Rambat punya pengalaman yang buruk dengan dokter spesialis kulit dan kelamin. Dulu ketika SD, selangkangannya pernah terserang penyakit gatal. Ketika dia kemudian dibawa berobat ke dokter kulit dan kelamin, ternyata eh ternyata, si dokter yang memeriksa Rambat adalah orangtua Hasan, kawan satu kelasnya. Hal tersebut kemudian membuat Rambat menjadi malu, karena entah bagaimana ceritanya, berita soal gatal-gatal di selangkangannya itu kemudian menyebar luas di kelasnya.
Rambat menduga, orangtua Hasan memberitahu Hasan perihal penyakit gatal di selangkangannya, dan kemudian Hasan ember cerita kepada teman-teman yang lain.
Pengalaman buruknya semasa SD itu kemudian membuat Rambat begitu trauma dan enggan untuk memeriksakan diri ke dokter spesialis kulit dan kelamin. Hal tersebut bertahan sampai ia dewasa.
Setiap kali kulitnya kena iritasi, atau kemaluannya mengalami masalah, ia tak pernah berobat ke dokter kulit dan kelamin, melainkan ke dokter umum. Beberapa berhasil, beberapa gagal, sebab sebagian besar dokter umum ternyata tetap merujuk Rambat untuk memeriksakan diri ke dokter kulit dan kelamin.
Keteguhan hati rambat untuk tidak berobat ke dokter spesialis kulit dan kelamin begitu kokoh. Hingga akhirnya peristiwa sore itu mengubah segalanya.
Entah kenapa, mendadak ada yang aneh dengan penis Rambat. Ia merasa penisnya begitu ngilu dan panas. Ia merasakan sakit yang luar biasa.
Untuk sakit yang demikian, tentu Rambat tak bisa memeriksakan dirinya ke dokter umum, harus dokter dokter spesialis kulit dan kelamin.
Dengan segenap kesakitan yang dirasakan oleh Rambat, tembok keyakinannya pun runtuh. Rambat menyerah. Ia kalah. Ia terpaksa harus kompromis pada keadaan. Maka, bersegeralah rambat mendatangi salah satu dokter spesialis kulit dan kelamin di klinik tak jauh dari tempatnya bekerja.
Di klinik, antrian berobat ternyata cukup lama. Hal yang tentu saja semakin membuat Rambat tidak percaya diri dan nervous berat. Setiap detik yang ia habiskan untuk menunggu di bangku panjang ruang tunggu klinik ia rasakan seperti satu jam. Semuanya terasa begitu lama di klinik tersebut.
Pada akhirnya, waktu pun berlalu. Tibalah saatnya bagi Rambat untuk dipanggil dan diperiksa.
Di dalam ruang pemeriksaan, Rambat mendapati seorang dokter berumur 50 tahunan.
“Mas Rambat, ya?” tanya si dokter memastikan pasien di depannya itu sesuai dengan nama yang tertera di daftar antrian yang ia pegang.
“Ehm… iya, Dok,” jawab Rambat gugup.
“Yang sakit bagian mana?” tanya dokter.
“Nganu, Dok. Ini… ehm, gimana, ya…”
“Hasyah, jangan grogi, cepat katakan, kasihan yang lain kalau harus ngantri lama.”
Rambat sebenarnya masih malu dan enggan menyebutkan masalahnya, tapi karena menyangkut kemaslahatan orang banyak yang menunggu di luar, ia mau tak mau menyebutkan keluhannya dengan mengorbankan rasa malunya.
“Ini, Dok. Penis saya.”
“Ya sudah, kalau begitu, buka celananya,” perintah si Dokter.
Rambat gelagapan, “Buka celana, Dok?”
“Lha iya, gimana saya mau tahu masalah persisnya kalau saya tidak memeriksa dan melihat langsung? Sudah, jangan malu, saya ini sudah hampir lima belas tahun jadi dokter kulit dan kelamin, saya melihat ribuan penis, jadi saya ini sudah biasa. Lagipula, kita ini kan sama-sama laki-laki, tak perlu malu”
“Ehmmm, iya deh, Dok.”
“Nah, gitu dong, cepet buka,” kata si Dokter. Ia paham betul apa yang dirasakan oleh pasiennya. Maklum, bagi banyak pasien, membuka celana memang terasa canggung, apalagi untuk mereka yang kali pertama.
“Tapi janji ya, Dok, Dokter jangan ketawa?”
“Iyaaa, Mas Rambat.”
Rambat pun kemudian memelorotkan celana jeans dan celana dalamnya. Tak disangka, ukuran penis rambat ternyata begitu kecil, hanya seukuran baterai alkaline mini.
Demi melihat barang yang begitu kecil di depannya itu, si Dokter tak tahan untuk tertawa geli. Ia memang sudah pernah melihat banyak penis, tapi yang ukurannya sekecil ini, rasanya baru kali ini ia melihatnya.
Rambat cemberut, “Tuh, kan, katanya Bu Dokter sudah janji nggak bakal ketawa.”
Sadar akan kesalahannya, Si Dokter segera meminta maaf. “Oh, maaf…” katanya sambil susah payah menahan tawa.
Rambat masih tetap cemberut.
“Jadi, apa keluhannya?” tanya Dokter dengan tetap menahan tawa yang sebenarnya sedari tadi sudah sampai di ujung tenggorokan.
“Ini, Dok… Penis saya sudah sejak sore kemarin bengkak.”
Kali ini, Si Dokter tak kuat lagi menahan tawanya.