MOJOK.CO – PSSI dan Indra Sjafri mencoreng arang ke kening sendiri ketika menciptakan konflik terbuka dengan Shin Tae-yong. Bikin malu saja pada akhirnya.
Izinkan saya mengingatnya terlebih dahulu. Kalau tidak salah, sejak satu dekade yang lalu, saya melepas harapan akan kinerja PSSI. Kinerja wasit, kualitas kompetisi, dualisme, korupsi yang terjadi, pemilihan Ketua Umum yang tidak pernah memuaskan, hingga kinerja mereka yang lebih cocok dibilang memalukan, ketimbang membanggakan.
Dan, kini, keputusan itu terbukti menjadi sikap yang membebaskan saya dari stres berlebih. Sudah mendukung Arsenal hampir selalu makan hati, menambah porsi stres dengan memikirkan PSSI bukan pilihan yang sehat. Baru saja Iwan Bule menjabat, masalah sudah datang silih berganti.
Yang pertama dan utama adalah betapa PSSI keras hati untuk melanjutkan kompetisi. Padahal, kita tahu bersama kalau curva pandemi corona di Indonesia tidak pernah menenangkan hati ketika menengoknya.
Miftakhul FM., penulis buku Mencintai Sepak Bola Indonesia Meski Kusut sudah pernah menjelaskan jernih bahwa melanjutkan kompetisi bukan pilihan bijak. Atas nama kesehatan dan keselamatan, menghentikan kompetisi adalah langkah terbaik. Toh Liga 1 baru berjalan beberapa pertandingan saja.
Itu baru soal respons PSSI atas pandemi corona. Belum lagi soal masalah internal yang belum juga terang hingga saat ini. Mulai dari mundurnya Ratu Tisha dari jabatan Sekjen PSSI, hingga masalah Indra Sjafri vs Shin Tae-yong. Tidak ada yang membanggakan. Bahkan, untuk masalah yang terakhir, PSSI seperti mencoreng arang ke keningnya sendiri.
Yang terjadi dan saya rasakan adalah PSSI dan Indra Sjafri, secara sengaja, membuat orang semakin membenci mereka. Secara sengaja, terutama Indra Sjafri, menghancurkan reputasi dan respek yang sudah terbangun sejak beberapa tahun yang lalu. Ada yang bilang, Indra Sjafri bukan lagi cocok “pelatih kebapakan” seperti dulu.
Tidak bisa kita tampik kalau politik, di mana saja, punya sisi negatif. Celakanya, daya tarik sisi negatif itu sangat kuat. Begitu kuat, hingga mereka yang punya “visi dan misi putih” akan terjangkit penyakit juga ketika menceburkan diri di dalamnya. Indra Sjafri, yang begitu dipuja karena kedekatannya dengan pemain muda, justru seperti menjadi “pengusaha” di sepak bola.
Arang yang tercoreng di dahi PSSI dan Indra Sjafri
Saya kira, semuanya tidak mungkin bermula dari wawancara Shin Tae-yong dengan sebuah media di Korea Selatan. Pelatih yang pernah membantu Korea Selatan mengalahkan Jerman di Piala Dunia itu mencurahkan isi hatinya. Tanpa tedeng aling-aling. Shin Tae-yong merasa dikhianati oleh PSSI.
“PSSI sering mengubah manajemen dan kebijakan. Ratu Tisha, yang sudah dikenal dengan kemampuannya, tiba-tiba keluar pada bulan April. Selain itu, PSSI dengan mudah menerima permintaan seorang pelatih lokal. Kemudian, setelah pemusatan latihan di Thailand, pelatih tersebut pulang tanpa pamit di bandara. Di pertemuan keesokan harinya, saya mencoba untuk menerimanya andai ia mengakui kesalahannya,” kata Shin Tae-yong.
Yang dimaksud “pelatih tersebut” adalah Indra Sjafri, yang kini menjabat sebagai Direktur Teknik. Dengan kata lain, dia yang seharusnya menjadi staf Shin, kini menjadi atasan. Sudah begitu, dia yang dulu dipanggil Coach Indra, menyerang Shin Tae-yong dengan sangat tidak perlu menekankan Indonesia adalah “bangsa besar”.
Besar dari mana jika kepengurusan sebuah organisasi tidak pernah beres? Mungkin yang dimaksud adalah besar janji-janjinya saja, tetapi bukan niat murni untuk sepak bola. Mereka menjadi sosok-sosok yang ternyata tidak sayang kepada sepak bola Indonesia, tetapi kepada ambisi pribadi saja.
Wisnu Prasetya Utomo, dosen dan pengamat komunikasi, menekankan bahwa PSSI tidak menunjukkan prioritas dan malah menceburkan ke dalam konflik, alih-alih menjadi penengah. Hal itu dilakukan ketika PSSI mengunggah pernyataan Indra Sjafri di situsweb resmi. Sebuah artikel potongan-potongan yang diambil dari media lain. Integritas organisasi ini menjadi dipertanyakan.
Ini web federasi kok malah buat ngutip web lain trus curhat dirtek trus muji2 ketum. Sudah kayak akun gosip. Syurammm bener
— #StopKompetisi2020 (@bonekcasuals) June 20, 2020
“Tidak melanggar etika. Namun, perlu diketahui, etika situsweb organisasi dan milik pribadi tentu berbeda. Kontennya memang aneh dan tidak jelas, khas web-web pemerintah. Cuma, yang namanya web pemerintah memang isinya suka-suka lembaga dan kepentingannya. Tapi hal ini menunjukkan kalau PSSI gagal menunjukkan prioritas yang jelas dan malah terjebak sekaligus menjadi corong konflik,” tegas Wisnu.
Tindakan yang bikin malu diri sendiri dipungkasi dengan membentuk Satgas Tim Nasional. Satgas ini diketuai Syarif Bastaman dan ditemani Indra Sjafri. “Kami akan selalu bergandengan tangan dengan coach Indra Sjafri. Kami ingin melakukan terobosan prestasi, jembatannya adalah Piala AFC U-19 2020. Karena kami ingin saat ajang Piala Dunia U-20, kami sukses secara prestasi dan penyelenggaraan,” kata Syarif Bastaman.
Padahal, kita tahu, pelatih kepala timnas U-19 adalah Shin Tae-yong. Keberadaan Indra Sjafri, yang rangkap jabatan sebagai Direktur Teknik dan anggota Satgas dianggap hanya akan menekan Shin Tae-yong saja. Tujuannya?
Di sebuah podcast bersama Horab Podcast, Indra Sjafri ingin disebut sebagai head coach, bukan Direktur Teknik. Ambisi yang tergambar seperti usaha memeluk gunung. Besar pasak, ketimbang tiang. Ingin mencongkel Shin Tae-yong, pelatih berkaliber dunia dan sudah memboyong staf terbaiknya demi timnas Indonesia.
Tambahin ah, aku suka blunder, back pass ke gawang kosong nih, fatal? pic.twitter.com/PgIma8WVP9
— Horab Podcast (@horabpodcast) June 21, 2020
Pameran ambisi dari PSSI dan Indra Sjafri ini justru mempermalukan diri mereka sendiri. Membuat mereka dibenci oleh publik sepak bola. Kalau sudah kehilangan respek dari banyak orang, segala laku dan ucapan mereka hanya akan dianggap kosong belaka. Sekali nila itu terpercik, sebelanga susu pasti rusak.
BACA JUGA Mungkinkah Suporter Mendorong Terjadinya Revolusi PSSI? atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.