MOJOK.CO – Benarkah mutu teh lokal Indonesia itu rendah banget? Sebuah klaim yang tentu sangat layak untuk didebat. Nih, debat pakai data!
Sempat ramai di Twitter tentang kopi saset yang dianggap berbahaya. Terus tiba-tiba ada satu tweet nongol bicara kalau teh di Indonesia juga sama seperti itu. Si empu tweet bicara kalau teh yang banyak beredar di pasar lokal ini mutunya (grade) paling hina.
Sebenarnya, pernyataan seperti itu udah enggak asing. Kalau sesekali menyimak omongan tea connoisseur yang doyan single origin atau impor, opini di atas beberapa kali terdengar.
Jangankan yang diedarkan di pasar lokal, yang diekspor juga dinilai ampas, kok. Padahal yang diekspor bisa jadi punya mutu setingkat OP (Orange Pekoe) untuk ortodoks atau BOP (Broken Orange Pekoe) untuk teh CTC atau bahkan di atasnya. Penjelasan OP dan BOP ada di bawah, ya.
Jadi, yang nilai ampas itu siapa? Kelompok perkebunan teh di Inggris era 1920an.
Pada saat itu, kelompok perkebunan teh di Inggris memberikan peringatan kalau produk Hindia Belanda itu enggak enak. Bahkan bilang kalau produknya Hindia Belanda akan merusak nama baik produk India dan Sri Lanka. Khawatirnya, konsumen enggak ngerti terus menyamakan rasa yang dianggap inferior sama produk India dan Sri Lanka, yang dulu dianggap superior (Sarah Besky. 2020. Tasting Qualities: The Past and Future of Tea. University of California Press).
Jadi bisa dibayangkan Inggris bilang, “Ngapain kamu impor teh yang enggak seberapa itu?”
Apa benar teh lokal itu mutunya ampas?
Kalau orang perkebunan bicara mutu atau grade, mereka enggak membicarakan kualitas. Mereka membicarakan ukuran dan dari bagian apa daunnya. Setelah dipetik dan diproses (entah menjadi teh hijau, hitam, putih, atau oolong) nanti daunnya baru disortir.
Proses sortir disesuaikan dengan ukuran daun. Misalnya, salah satu grade daun utuh disebut Orange Pekoe (OP). Nah, partikel daun yang patah karena kering sewaktu proses disebut Broken Orange Pekoe (BOP). Sisa partikel BOP yang lebih kecil disebut fannings. Sisanya lagi disebut dust.
Sistem grading ini tidak ada urusannya dengan anggapan bahwa ukuran daun tertentu akan menentukan enak atau tidaknya teh yang disajikan. Ingat, dalam penggunaannya, tiap grade punya kecocokannya masing-masing.
Misalnya, ada yang mau bikin bisnis teh susu. Cocoknya ya beli daun di grade lebih kecil, bisa dari BOP, BP (Broken Pekoe), fannings, atau dust. Makin kecil daun, ekstraksi rasa dari partikelnya akan lebih cepat terasa. Konsekuensinya, rasanya menjadi lebih tebal dan kehilangan kompleksitas.
Teh Orange Pekoe ke atas kalau kena campuran, biasanya jadi letoy. Jangankan susu, kena gula saja kadang sudah kurang sip. Mending tetap mencari rasa asli.
Jadi, yang banyak terjadi itu begini: kualitasnya dianggap ampas karena nggak cocok antara ukuran daun dan keperluannya atau nggak cocok grade-nya. Tapi itu enggak cuma teh lokal. Yang impor dan beredar di Indonesia juga grade-nya ampas, kok. Biasanya terjadi di teh celup yang ambil grade kecil untuk ekstraksi rasa lebih cepat. Plus sesuai selera pasar.
Apa benar teh lokal itu mutunya paling hina?
Kalau bicara hina, berarti kita mengatakan kalau bahan bakunya jelek atau enggak layak dikonsumsi. Jawaban pertanyaan ini sebetulnya ya cuma satu, yaitu: enggak.
Tapi juga enggak bisa dibilang kalau teh lokal paling enak.
