwiran daging ayam misalnya. Mesti satu kerupuk atau satu suwiran daging ayam doang yang diambil, kalau sebanyak itu ya kenyang juga, Buos.
Satu hal yang hampir bisa saya pastikan—kegiatan santri menyusun makanan di video itu kayaknya bukan kegiatan rutin di pesantren tersebut. Soalnya terlalu mewah untuk ukuran pesantren makanan santri disajikan prasmanan layaknya rumah makan padang.
Paling banter, itu makanan memang disiapkan untuk tamu-tamu pesantren. Bisa jadi karena sedang ada acara khataman atau haul di pesantren tersebut.
Jadi, kalau melihat itu makanan di atas piring kok masih dalam keadaan utuh, selamat, dan tanpa “terluka” sekalipun ketika disusun. Maka bisa dipastikan, si santri sangat menghormati makanan tersebut. Lha gimana? Saking hormatnya, sampai nggak ada yang berani nilep je.
Lalu ada lagi komentar netizen lain yang menggelitik. Mempertanyakan soal higienis atau tidak makanan tersebut. Maklum, sebelum piring itu ditumpuk-tumpuk jadi piramida ala rumah makan padang, piring itu kan diseret-seret di lantai yang belum tentu bersih.
Pfft. Higienis? Kosakata dari galaksi mana tuh?
Maaf ya, Mas atau Mbak. Di pesantren, makanan bagi santri itu benar-benar nggak bisa dipatok pada parameter bersih atau tidak bersih, higienis atau tidak higienis. Bagi santri bisa makan aja sudah layak diganjar sujud syukur tiga hari tiga malam. Bisa makan tiga kali sehari itu bagi santri udah kayak tercium wangi-wangi bunga surga.
Lho memang di pesantren itu nggak disediakan makanan ya?
Ya tentu saja disediakan. Cuma ya itu, antrenya benar-benar bikin gila.
Bayangkan saja ratusan sampai ribuan santri makan pada waktu yang hampir bersamaan. Datang pada loket makan yang paling banter jumlahnya 4-5 (di pesantren saya malah cuma satu loket). Lalu si santri harus dikejar waktu karena bel sekolah bentar lagi berbunyi. Padahal setelahnya harus mandi pula. Mana kalau mau mandi pun juga antre, mau pipis antre, mau boker antre, bahkan mau antre pun ada antreannya lagi.
Dengan situasi seperti itu, maka wajar kalau santri akhirnya mengalami mutasi genetis secara alami. Mulut jadi begitu cepat mengunyah, tenggorokan jadi begitu lebar untuk memasok makanan masuk, gerak peristaltik jadi 100 kali lebih cepat dari manusia normal, lalu lambung pun berevolusi jadi kayak lambungnya orang-orang Saiya.
Bahkan konon, karena kebiasaan makan yang didesak waktu begitu sempit dalam keadaan perut keroncongan begitu, ada juga beberapa santri yang akhirnya mengalami evolusi seperti komodo. Bisa makan banyak bahkan tanpa perlu dikunyah—kadang tanpa perlu minum lagi. Yakin dah, kalau Profesor Charles Xavier alias Kepala Sekolah X-Men lihat, dikasih beasiswa LPDP itu bocah.
Jadi jelas, perkara higienis itu jelas tidak masuk list dalam kebutuhan santri. Bahkan kosakata itupun tidak pernah muncul dalam satu kali pun pelajaran kitab kuning yang diajarkan guru-guru di pesantren. Nggak pernah itu saya dengar, ketika ngaji lalu ada santri yang selo lalu tanya, “Kang, seberapa penting sih makanan higienis itu?”
Higienis atau tidak, pfft, itu jelas nggak bakal masuk hitungan bagi santri. Sebab hitungan pertama santri di pesantren soal makanan itu… ada yang bisa dimakan.