MOJOK.CO – Indonesia vs Vietnam. Final SEA Games cabang olahraga sepak bola. Apakah menjadi etalase untuk kesekian kali atau paparan niat untuk jadi juara?
Berteriak gemas kepada sepak bola Indonesia ibarat mengamuk persis di atas air kolam. Permukaan air akan beriak, tetapi kembali tenang tak lama kemudian. Seakan-akan tidak ada yang terjadi. Begitu terus selamanya. Sebuah pekerjaan sia-sia yang bikin capek saja. namun, di sisi lain, kita butuh pelampiasan itu.
Pelampiasan ketika harapan, sudah tahu akan kandas, tetap saya didaraskan di setiap doa. Harapan yang kita semua sepakati hanya ada di pundak timnas Indonesia. Harapan yang nampaknya, dan seharusnya, bisa menyatukan siapa saja yang mengaku cinta sepak bola Indonesia. Harapan yang biasanya, layu di detik-detik terakhir sebelum berkembang menjadi rupawan.
Adalah final SEA Games cabang olahraga sepak bola tahun 2019 ketika harapan itu kembali memuncak. Indonesia vs Vietnam. Laga ulangan di babak penyisihan. Ketika timnas Indonesia menelan satu-satunya kekalahan selama SEA Games 2019 cabor sepak bola. Final yang kita tahu bakal berat untuk timnas Indonesia.
Sebuah pertanyaan berpusing di dalam kepala saya. Apakah final SEA Games cabor sepak bola antara Indonesia vs Vietnam ini hanya sekadar etalase seperti biasanya atau kita akan melihat sebuah niat murni untuk menjadi juara? Maaf saja, timnas Indonesia punya dosa yang di dalam hati saya sulit untuk diobati.
Final SEA Games cabor sepak bola adalah panggung untuk para pemain muda. Mereka yang bertarung adalah pemain di bawah usia 22 tahun dengan tambahan dua pemain senior. Seperti biasanya, timnas Indonesia berisi pemain muda dengan talenta mewah. Berisi pemain-pemain muda yang punya modal untuk mentas ke panggung dunia.
Apakah Indonesia vs Vietnam akan menjadi etalase sekali lagi? Etalase pemain muda. Mereka yang bertarung dengan semangat murni. Untuk kemudian merasakan kekalahan, berkarier di Liga Indonesia, lalu perlahan, kariernya meredup. Karier mereka dikorup oleh kompetisi yang tak pernah waras. Oleh PSSI yang dengan pongah menentukan target juara kepada calon pelatih timnas senior.
Oleh PSSI, yang seakan-akan paling tahu soal teknis sepak bola. Seakan-akan lebih pandai dari seorang pelatih modern yang turut membidani revolusi sepak bola Spanyol. Oleh PSSI yang mencintai hasil instan, tetapi tak mau melirik proses sedikit saja.
Karena ini semua kembali ke timnas Indonesia. Segala tingkatan usia. Ketika sampai di babak final, titik penentuan, mereka kehilangan satu hal mulia yang didapat dari sebuah proses: kematangan.
SEA Games 2011, kita berkenalan dengan Yericho Christiantoko dan Ramdani Lestaluhu. Lalu yang sensasional, Andik Vermansyah, lalu Titus Bonai. Mereka tampil luar biasa di semifinal ketika mengalahkan Vietnam. Bonai dan Patrich Wanggai yang mencetak gol. Sampai di final, kandas di tangan Thailand.
SEA Games 2013. Timnas berisi bukan saja pemain muda, tetapi sudah punya pengalaman. Rizky Pellu dan Manahati Lestusen bikin saya kagum. Kaki-kaki kokoh mereka. Determinasi. Kemunculan Feri Pahabol dan Bayu Gatra yang menghibur. Dan sekali lagi Andik Vermansyah. Tertanggal 21 Desember 2013, Thailand kembali mempecundangi timnas Indonesia.
Bukan hanya SEA Games, ketika bermain di AFF Cup, kita menikmati betul fantasi Okto Maniani dan Irfan Bachdim. Namun, semuanya berakhir sama saja. Ajang internasional hanya seperti turnamen sela di mana anak-anak muda diberi kesempatan untuk berpose secantik mungkin. Untuk kemudian dipermainkan oleh kompetisi, klub, dan segelintir orang jahat yang merusak sepak bola Indonesia.
Final SEA Games 2019, Indonesia vs Vietnam. Saya tidak mau berharap banyak, pun menuntut setinggi langit. Biar saja mereka hanya dapat medali perak. Biar saja mereka pulang dengan tangis. Doa saya adalah setelah SEA Games, anak-anak muda ini tidak akan menemui kompetisi busuk, klub-klub abai dengan gaji, dan pembinaan yang setengah hati.
Final SEA Games hanya satu titik dari karier yang seharusnya panjang dan menyenangkan. Indonesia vs Vietnam harusnya cuma satu laga dari ratusan pertandingan penuh arti yang akan dilahap anak-anak muda ini. Memberi beban, doa-doa emas, seakan-akan ini bukti nasionalisme.
Nasionalisme adalah, buat kalian perusak sepak bola Indonesia, untuk mengaku dosa dan angkat kaki dari dunia menyenangkan ini. Nasionalisme adalah tidak membiarkan PSSI keblinger dengan yang namanya prestasi instan. Nasionalisme adalah tidak membiarkan sepak bola Indonesia dipermainkan demi rekening pribadi.
Mengharuskan medali emas dari laga Indonesia vs Vietnam itu bukan target. Laga ini hanya satu titik. Ketika memang sukses merebut emas, jangan rusak kebahagiaan mereka dengan kompetisi tidak manusiawi. Itu nasionalisme.
BACA JUGA Apakah Masih Ada yang Korupsi di Hari Anti Korupsi Sedunia? atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.