Kualitas teh, hingga hari ini, memang masih banyak diukur pakai cara ukur yang sudah diwariskan turun-menurun sedari zaman penjajahan. Oleh karena itu, baik di India maupun di Indonesia, yang dinilai berkualitas masih yang menurut ukuran British (sebagai penjajah nomor wahid dalam urusan komoditas teh). Misalnya, rasa paling baik itu yang brisk, tidak flat, warnanya harus bright, punya nose, dan body.
Ini semua terlembagakan (institutionalized) melalui proses panjang yang hitungannya abad. Alhasil, bahkan ketika sudah masuk era poskolonial, jejak-jejak kolonialisme dalam cara menikmati teh masih terasa.
Kita bisa dan boleh saja menerima kalau produk lokal tidak berkualitas menurut ukuran yang disusun oleh penjajah. Namun, kita bisa memilih untuk tidak memosisikan ukuran itu sebagai penentu enak tidaknya produk kita.
Misalnya deh, coba beli teh hijau melati merek impor entah dari Sri Lanka, India, atau Inggris. Coba seduh ala teh jawa. Insya Allah rasanya bakal aneh banget. Enggak cocok!
Kita bisa bahkan ngomong kalau produk impor enggak enak diracik secara lokal. Sama juga kita bisa ngomong kalau yang lokal kurang sip diracik secara luaran.
Nah, masalahnya adalah sebagian dari kita yang tea connoisseur atau bahkan pemain di industri enggak ada effort lebih untuk mencari cara “meracik teh lokal secara lokal” yang menghasilkan rasa dan pengalaman ngeteh yang asyik banget. Yah memang ada yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk menciptakan racikan dan cara ngeteh paling enak. Tapi jumlahnya masih kurang banyak, atau kurang dikenal secara nasional.
Aset kultural ini masih sangat bertumpu pada pengolahan minuman teh di Solo yang lokal banget (nasgitel) dan teh talua dari Minang. Selain itu, ngeteh kita kalau enggak asal celup, ya pakai cara dan standar yang westernized atau foreign banget.
Salah sih enggak. Tapi eman.
Menikmati teh lokal secara lokal
Kita bisa mulai dari mengulik lebih dalam kultur masing-masing daerah di Indonesia. Tiap kultur ngeteh yang sudah ada itu dibumbui banyak kearifan lokal. Misalnya, kenapa teh di Jawa Tengah idealnya nasgitel? Mengapa teh talua idealnya pakai telur ayam kampung atau bebek?
Dari proses penggalian itu kita bisa meramu beragam komoditas yang berpotensi menjadi penguat kultur ngeteh yang Indonesia banget. Apakah gula aren? Apakah kelapa? Apakah kayu manis? Apakah cengkeh? Apakah lombok? Apakah air tebu? Apakah mawar? Apakah serai?
Selagi bereksperimen dengan komoditas, kita juga sedang mencari cara mengolah yang mudah direplikasi tapi tetap ada akar komoditas lokalnya. Bisa saja seduhan teh manis ternyata cocok dengan air kelapa. Bisa juga campuran daun teh yang diimbuhi variasi kepingan biji cokelat produksi lokal. Atau bahkan memodifikasi masala chai dengan memberikan lombok merah dan irisan kecil jeruk purut. Peluangnya tak terbatas.
Sayang sekali apabila imajinasi kita dalam ngeteh terbatasi oleh aturan dan selera yang terbangun karena penjajahan. Apalagi terus didikte aspek asing lewat konteks modernitas.
Teh lokal, ditambah komoditas yang juga (kini dianggap) lokal, menyediakan banyak kemungkinan dan peluang baru. Mari terus bereksperimen. Mari perkuat kultur ngeteh di Indonesia. Biar teh lokal nggak terus-terusan dianggap ampas oleh teh impor yang nggak selalu cocok sama selera kita.
BACA JUGA Es Teh di Khazanah Kuliner Solo Lebih Nikmat Dibandingkan Kuliner Jogja: Jangan Tanya soal Harga dan Rasa dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.