MOJOK.CO – Euro 2020 berakhir dengan tawa bahagia Italia dan patah hati Bukayo Saka. Euro ini juga wujud kemenangan manusia atas pandemi yang brengsek itu.
Italia datang ke Euro 2020 dengan status tak terkalahkan selama babak penyisihan. Gli Azzurri menutup kompetisi ini dan pulang ke Roma masih dengan status yang sama: tak terkalahkan. Mencatatkan rekor 34 laga nir kalah, Roberto Mancini dan anak asuhnya, resmi menjadi juara.
Euro 2020 adalah kompetisi yang “unik” bagi saya. Sebuah kompetisi antar-negara di mana beberapa stadion sudah terisi suporter. Pemandangan itu sukses membuat saya iri dengan suksesnya penanganan pandemi corona. Sangat kontras dengan Indonesia, di mana yang tersaji adalah permainan kata dan tipu-tipu belaka.
Sepak bola tanpa penonton tak ubahnya seperti sebuah pemakaman saja. Sepi. Tidak ada gairah yang ditularkan suporter kepada pemain. Tak ada suka yang diubah menjadi bahagia, atau sendu yang dikonversi menjadi tangis tersedu. Dan Euro 2020, menjadi penegasan akan perasaan itu.
Perasaan yang membuncah, berganti kesedihan dalam sekejap. Final Euro 2020 menjadi panggung akan perasaan itu. Menit laga belum genap dua, ketika Luke Shaw membidik bola ke sudut sempit dan gagal ditepis Donnarumma. “Sepak bola pulang ke rumah,” kata mereka.
Sungguh sayang, ketika harapan itu semakin membuncah, Italia menyamakan kedudukan. “Sepak bola pulang ke rumah,” kata mereka. Namun, yang menjadi akhir sebuah drama adalah sepak bola tak betul-betul punya atap permanen untuk bernaung. Sepak bola adalah milik dunia dan Bukayo Saka ada di ujung kejatuhan itu.
Final yang sungguh aneh untuk Inggris dan Gareth Southgate. Sekilas, idenya untuk kembali ke formasi 3 bek adalah pilihan jitu. Bahkan berbuah gol di awal laga. Namun, membangun sebuah skema beda urusan dengan menjalannya sebagai sebuah sistem. Setelah gol itu, Inggris kembali ke pojok pecundang, medioker, dan terlihat tak menikmati laga puncak yang jarang mereka gapai.
Inggris mengulangi lagi kesalahan mereka di laga-laga krusial. Euro 1996 misalnya, ketika mereka unggul terlebih dahulu dari Jerman. Inggris bermain dengan tone negatif, berhasil disamakan,1-1, untuk kalah di babak adu penalti, dan Southgate menjadi pesakitan.
Piala Dunia 2018, ketika skuat Inggris dilabeli calon juara. Unggul cepat dari Kroasia, bertahan terlalu dalam, kehilangan kontrol, disamakan skornya menjadi 1-1, lalu menjadi pecundang. Uniknya, gol Kroasia dan Italia sama-sama terjadi di menit 68 babak kedua. Seram sekali.
Pada ujungnya, Southgate lagi-lagi menjadi pecundang dan kali ini dia menyeret pemain muda ke lumpur hina itu: Jadon Sancho dan Bukayo Saka.
Dua pemain muda ini, bersama Marcus Rashford, dilempar ke sebuah situasi yang terlalu kejam. Ketiga bukan pemain inti. Kebetulan saja Bukayo Saka mengantongi menit bermain lebih banyak dibandingkan Sancho dan Rashford. Ketiganya “dipaksa” mengambil tanggung jawab negara di babak adu penalti.
Semakin jahat ketika beberapa pemain senior menolak mengambil tanggung jawab dan Bukayo Saka ditempatkan sebagai penendang kelima. Penendang penentu dalam sebuah drama adu penalti. Bukayo Saka, di mana di pundaknya terletak beban klub dan negara, gagal menembus tangan Donnarumma.
Letakkan kakimu ke dalam sepatu Bukayo Saka. Sebagai rookie berusia 19 tahun, di turnamen mayor pertama, didorong menjadi penentu. Bebannya makin berat karena Sancho dan Rashford juga gagal membuat gol. Patah hati adalah ending yang sudah dirasakan banyak orang.
Sancho dan Bukayo Saka tak seharusnya dilempar ke “mulut singa”. Keduanya memang pemain berbakat. Namun, tekanan berat di depan babak adu penalti membutuhkan pengalaman. Tak seharusnya para anak muda ini memikul beban seberat itu. Semua ada waktunya.
Mereka yang menertawakan kegagalan Sancho dan Bukayo Saka tak lebih dari bajingan yang tak punya perasaan.
Euro 2020 berakhir dengan perasaan getir untuk fans Arsenal, Manchester United, dan timnas Inggris. Di sisi lain, kompetisi ini menjadi sebuah perayaan yang bermakna atas nama keberhasilan umat manusia (yang waras) untuk mengalahkan pandemi. Dan untuk Italia, sebuah status juara adalah keniscayaan. Atas nama kedisiplinan, kreativitas, determinasi, dan mental juara.
Sampai jumpa lagi di Piala Dunia Qatar 2022. Piala Dunia yang dibangun di atas perbudakan dan gelimpangan jenazah para buruh kasar yang tidak menerima upah layak. Sampai jumpa lagi.
BACA JUGA Bukayo Saka, Bocah yang “Dipaksa” Memikul Beban Berat Bernama Arsenal dan Timnas Inggris dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.