[MOJOK.CO] “Pindah agama itu hak, tapi kalau jelek-jelekin agama terdahulu tujuannya apa?”
Baru-baru ini viral sebuah video berisi seorang lelaki paruh baya yang berusaha mengajak supir taksi online untuk pindah agama. Wajar sih, kalau reaksi awal mula melihat video itu bikin gemas-gemas gimana gitu. Ada berbagai reaksi dari pakar-pakar agama Islam yang bermunculan di medsos. Ada yang merespon dengan ancaman-ancaman ke si Bapak itu, ada pula yang ingin tabayun.
Ayolah, mari lupakan dulu soal latar belakang maupun alasan-alasan si bapak untuk pindah keyakinan. Yakin deh, hal privat macam begitu bukan urusan kita. Kalau situ pada marah hanya karena beliau diduga ahli di agama terdahulu, lalu menjadi seorang pemuka agama di keyakinan barunya, harusnya situ bersyukur, beliau menemukan keyakinan yang cocok dengan pribadinya. Sebab, pindah keyakinan itu domain privat, situ mau ngomong sampai berbusa juga enggak bakal ngaruh kalau di kesunyian beliau sudah menemukan kebenaran yang berbeda.
Sebelum jauh ngomongin bapak-bapak yang setelah saya googling bernama Saifuddin Ibrahim (Abraham Ben Moses) ini, sebenarnya kejadian macam begini bukanlah merepresentasikan mengenai agama baru si Bapak. Apalagi soal obrolan yang coba mencari celah-celah kesalahan dalam agama Islam, itu murni dari personal si Bapak, bukan pada keyakinan baru si Bapak. Poin itu saya pikir penting untuk digarisbawahi agar pembicaraan ini enggak meluas ke persoalan antar agama.
Sejujurnya, saat melihat video tersebut saya jadi ingat dengan aktivitas Zakir Naik di Indonesia beberapa waktu silam. Itu lho, yang tour Zakir Naik ke beberapa kota di Indonesia lalu dengan gagahnya mengislamkan atau memualafkan beberapa orang. Kalau Zakir Naik bisa bikin orang pindah agama, kenapa orang lain tidak boleh? Bukankah keyakinan itu hak? Atau jangan-jangan, orang lain boleh pindah agama ke Islam, tapi tak boleh keluar islam?
Eit, tapi tunggu dulu. Benarkah orang-orang tersebut diislamkan oleh Zakir Naik? Itu pun kalau kita setuju Zakir Naik adalah pemuka agama. Kita perlu bertanya, mengapa orang pindah agama? Apakah orang tersebut mengambil keputusan pindah agama secara sadar? Atau sebenarnya mereka pindah agama karena memang proses pencarian keimanan sendiri?
Syarat menjadi orang Islam itu memang tidak sulit. Saya katakan tidak sulit karena pada dasarnya hanya perkara mau meyakini dengan sepenuhnya mengenai tiada Tuhan selain Tuhannya orang Islam dan meyakini juga dengan sepenuhnya Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan. Syahadat. Cukup itu thok. Simple.
Bahkan jika orang tersebut tidak bisa membaca tulisan arab atau–misalnya–tidak bisa ngomong arab, jika ia sudah sepenuhnya yakin, ya dia sudah muslim. Artinya, menjadi seorang muslim bisa dilakukan dalam keheningan tanpa perlu juga ada seorang pun yang tahu. Nah proses mendalami agama seperti bacaan kitab, beribadah, dan syariat lainnya kita pelajari satu-persatu, usai mengucapkan syahadat tadi.
Akan tetapi karena menjadi Islam juga berpengaruh pada domain publik (habluminannas), tentu saja seorang yang masuk Islam perlu disaksikan oleh orang lain. Hal yang dilakukan semata-mata hanya untuk urusan dunianya saja. Identitas sang mualaf saja. Pada poin ini bisa dipahami bahwa menjadi Islam-nya seseorang bukanlah pada titik seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan saksi, melainkan pada keputusan yang ia ambil sebelum itu.
