Tanya
Dear, Mas Agus.
Langsung saja ya, saya nggak pandai berbasa-basi soalnya. Jadi begini, Mas. Dua bulan lalu, Bapak dan ibu saya baru saja pindah rumah. Mereka sekarang tinggal di Semarang, kota tempat saya dan adik saya kuliah. Ibu sama bapak saya katanya nggak kuat lama-lama pisah sama anak. Sebelumnya, mereka masih kuat, sebab yang kuliah cuma saya, tapi setelah adik saya juga ikut menyusul saya kuliah di Semarang, bapak dan ibu akhirnya jadi kesepian dan memutuskan untuk ikut pindah ke Semarang.
Kebetulan, bapak punya kawan di Semarang yang punya rumah nganggur dan tidak ditempati. Ia menawari bapak untuk menempatinya. Bapak langsung mengiyakan. Sementara rumah kami di Purworejo kini dijadikan tempat tinggal karyawan-karyawan bapak (Bapak saya punya usaha pembuatan karton kemasan, karyawannya ada 5 orang).
Seminggu sekali bapak balik ke Purworejo untuk “tilik omah” sambil ngurus bisnis karton-nya. Beruntung, bisnis karton punya bapak sudah bisa jalan auto pilot, jadi bapak bisa leluasa ikut ke Semarang sambil mencoba membuka jalur bisnis baru di sini.
Karena bapak dan ibu tinggal di rumah, maka saya dan adik saya otomatis harus berhenti ngekos dan tinggal bersama mereka sebab tujuan mereka pindah ke Semarang kan memang karena ingin bareng sama saya dan adik. Maklum, orangtua saya, utamanya ibu, memang tipikal orangtua yang sangat gemati sama anak. Nggak bisa jauh-jauh sama anak. Selalu punya keinginan untuk bisa nyrateni dan merawat anak-anaknya, tak peduli dua anaknya ini sudah segedhe gaban.
Nah, di sinilah masalahnya.
Rasa sayang Ibu pada saya dan adik saya, pada titik tertentu ternyata bikin saya agak risih.
Banyak kawan kampus saya yang sering main ke rumah, sebab memang rumah baru kami ini dekat sekali dengan kampus. Sialnya, rasa sayang Ibu saya ini sering sekali ia tunjukkan pada saya saat ada teman-teman saya.
Misal, saat saya sedang nonkrong di beranda sambil gitaran sama temen-temen, ibu saya mendadak teriak dari belakang, nyuruh saya mandi, katanya sudah dimasakin air. Trus saya disuruh makan, katanya sudah dibikinin indomie.
Kali lain, Ibu saya malah pernah menyuruh saya minum vitamin, “Dan, jangan lupa mimik vitamin dulu.” Ya, ibu saya bilang “mimik”, bukan minum. Kata yang artinya adalah minum tapi biasanya ditujukan untuk anak kecil.
Tiap kali temen-temen saya yang denger itu tentu saja langsung meledek saya. “Cieee, anak Mami…”
Sejak masih di Purworejo, ibu memang sudah sering begitu, tapi saat di Purworejo, saya tidak terganggu, sebab tidak ada temen-temen saya yang tahu. Tapi kalau sekarang, tentu beda, sebab teman-teman saya hampir tiap akhir pekan selalu mampir ke rumah.
Saya sudah bilang hal ini sama ibu saya, tapi dia seakan tak peduli.
Nah, menurut Mas Agus, gimana ya caranya agar Ibu saya bisa menghentikan kebiasaan lebay-nya dalam menyayango anak-anaknya.
~Dani
Jawab
Dear Dani. Saya sebenarnya bisa berbasa-basi, tapi saat ini sedang malas saja. Jadi langsung saja ya.
Begini, setiap orangtua punya caranya sendiri dalam menyayangi anak-anaknya. Ada yang menyayangi anaknya dengan cara memperlakukannya dengan keras, tidak memanjakan, semata agar anaknya kelak bisa tumbuh menjadi anak yang kuat dan tegar. Pun ada juga orangtua yang memperlakukan anaknya dengan kasih sayang yang sangat lembut, melayani anaknya layaknya sang raja, tujuannya semata agar anaknya bisa mendapatkan kehidupan yang baik dan nyaman.
Dua cara di atas tampak berlawanan, namun pada dasarnya, punya fondasi tujuan yang sama.
Nah, dalam hal ini, Ibu Anda tampaknya memilih cara yang lembut, terlalu lembut malahan. Itu cara yang dipilih oleh Anda. Ibu Anda nyaman menyayangi Anda dengan cara seperti itu. Dengan cara melayani. Memastikan semua kebutuhan anaknya tercukupi dengan baik.
Bagi banyak anak, sikap ini memang tampak lebay. Tapi tentu saja tidak di mata si orangtua. Orangtua selalu punya standar sendiri dalam menyalurkan kasih sayangnya.
Saya jadi ingat, dulu saat masih SMP, saya pernah tertabrak motor di perempatan dekat sekolah saya. Tidak ada luka yang serius, bahkan sekedar lecet pun nihil. Kaki saya hanya terkilir, agak sakit sedikit kalau buat jalan. Saya kemudian dibawa ke tukang pijet.
Baru sak-udutan saya dipijet, emak saya datang sambil nangis sejadi-jadinya. Emak saya sudah diberi tahu sama tukang pijetnya kalau saya hanya terkilir, namun emak saya tetep saja nangis, seolah-olah saya luka parah dan harus diamputasi besok pagi. Sumpah, emak saya lebay banget waktu itu. Saya agak sebel dengan sikap berlebihan emak saya. Risih rasanya. Tapi belakangan saya sadar, bahwa mungkin itu adalah salah satu bentuk kasih sayang dan kekhawatiran seorang emak kepada saya. Kasih sayang dan kekhawatiran akan anak yang sering kali mengacaukan logika para ibu.
Saya pikir, hal itu pula yang harus Anda pahami.
Dalam kasus Anda, saya justru ingin bertanya satu hal penting. Dengan sikap Ibu Anda yang seperti itu, kenapa dulu Anda tidak merasa bermasalah akan hal itu saat masih tinggal di Purworejo, sedangkan sekarang Anda merasa itu adalah masalah yang serius?
Karena ada teman-teman Anda bukan? Nah, sepenting apa teman-teman Anda sampai Anda merasa harus mengubah sikap ibu Anda hanya demi memperbaiki penilaian teman-teman terhadap Anda.
Saya pikir, Anda harus lebih memperhatikan perasaan Ibu Anda ketimbang sekadar apa kata teman-teman Anda.
Jangan bikin Ibu Anda sampai harus mengubah caranya dalam menyayangi Anda hanya karena ejekan teman-teman Anda.
Biarkan Ibu Anda tetap melayani Anaknya. Barangkali, dengan itulah satu-satunya kebahagiaan batin bisa ia dapatkan.
Nggak ada salahnya kok dimasakin air buat mandi. Nggak ada salahnya dibikinin Indomie. Nggak ada salahnya disuruh minum vitamin. Yang salah itu kalau sama sekali tidak diperhatikan.
Begitu, Dani. Ini jawaban yang tidak menjawab pertanyaan Anda. Tapi saya harap, Anda punya cara pandang baru dalam melihat kasih sayang Ibu Anda.