MOJOK.CO – Seorang perempuan bercerita soal kisahnya yang terjebak jadi selingkuhan sejak pacaran hingga menikah.
TANYA
Salam kenal Mbak Au. Panggil saja saya Diana.
Semua berawal di akhir tahun 2015. Saya tau dia sudah punya pacar-yang-tidak-satu-kota-dengannya. Tapi waktu saya galau akut, dia yang ada disamping saya juga selalu menemani saya. Setahun kami menjalin hubungan diam-diam tanpa seorang pun kawan kami tahu. Kami sering menghabiskan waktu bersama manja-manjaan.
Di akhir 2016 ternyata diam-diam dia sudah tunangan dan melangsungkan pernikahan di awal tahun. Padahal sebelum dia menikah kami sempat janjian berdua, menghabiskan malam bersama (lagi-lagi tanpa ada seorangpun yang tahu bahwa kami bertemu). Tolong mbak Au jangan bilang, walau tak ada yang tahu tapi Tuhan tetap tahu. Pelisss, jangan.
Saat itu saya tahu dari salah satu kawan kami bahwa dia akan menikah, tapi waktu kami menghabiskan malam tersebut dia sama sekali tak memberitahu saya tentang pernikahannya. Akhir 2016, itu terakhir kami menghabiskan waktu bersama sebelum ia menikah. Saya sedih buangeeet waktu itu, tapi ya pasrah aja. Mau gimana lagi? Kan, nggak mungkin saya dateng ke akad nikahnya lalu teriak-teriak nggak setuju.
Waktu dia nikah, saya nggak dateng karena selain jauh. Saya ngerasa nggak sanggup kalau harus pura-pura baik-baik saja. Mana waktu dia nikah saya dikirimi video akad nikah dia, sama seorang teman kami—yang nggak tahu bahwa kami berdua lebih dari teman.
Semenjak dia menikah, kami sudah tak lagi saling berkabar. Sakit hati ini. Kamu pasti mengerti perasaan saya kan, Mbak Au? Tapi toh saya masih bisa menjalani hidup dengan baik sejak tak lagi berhubungan dengannya.
Jelang umur pernikahannya yang kedua, dia kembali menghubungi saya, kembali centil-centil manja. Awalnya saya menolak tegas dengan mengingatkannya akan statusnya yang tidak lagi single available ready to mingle. Tapi pada akhirnya pertahanan saya luluh lantak, Mbak Au.
Kami janjian menghabiskan waktu bersama lagi. Tepat seminggu sebelum tahun kedua pernikahannya. Tak bisa dipungkiri bahwa saya bahagia sekali bisa bertemu dia, menghabiskan waktu semalaman dengannya. Kami melepas rindu setelah dua tahun tidak berkabar. Setelah itu kami malah makin intens saling chat, saling berkirim foto, juga saling mengabarkan kesibukan masing-masing. Kami berdua sekarang beda kota.
Saya tahu saya salah. Kami pun pernah bicara menyoal rasa bersalah saya. Dia hanya menjawab bahwa dia nyaman dan semua yang terjadi mengalir begitu saja. Dia sedih karena saya merasa bersalah sudah terlalu jauh dengan suami orang, itu menyakitkan bagi dia.
Sampai sekarang kami masih melanjutkan perselingkuhan ini. Oh, Mbak Au, kenapa saya lebih menggunakan hati daripada otak waras saya? Huhuhu~
Mohon pencerahannya ya, Mbak Au.
JAWAB
Hai Mbak Diana yang butuh pencerahan, meski sudah tahu jawabannya. Kayaknya sampeyan ini butuh “ditampar” bekali-kali, deh. Biar tahu, kalau melanjutkan hubungan romantis dengan cara semacam itu, hanya akan memunculkan kegalauan yang berlapis-lapis dan tidak ada ujungnya. Itu kayak orang kalau lagi jerawatan, bukannya disembuhin malah dicuwil-cuwil terus. Jadi, bukannya sembuh yang ada virus dan bakterinya nyebar ke mana-mana.
Mbak, meskipun dia (((ngakunya))) lebih sayang ke sampeyan dibanding istrinya, tetap saja, ITU SALAH.
Lagian ya, Mbak. Nggak perlulah terbuai lagi bujuk rayunya. Kalau dia memang waktu itu betul-betul sayang ke sampeyan, nggak mungkin kan, dia ninggalin sampeyan gitu aja? Harusnya dia memperjuangkan sampeyan, kan? Bukannya malah memutuskan untuk menikah dengan orang lain.
Terus, kalau sekarang ujug-ujug dia datang lagi apalagi sudah dengan status sah jadi suami orang. Lalu jadiin sampeyan selingkuhan lagi. Itu bukan berarti dia pengin sampeyan ada untuk menemani sepanjang hidupnya. Atau menyesal dengan pernikahannya sekarang. Bisa jadi, dia itu cuma lagi bosen aja sama istrinya sekarang. Terus, cari (((perlarian yang mungkin ia datangi))). Jadi, jangan sedikit pun terbuai, Mbak. Tolong! Saya mohon!
Kedatangan dia itu hanyalah jebakan yang bisa bikin sampeyan merasakan segala energi negatif itu lagi dan lagi. Bukankah tanpa dia kemarin, semua berjalan baik-baik saja? Bukankah meski semua terasa sulit di awal dan butuh proses adaptasi, akhirnya sampeyan dapat melewatinya? Kalau gitu, sungguh betapa nggak sopannya dia kalau masih berani datang dan cawe-cawe sampeyan lagi. Itu nggak sopan, Mbak! Orang pecundang macam dia, nggak boleh dikasih tempat sedikit pun di hidup sampeyan.
Sampeyan tahu kan, Mbak? Risiko jika terus memaksakan diri jadi selingkuhan tersebut? Atau bahkan berharap-harap kalau dia akan meninggalkan istrinya untuk sampeyan? Kalaupun betul seperti itu jalannya, apa ya sampeyan mau dicap sebagai perebut suami orang? Hmmm? Apa sampeyan nggak mikirin gimana perasaan istrinya? Dan coba bayangkan kalau sampeyan berada di posisi dia.
Iya, sampeyan boleh pakai perasaan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tapi, jangan lupa juga perasaan itu dipakai untuk memosisikan diri sebagai istrinya, Mbak.
Duh, maaf kalau saya ngomel-ngomel. Tapi saya rasa, sampeyan memang butuh dimarah-marahi berkali-kali. Menyelingkuhi komitmen dalam pernikahan, bagi saya itu sama artinya dengan mempermainkan Tuhan. Jadi, lebih baik mundur dan tutup semua akses dari dia.
Lagian, apa enaknya sih, Mbak, terjebak dalam hubungan yang serba rahasia dan embunyi-sembunyi? Bukannya bikin lega? Bukankah itu menyiksa? Bagi saya yang pernah punya pengalaman backstreet karena nggak direstui orang tua sih, hubungan semacam itu membuang-buang energi cukup banyak. Bikin capek. Padahal kan eman-eman kalau kalori tubuh kita kalau hanya kebuang untuk hal-hal percintaan, doang?