Hal yang juga tentu saja juga berlaku sebaliknya.
Seorang yang keluar dari agama Islam tidak perlu dihadapkan pada saksi, kelompok, atau institusi untuk mengakuinya, sebab keputusan ia murtad sudah dimulai ketika ia menolak lagi untuk mempercayai dua atau salah satu dari dua kalimat syahadat. Bisa tidak mempercayai Tuhannya orang Islam, atau tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Tuhan, atau tidak percaya keduanya. Hal itulah yang kemudian membuat seseorang bisa saja menjadi murtad juga dalam keheningan.
Jadi, akan sangat sia-sia ketika kita membahas mengenai perpindahan keyakinan seseorang. Mau sampai Pak Wiranto jadi Presiden Indonesia juga perdebatan macam begitu tidak akan ada ujungnya. Lha piye? Situ ngomongin apa yang ada di dalam hati jeh.
Memangnya situ mau jadi seperti Usamah bin Zaid? Sahabat Nabi yang membunuh pasukan Quraisy, meskipun si pasukan sudah mengucapkan dua kalimat syahadat ketika posisi sudah dalam keadaan terdesak? Dan karena tidak percaya, Usamah tetep menancapkan tombaknya. Mati deh si pasukan tersebut.
Logika Usamah pun bisa dipahami. Ya iyalah dibunuh, lagi kepepet gitu bilangnya mengimani Islam, coba kek dari kemarin-kemarin sebelum perang.
Hal yang kemudian membuat Usamah ditegur habis-habisan oleh Nabi Muhammad: “Kenapa engkau tidak membelah dadanya, sehingga engkau tahu apa hatinya mengucapkan La Illah Illa Allah secara ikhlas atau karena alasan lain?” Nah lho.
Kembali ke persoalan bapak-bapak yang menjelek-jelekkan mantan agamanya sendiri. Di kalangan mualaf sendiri sebenarnya tidak sedikit yang melakukan hal yang sama. Beberapa mualaf ada yang melakukan dakwah dengan mengorek-korek kesalahan maupun kekurangan dari agama yang dulu pernah ia yakini. Rasanya tidak perlu saya sebutkan. Ada banyak nama di sana, dari (yang ngaku) mantan biarawati, suster, pendeta, sampai bahkan ada yang akhirnya jadi penceramah kondang yang jadi pegiat khilafah.
Pada titik ini, hal yang mengkhawatirkan bukanlah mengenai perpindahan keyakinan seseorang dari agama apa ke agama apa, melainkan cara seseorang menunjukkan kebenaran dengan mempertontonkan kesalahan di pihak lain.
Saya tidak perlu mengutip hadis atau ayat untuk yang satu ini, tapi cukuplah dari Ranchoddas Shamaldas Chanchad yang kira-kira bilang begini: “Ada dua cara untuk menjadi yang terbaik. Pertama tingkatkan kemampuanmu sendiri, dan yang kedua buatlah orang lain terlihat lebih lemah darimu.”
Jika dikontekstualisasikan pada perkara ini maka kira-kira akan begini bunyinya: “Ada dua cara untuk menunjukkan bahwa dirimu benar. Pertama, tunjukkan kebenaran apa adanya baru tunjukkan apa-apa yang salah tanpa perlu menunjuk orang lain. Kedua, tunjukkan apa yang salah dari orang lain lalu tawarkan bahwa kebenaran versimu lebih baik.”
Dan orang yang lebih suka menunjukkan kebenaran dengan mencari-cari kesalahan di pihak lain sebenarnya adalah petunjuk bahwa ia sebenarnya tidak menguasai apa yang sebenarnya ia yakini sendiri sebagai sebuah kebenaran.
Emangnya, enaknya apa sih menjelek-jelekkan mantan agama sendiri? Belum kompeten jadi pendakwah sama agama yang baru po piye?