Waktu sungguh berjalan begitu cepat bagi Rambat dan Ratih. Tak terasa, usia pernikahan mereka berdua sudah lebih dari 15 tahun. Prayit, anak pertama mereka kini sudah mulai besar. Sudah kelas 1 SMP.
Dasar Rambat dan Ratih memang manusia cerdas, tak heran jika kecerdasan keduanya itu pun menurun jua kepada Prayit. Menurut pengakuan Bu Lastri, selaku guru sekaligus wali murid Prayit di sekolah, Prayit dikenal sebagai anak yang pandai dan aktif di kelas.
Pengakuan Bu Lastri itu diutarakannya ketika ia tak sengaja bertemu dengan Ratih saat berbelanja di salah satu swalayan. Kala itu Ratih memang sedang berbelanja popok untuk anak keduanya, alias adik Prayit yang baru berusia beberapa bulan.
Ratih merasa bangga sekaligus malu ketika Bu Lastri memuji anak kesayangannya itu. Maklum, menurut Ratih, Prayit adalah anak yang tak pernah mau belajar ketika di rumah. Ia lebih sering main di kebun atau memancing ikan di sungai dekat sawah desa.
“Wah, saya kira Prayit sering belajar di rumah, lho, Bu,” tukas Bu Lastri.
“Ah, tidak. Anak itu memang bandel sekali kalau di rumah. Tapi, syukurlah jika ia rajin di kelas. Terima kasih, lho, Bu, di tangan Ibu, Prayit bisa jadi anak yang rajin” kata Ratih.
***
Esok hari, seperti Senin pada umumnya, semua murid dan guru melaksanakan upacara bendera. Prayit berada di barisan paling depan bersama kawan-kawan sekelasnya.
Usai upacara, semua murid bersiap di kelas, untuk mendapatkan pelajaran. Terlihat Bu Lastri yang baru keluar dari ruang guru dan menuju ruang kelas satu yang berada di paling pojok.
Prayit sebagai ketua kelas memimpin kawan-kawannya untuk bersiap memberikan salam dan hormat kepada Bu Lastri. Bu Lastri membalas salam yang diucapkan murid-muridnya, lalu ia duduk.
Pelajaran pertama pagi itu adalah Biologi. Bu Lastri menjelaskan tentang cara berkembang biak hewan-hewan yang ada di sekitar kita.
“Anak-anak, dari buku panduan yang sudah kalian baca, ikan berkembang biak dengan cara apa?” tanya Bu Lastri.
“Bertelur, Bu….”
“Kalau sapi?”
“Melahirkan, Bu….”
“Mantap. Ada yang masih belum paham?” tanya Bu Lastri
Prayit yang sedari tadi memendam pertanyaan seputar perkembangbiakan tak urung langsung mengangkat tangan.
Mata Bu Lastri langsung tertuju pada sosok murid kesayangannya itu. “Iya, Prayit, ada yang masih belum kamu pahami?”
“Bu, kenapa saya bisa punya adik? Dan kapan bapak ibu saya membuat adik saya? Bagaimana caranya?”
Pertanyaan tersebut tentu saja membuat Bu Lastri tercekat. Ia bingung bagaimana harus menjelaskannya. Bagaimanapun, itu adalah pertanyaan yang cukup kontekstual dengan tema bahasan mata pelajaran, tapi di satu sisi, agak canggung untuk diterangkan.
Bu Lastri kehabisan akal untuk menjawabnya. Untuk cari aman, Bu Lastri hanya menjawab sekenanya. “Ehmm, nanti tanyakan saja langsung pada bapakmu, ya, Yit”.
Jawaban itu sama sekali tak membuat Prayit puas. Tapi, ia tetap melaksanakan apa yang disuruh oleh gurunya itu. Sepulang sekolah, ia bertanya pada bapaknya, Rambat, yang sedang mengambil telur ayam di belakang rumah.
“Bapak, bagaimana bapak dan ibu membuat adik?”
Rambat yang sedang memindahkan telur lantas kaget dengan pertanyaan anaknya yang begitu agresif ini. “Hussshhh, sana main. Bapak lagi sibuk. Kalau telurnya pecah bagaimana? Ibumu kepengin masak telur orak-arik. Sudah, main saja sana.”
Lagi-lagi Prayit tak menemui jawaban yang memuaskan. Apa yang salah dari pertanyaanku? gumam Prayit dalam hati.
Pada akhirnya, insting keingintahuan Prayit membawanya kepada Lik Darwo. Lik Darwo adalah orang yang sering mengajak Prayit memancing di sungai dekat sawah.
Lik Darwo yang kala itu sedang duduk di teras rumah agak kaget juga ketika Prayit dengan wajah serius penuh tanya datang menemuinya.
“Kenapa kamu, Yit?”
“Lik, aku ini penasaran, kok bapak ibuku bisa bikin adikku? Caranya gimana, ya?” tanya Prayit dengan muka penuh raut penasaran.
Lik Darwo yang biasanya ceplas-ceplos pun kini agak kebingungan untuk menjawab pertanyaan Rambat.
“Husssh, anak kecil nggak boleh tanya seperti itu. Paham?”
“Tapi aku penasaran, Lik….”
Lik Darwo kebingungan. Ia berpikir sangat keras untuk bisa menjawab pertanyaan si bedhes cilik ini dengan jawaban yang diplomatis, namun juga memuaskan. Hasil pemikirannya akhirnya berbuah jawaban yang lumayan jitu.
“Jadi gini, Yit. Bapakmu kan punya tongkat. Ibarat orang menanam jagung, tongkat itu ditancapkan ke dalam lubang, agar lubang itu bisa dimasuki benih.”
Penjelasan Lik Darwo rupanya belum mengentaskan benar rasa penasaran Prayit. “Lubang apa, Lik?” Rambat lanjut bertanya.
“Ya, lubang yang bisa dimasukin benih. Wis, Yit. Aku bingung. Tanya bapakmu saja sana!” jawab Lik Darwo menyerah.
Prayit kembali kecewa. Ternyata, melalui Lik Darwo pun ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Prayit pun akhirnya pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja ia melihat Pak Sondeng yang sedang mengawinkan kambing miliknya.
“Lagi ngapain, Pak Sondeng?” tanya Prayit.
“Biasa, Yit, lagi ngawinin kambing biar bisa beranak.”
Demi mendengar jawaban Pak Sondeng, Prayit pun langsung mendapatkan pencerahan yang begitu terang.
Rasa ingin tahu yang selama ini terpendam sangat dalam akhirnya mendapatkan jawaban juga. Oalah, ternyata begitu tho cara menancapkan tongkat ke lubang” batin Prayit. Kapan-kapan aku harus mencobanya sendiri.
***
Keesokan paginya, Prayit sudah mandi dan ia memberanikan diri untuk mengobrol dengan bapaknya. “Bapak, aku sekarang tahu bagaimana cara bapak bisa membuat adik. Bapak punya tongkat, kan? Terus tongkat itu dimasukin ke lubang, biar bisa ditanam benih. Benar, kan, Pak? Aku sudah tahu caranya!” katanya mantap.
Belum juga Rambat menjawab pertanyaan Prayit, tiba-tiba terdengar teriakan Ratih dari belakang rumah.
“Pak, ini pantat ayam kita kok berdarah?”