MOJOK.CO – Ironis. Keharmonisan yang menjadi semboyan Arsenal justru lebih terasa di dalam diri Chelsea. Bagi Arsenal, semua ini soal ego pribadi saja.
Seiring waktu, jurang perbedaan itu semakin merekah. Semakin lebar. Padahal, di atas kertas, keduanya punya bangunan skuat yang tidak jauh berbeda. Namun, sepak bola tidak dimainkan di atas kertas. Sepak bola adalah kontestasi di atas padang membara. Membakar siapa saja yang tidak pernah siap untuk menderita.
Chelsea menapaki musim ini dengan tantangan besar. Skuat mewah dengan talenta melimpah memang terlihat memesona. Namun, merekatkan mereka ke dalam satu kesadaran bersama pelatih bukan perkara sepele. Frank Lampard bahkan diragukan punya kualitas untuk merajut limpahan talenta itu menjadi gaun indah.
Sementara itu, Arsenal bersama Mikel Arteta baru saja melewati “bulan madu singkat”. Dua piala dalam rentang dua bulan membuat semua orang menyangka tim ini sudah siap bersaing di atas padang membara. Namun, seiring waktu, terlihat dengan jelas bahwa talenta antara Chelsea dan Arsenal dipisahkan oleh hal-hal fundamental.
Hal-hal fundamental itu yang pernah disuarakan oleh almarhum Gerard Houllier, mantan pelatih Liverpool. Houllier menegaskan bahwa, “Sikapmu menentukan semuanya di kehidupan. Selain itu, hidupmu juga ditentukan oleh seberapa baik kamu memaksimalkan niat untuk berusaha dan talenta di dalam dirimu.”
Sebelum musim berjalan, Arsenal sudah bermasalah dengan “sikap beberapa pemain”. Mikel Arteta memang bagian dari masalah yang tengah terjadi. Namun, para pemain, terutama para senior, tidak bisa menghindar bahwa mereka juga para bajingan yang turut menenggelamkan Arsenal mendekati zona degradasi.
Arteta berhasil mengatasi sikap lembek beberapa pemain seperti Ainsley Maitland-Niles dan Granit Xhaka. Sementara itu, manajemen meminjamkan Matteo Guendouzi dan Lucas Torreira. Sekilas, semuanya terlihat baik-baik saja dan tim ini siap bertarung.
Pemandangan berbeda terjadi di belakang panggung Chelsea. Awalnya, Lampard terlihat susah payah menyatukan para pemain bintang ke dalam skuat. Timo Werner, Thiago Silva, hingga Ben Chilwell membutuhkan waktu. Namun, sebuah kesadaran terlihat nyata di dalam skuat.
Para pemain yang datang sadar dengan ekspektasi yang mengiringi. Secara profesional mereka menyambut tantangan itu dan membantu Lampard untuk tampil baik seiring berjalannya liga. Kini, masalah Chelsea tinggal memaksimalkan talenta Kai Havertz. Melihat perkembangan para pemain baru, tinggal menunggu waktu saja talenta Havertz meledak dan memberi bukti bahwa dirinya adalah salah satu generational talent saat ini.
Para pemain Chelsea, baik yang baru maupun yang lama, membantu Lampard sebaik mungkin. Artinya, ada kesamaan visi dan kesadaran akan misi di tengah skuat. Performa mereka belum bisa dibilang stabil. Namun, melihat banyaknya pemain baru dan keberhasilan adaptasi beberapa pemain tersebut, capaian The Blues perlu mendapat apresiasi. Terutama untuk Lampard, di mana menyatukan banyak pemain mewah bukan urusan mudah.
Itulah yang membedakan Arsenal dan Chelsea. Menjelang tengah musim 2020/2021, perbedaannya bagai langit dan bumi….
Salah satu perbedaan kualitas secara menyeluruh antara Arsenal dan Chelsea bisa kamu lacak dari pernyataan Edu Gaspar, Direktur Teknik Arsenal. Edu menegaskan bahwa Willian, masih butuh waktu untuk beradaptasi. Mungkin, Edu ingin melindungi pemain. Namun, di sisi lain, pernyataan Edu menyiratkan ketidaktegasan yang dibutuhkan di level tertinggi.
Bagaimana bisa, Willian, pemain senior berusia 33 tahun, pemain yang diharapkan bisa menjadi mentor pemain muda, masih butuh adaptasi? Bandingkan dengan Thiago Silva, bek 36 tahun Chelsea, yang sangat profesional di atas lapangan. Ironis, Willian pindah dari Chelsea ke Arsenal, sementara Thiago Silva datang dari kompetisi dengan kultur yang sangat berbeda dengan kultur Liga Inggris.
Chelsea juga “mengajari” Arsenal caranya memperlakukan pemain yang tak kunjung mau membayar kepercayaan. Lampard bersikap “adil” kepada Kepa dan Edouard Mendy. Ketika Kepa membayar kepercayaan dengan berbagai blunder, Lampard mengganjar dirinya dengan bangku cadangan. Mendy, pemain baru dan langsung bisa tampil stabil, layak mendapat menit bermain.
Terkadang, pemain yang tengah menurun performanya harus segera diberi “istirahat”. Tujuannya supaya si pemain sadar bahwa dirinya tak punya status quo dan ada pemain lain yang bekerja lebih keras demi menit bermain. Dulu, Unai Emery gagal melakukannya ketika Xhaka tengah menurun. Kini, Arteta mengulangi kesalahan itu ketika terus-menerus memainkan Willian, Xhaka, Bellerin, Holding, Lacazette, bahkan Aubameyang.
Para senior ini merasa tempat mereka tergaransi. Ketika keadaan memburuk mereka cenderung menghindar dari tanggung jawab. Seakan-akan, pelatih adalah musuh bersama dan menjadi pusat semua masalah. Padahal, sikap di atas lapangan menentukan segalanya.
Para pemain senior Arsenal tidak memahami kalimat Houllier, “Sikapmu menentukan semuanya di kehidupan. Selain itu, hidupmu juga ditentukan oleh seberapa baik kamu memaksimalkan niat untuk berusaha dan talenta di dalam dirimu.”
Masalah yang terjadi di dalam tubuh Arsenal memang sangat kompleks. Tidak hanya terbatas kepada ide pelatih saja. Sekali lagi saya menegaskan, Arteta juga bagian dari masalah ketika tidak mau berubah. Namun, para pemain sendiri juga mengkhianati kepercayaan atas privilege mengenakan seragam dengan emblem meriam di dada.
Sering saya mendengar bahwa Chelsea tidak punya “nilai luhur sebuah klub”. Sementara itu, Arsenal lebih baik menjaga nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Namun, dari sisi profesionalitas, justru Chelsea yang lebih memahami makna nilai-nilai di atas lapangan; perpaduan sikap positif, niat bulat untuk menanggung derita bersama-sama, dan kemampuan memaksimalkan talenta.
Ironis terasa ketika semboyan Arsenal yang berbunyi “kemenangan berasal dari keharmonisan” justru terasa dari dalam skuat Chelsea. Sementara itu, di dalam skuat The Gunners saat ini, yang terpancar adalah ego pribadi dan tidak peduli dengan nasib klub. Harmonis? Omong kosong!
BACA JUGA Kai Havertz dan Seikat Benang Chelsea yang Kusut dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.