Dilema Tidak Berani Berkenalan Padahal Ketemu Hampir Tiap Hari

Tanya

Dear, Gus Mul.

Sebenarnya kita beberapa waktu yang lalu ketemu di Kafe Basabasi Condongcatur. Saat itu, saya pengin menyapa sampeyan dan kalau tidak keberatan mau curhat sekalian. Namun tampaknya mental saya terlalu tipis, sehingga saya nggak berani untuk menyapa langsung apalagi curhat. Pada akhirnya, saya memilih untuk curhat melalui Mojok ini saja.

Jadi begini, Gus. Sudah setengah tahun ini saya menyukai seseorang. Saya nggak kenal sama dia. Sekadar tahu namanya dan akun media sosialnya. Dia sering nongkrong di salah satu coworking space yang kebetulan saya juga sering nongkrong di sana.

Saya sering mengamatinya kalau kami pas sama-sama sedang mengerjakan sesuatu di coworking space itu.

Dia perempuan yang baik, setidaknya dari gelagat dan sikapnya yang sopan pada waiters.

Nah, masalahnya adalah, saya blas nggak berani kenalan sama dia. Saya takut ia bakal bersikap sinis kepada saya karena ujug-ujug ada lelaki yang ngajak kenalan.

Ketidakberanian saya ini saya duga karena saya nggak pede sama diri saya sendiri. Dia perempuan yang manis. Senyumnya bagus banget. Juga dari prejengannya tampak sekali kalau dia orang kaya. Sedangkan saya, wajah pas-pasan bahkan cenderung jelek, saya juga cuma anak kuliahan miskin yang kos-kosannya murah, pokoknya benar-benar nggak sebanding.

Kadang, saya merasa ingin sekali melepaskan dia dari bidikan karena ketidakpercaya dirian saya ini. Namun tiap kali melihat dia datang dan duduk tak jauh dari tempat saya duduk, saya jadi merasa ingin sekali setidaknya bisa ngobrol dengannya. Sukur-sukur kalau bisa jalan bareng.

Nah, Gus. Kamu punya saran nggak buat saya terkait masalah saya ini? Kalau ada, boleh dong saya dikasih tahu.

~Hasna.

Jawab

Dear Hasna yang baik dan bermental tipis.

Salah satu sikap penting yang saya pikir harus dimiliki oleh banyak orang adalah “ngrumangsani” alias sadar diri. Ini sikap yang baik sebab mampu membuat seseorang lebih bijak dalam bersikap.

Kendati demikian, sikap ngrumangsani ini tentu saja hanya baik kalau ia berada pada kadar yang cukup. Tidak berlebihan. Nah, sikap ngrumangsani yang kamu miliki sekarang ini saya pikir berada di tingkat yang berlebihan.

Begini. Karena Kamu tidak menyebut nama perempuan yang kamu suka itu, jadi untuk memudahkan, saya panggil saja dia “Bunga”.

Bahwa Bunga adalah perempuan yang baik, manis, dan punya senyum yang katamu bagus, itu tentu saja satu hal yang sudah terbukti. Namun bahwa dia bakal sinis saat kamu ajak kenalan, itu adalah hal lain yang masih berupa asumsi, atau lebih tepatnya, kekhawatiranmu saja.

Walau kamu jelek dan miskin, itu tentu saja tidak lantas membuat orang bakal enggan berkenalan sama Kamu.

Jahat sekali kalau Kamu beranggapan Bunga hanya mau berkenalan dan berteman dengan lelaki yang kaya dan cakep. Jangan Mamu pikir semua perempuan itu matre dan gila tampang.

Lagipula, bakal menjadi sangat kontradiktif kalau di awal Kamu menyebut Bunga adalah perempuan yang baik namun Kamu juga khawatir ia akan bersikap sinis saat kamu mengajaknya kenalan.

Kalau ia memang perempuan yang baik, seperti yang Kamu bilang, maka ia akan bersikap baik pula saat ada lelaki yang ingin mengajaknya berkenalan. Ingat, berkenalan bukanlah hal yang buruk, ia tidak merendahkan, tidak pula melecehkan.

Nah, dari situ, Kamu seharusnya sudah punya satu pijakan penting, bahwa kecil sekali kemungkinan ia akan bersikap sinis saat kamu mengajaknya berkenalan.

Selanjutnya, Kamu harus sadar fakta bahwa antara Kamu dan Bunga sebenarnya sudah melalui hari-hari bersama cukup lama. Yah, walau tidak saling kenal. Tapi yang jelas, Bunga pasti sudah sangat familiar dengan Kamu. Itu adalah modal penting bagi Kamu untuk membuka kemungkinan berkenalan. Jadi, kalau Kamu mengajaknya berkenalan, maka itu bukanlah jenis perkenalan yang ujug-ujug. Itu adalah sejenis perkenalan yang sudah ada fondasinya. Kalian sudah sering ketemu, agak aneh kalau sampai nggak kenal.

Saran saya, Kamu bisa mulai mencoba membangun percakapan melalui fondasi itu tadi. Cobalah suatu ketika untuk bertanya kepadanya. “Mbak, aku lihat, Kamu sering sekali main ke sini, rumahmu deket sini?”

Pertanyaan itu adalah pertanyaan pancingan.

Ia tak punya tendensi untuk kenalan, sebab Kamu bahkan tidak menanyakan namanya.

Langkah berikutnya, mulai masukkan guyonan pada tanggapanmu atas jawaban dia. Guyon akan membuat komunikasi lebih ringan dan cair. Misal kalau ia menjawab, “Iya, deket sini,” maka kamu bisa menimpalinya dengan “Oalah, memangnya di rumah Mbak nggak kuat pasang Indihome?”

Nah, kalau percakapan sudah mulai agak panjang, barulah Kamu mulai nanya soal nama, walau sebenarnya kamu sudah tahu namanya.

Di pertemuan berikutnya, Kamu sudah punya hak untuk memanggil Bunga dengan namanya, bukan lagi dengan Mbak. Ini adalah salah satu pencapaian dalam sebuah pendekatan. Kamu harus mulai memperbanyak bahan obrolan. Beranikan juga untuk mulai sering ngelike postingan dia di media sosial. Setidaknya, itu membuat dirinya tahu akan Kamu bukan hanya saat di coworking space.

Saya yakin, dengan begitu, kamu bakal bisa dekat dan akrab dengan Bunga.

Tapi perlu saya sampaikan, cukup sampai di situ saja. Nggak usah ngarep bisa jadi pacarnya Bunga. Kalau soal yang satu ini, maka di titik inilah kamu memang harus sadar diri.

Wong miskin dan jelek kok berani-beraninya mau jadi pacarnya Bunga yang manis dan kaya.

?????

~Agus Mulyadi

Exit mobile version