Sudah banyak tulisan yang menghubungkan serial animasi Naruto: Shippuden dengan kondisi perpolitikan di negara kita. Yang paling sering, perbandingan antara tokoh-tokohnya, terutama para hokage, dengan mantan-mantan presiden kita. Atau antara tokoh Naruto yang lain dan politikus yang lain lagi mengenai kesamaan sifat atau latar belakang mereka.
Saya tidak akan menulis soal itu karena tiga alasan. Pertama, jelas karena sudah terlalu banyak yang menulis. Kedua, membicarakan mantan hanya akan menggagalkan usaha kita untuk move on. Dan ketiga, karena nama Hary Tanoe justru tidak pernah disebut dalam tulisan-tulisan itu. Padahal serial itu ditayangkan kembali di TV-nya Oom Hary. Kurang durhaka gimana coba para penggemar Naruto sama Oom Hary?
Saya akan membicarakan hubungan Naruto dengan Oom Hary. Hanya Oom Hary. Lebih tepatnya lagi, dengan mars partainya Oom Hary yang fenomenal.
Naruto bukan serial animasi pertama yang ditayangkan kembali oleh stasiun televisinya Oom Hary yang antikapitalis. Sebelumnya sudah ada Dragon Ball, yang pertama kali ditayangkan Indosiar di tahun ‘90-an. Semenara Naruto pertama kali ditayangkan di awal 2000-an di TransTV. Setelahnya dia berpindah-pindah stasiun televisi, mirip-miriplah dengan politikus yang suka berpindah-pindah partai untuk mempertahankan atau mencari jabatan yang lebih baik.
(Baiklah, supaya lebih cespleng, kita sebut saja: mirip Ahok.)
Orang tidak boleh melupakan kenyataan bahwa Oom Hary adalah politikus. Setiap langkahnya adalah langkah politik, langkah yang tentunya sudah dipikirkan masak-masak, termasuk ketika memilih untuk menyiarkan ulang serial animasi lawas di stasiun televisinya. Mungkin untuk jadi selingan di sela-sela penayangan mars partainya.
Jadi, di TV Oom Hary, yang acara utama itu sebenarnya “Mars Perindo”, acara-acara lain cuma jeda.
Tapi, lalu antara Oom Hary dan Naruto bukannya tidak ada hubungan. Kalau mau membahasnya seperti tulisan-tulisan yang sudah ada, bukan tidak mungkin Oom Hary ingin mencitrakan bahwa dirinya sama dengan Naruto. Naruto, walaupun anak hokage, selalu diremehkan kemampuannya. Oom Hary kurang diremehkan bagaimana? Lha wong di tulisan-tulisan yang saya singgung di atas saja namanya tidak pernah disebut-sebut.
Saya malah curiga: jangan-jangan bukan Oom Hary yang ingin meniru Naruto, justru Naruto yang bisa jadi hokage karena terus disemangati “Mars Perindo”.
‘Raihlah mimpimu bagi nusa dan bangsa’, ‘entaskan kemiskinan cita-citamu’, ‘rintangan tak menggetarkan dirimu’, dan seterusnya; siapa yang tidak akan tergerak hatinya disemangati begitu rupa? Seandainya Sasuke lebih tekun mendengarkan Mars Perindo, bukan tidak mungkin dialah yang akan jadi hokage, bukan malah terjatuh ke lembah nista bergabung dengan Orochimaru.
Kalau mau serius, banyak yang bisa dipelajari dari langkah Oom Hary ini.
Pertama, kita harus membandingkannya dengan politikus yang juga punya stasiun tivi. Di posisi ini Oom Hary bersaing dengan Surya Paloh dan Abueizal Bakrie. Stasiun televisi yang dimiliki oleh dua nama terakhir dalam satu dasawarsa ini berlomba-lomba untuk menjadi stasiun televisi berita terbaik. Bahkan program andalan keduanya, Mata Najwa dan ILC, selalu dibanding-bandingkan orang.
