MOJOK.CO – Seorang lelaki bercerita sedang jatuh cinta dengan anak tetangga yang selalu bersikap cuek terhadapnya. Ia bingung untuk mendekati, apalagi keduanya sama-sama sudah punya pacar.
TANYA
Dear Mbak Audi,
Sebut saja saya Ahim, walaupun itu bukan nama saya. Jika boleh, saya ingin berkeluh kesah ke Mbak Audi, siapa tahu beroleh jawaban.
Mbak Audi, saya sudah lama jatuh cinta pada anak tetangga saya, yang rumahnya berada di depan rumah saya. Di mata saya, anaknya cantik sekali, berkulit terang, dan berpostur tinggi semampai. Anaknya juga cerdas, dulu bersekolah di SMA yang sama dengan saya (beda jarak delapan angkatan, sih). Sekarang dia sedang berupaya menempuh sidang skripsinya di PTN.
Saya menyesal kenapa dari dulu tak berusaha mendekatinya. Mungkin faktor usia juga, saya beda sekitar delapan tahun dengannya. Tapi mungkin juga karena sikapnya yang menurut saya sombong kepada saya. Beda kalau dengan orang tua saya, dia bersikap ramah. Keluarganya pun sangat ramah pada saya.
Sekarang dia sudah punya pacar, teman seangkatan kuliahnya. Saya pun punya pacar yang usia hubungan kami sudah setahun. Tapi terus terang saya tidak bahagia. Pacar saya sangat pasif, hampir tidak pernah memulai komunikasi. Bahkan jika saya diamkan beberapa hari, dia pun akan diam juga. Saat ini sudah sekitar belasan hari kami sama sekali tidak berkomunikasi. Saya sudah beberapa kali berupaya memperbaiki ini, tapi kelihatannya tidak berhasil. Mungkin karena itu juga saya merindukan seorang pasangan yang mau melakukan komunikasi timbal balik.
Oh iya, saya bekerja jauh di luar kota. Saya dapat cuti sekitar dua bulan sekali. Di kesempatan itu biasanya saya bisa melihat si anak tetangga itu, yang juga kuliah di luar kota. Seperti biasanya keluarganya selalu ramah jika bertemu saya—kebetulan saya dianggap sebagai pemuda yang baik di lingkungan saya. Tapi, si doi tetap cuek bebek.
Saya harus bagaimana mbak Audi? Terima kasih mau menerima keluh kesah saya.
JAWAB
Hai, Mas Ahim—yang bukan nama sebenarnya. Langsung saja ya, Mas.
Jadi begini, hal paling pertama yang harus sampeyan tanyakan pada diri sampeyan sendiri. Ngapain sampeyan pacarin anak orang kalau sebetulnya nggak sreg-sreg amat sama dia? Kayak gini, kan kelihatannya jadi malah kayak lagi cari cadangan doang. Padahal, nggak ada satu pun orang yang bersedia jadi cadangan. Semua tentu penginnya diprioritaskan.
Intinya, mindset sampeyan kudu dibenerin dulu. Kalau memang mau ngedeketin si anak tetangga yang menarik bagi sampeyan itu, ya kelarin dulu urusan sama pacar sampeyan sekarang. Bukannya cari-cari alasan untuk main hati dan main mata. Dengan sok beralasan si pacar pasiflah, nggak bisa berkomunikasi dengan baiklah. Halah, mbel, Mas.
Mohon maaf nih, ya, Mas. Memangnya apa jaminannya kalau si anak tetangga itu bakal bisa menjadi partner berbincang yang baik dengan sampeyan? Khususnya, kalau nanti kalian sudah betul-betul jadi pasangan. Bisa berkomunikasi dengan enak itu, juga soal kenyamanan loh, Mas. Lha wong sekarang aja, si anak tetangga itu nggak ramah dan cuek bebek ke sampeyan. Memangnya kalau udah beneran jadi pasangan, bisa ujug-ujug nyaman, gitu? Terus bisa langsung ngobrol banyak, gitu?
Jadi, ya, Mas. Daripada sibuk-sibuk cari pembenaran untuk suka sama orang lain, dengan beralasan kalau pacar sampeyan itu orang pasif. Mbok mending sampeyan-nya “dibenerin dulu”. Intropkesi dulu. Siapa tahu, jangan-jangan kepasifan pacar, itu ya karena sampeyan sendiri. Misalnya, susah untuk menghargai komunikasi di antara kalian, mungkin? Atau susah menghargai dia waktu lagi cerita—dengan sungguh menggebu-gebunya.
Orang pasif kan nggak selalu bakal pasif sepanjang waktu. Biasanya, nih. Biasanya loh, ya. Dia malah bisa banyak omong saat berada dengan orang yang membuat dia nyaman. Atau jangan-janga, memang sebetulnya sampeyan selama ini bikin dia nggak nyaman?
Eh, lha kok malah sekarang langsung nyalahin pacar gitu aja? Terus nggak mutusin dia, meski udah ngerasa nggak cocok. Eh, justru jadiin pacar sendiri sebagai cadangan sambil cek ombak respons si anak tetangga. Hadeeeh, sampeyan ini, Mas. Nggak ngerti lagi saya ini, mah.