Pertanyaannya, seberapa banyak sih orang yang menonton berita? Banyak politikus yang pernah diundang di kedua program andalan dua stasiun televisi itu dan berlomba-lomba biar terlihat pintar. Tapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa pintar bukan faktor utama dalam dunia politik kita. Yang paling penting adalah popularitas. Itulah sebabnya, politikus yang sedang berkompetisi sepertinya justru lebih menikmati kalau sedang tampil di acara Dangdut Academy.
Belakangan, cuma tivi Oom Paloh yang masih keras kepala berusaha untuk jadi tivi berita. Tivi Oom Ical mulai terlihat banting setir dengan menayangkan telenovela. Mungkin ini usaha Oom Ical untuk menjadi populer di mata ibu-ibu dan gadis-gadis remaja. Saya tidak bilang itu langkah yang buruk, tapi itu jelas tidak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan taktik brilian Oom Hary.
Mari berhitung. Orang-orang yang dibesarkan oleh serial animasi Dragon Ball dan Naruto Shipuden sekarang kemungkinan sudah berumur 30-40 tahun. Ini usia emas pemilih di Indonesia: mapan, kritis, dan cerewet di media sosial. Kalau Oom Hary berhasil merebut hati mereka, Oom Hary akan mendapatkan jasa buzzer gratisan—terutama kalau setelah membaca tulisan ini mereka menyadari belum pernah sekalipun bilang terima kasih ke Oom Hary.
Ketika kedua serial animasi itu kembali ditayangkan oleh Oom Hary, keduanya juga masih digemari oleh para remaja. Mereka ini adalah pemilih pemula yang jangankan kritis, tahu apa yang dibahas para politikus lagi debat aja enggak. Ini juga target potensial dari langkah politik Oom Hary. Jumlahnya banyak dan masih suka bergerombol kongkow-kongkow di kedai kopi impor. Bayangkan, di sela-sela ngopi dan numpang nge-cas hape, mereka membicarakan politik dan politikus idolanya.
Tidak heran kalau kemudian Oom Hary berani menayangkan film Naruto di jam tayang utama. Setiap hari pula. Diselingi Mars Perindo, tentu saja.
Seandainya nanti di tahun 2019 Oom Hary dan partainya belum bisa memanen hasilnya, perkiraan saya selambat-lambatnya pada pemilu berikutnya, 2024, Oom Hary akan menangguk kesuksesan besar. Tanda-tandanya sudah bisa dilihat dari sekarang: tidak ada anak-anak yang tidak hafal mars partainya Oom Hary. Saya curiga jangan-jangan mereka juga mengira kalau mars itu adalah lagu kebangsaan kita.
Apa masalah paling partai-partai politik kita sekarang? Kaderisasi. Pemimpin-pemimpin daerah yang menonjol namanya, yang juga berdampak pada perolehan suara partai pendukungnya, sebagian besar bukan kader partai. Kalau dalam sepakbola, mereka itu adalah pemain asing, dan ketika masa jabatannya selesai mereka akan jadi pemain bebas transfer. Siapa saja boleh menawarkan dukungan. Contohnya Ridwan Kamil yang sekarang didukung oleh partainya Oom Paloh.
Kaderisasi, ketika partai lain bingung bagaimana melakukannya, Oom Hary justru sudah memulainya dari usia yang paling dini.
Intinya, strategi Oom Hary itu lintas generasi. Bandingkan dengan strategi tivi Oom Ical yang menayangkan telenovela. Dulu yang menonton telenovela itu ibu saya, sekarang yang menonton telenovela di rumah saya ya masih ibu saya. Hanya umurnya saja yang semakin bertambah. Terlebih Oom Ical tidak melengkapi program baru di stasiun televisinya dengan mars atau gimik-gimik yang lain. Kalau tivinya Oom Paloh sih gak usah dibahas, nyaris tidak ada terobosan berarti untuk bisa mengangkat popularitas beliau dan partainya.
Terakhir, saya mau menitipkan pesan kepada Oom Hary: Jangan terlalu khawatir kalau orang membicarakan Mars Perindo dengan nada mengejek. Ingatlah kata-kata Guru Jiraiya si Pertapa Genit:
“Laki-laki justru menjadi semakin kuat ketika ditolak….”