MOJOK.CO – Kalau masih lembek kepada diri sendiri, dunia ini akan terasa sangat keras dan berat dijalani Arsenal. Pengalaman masa lalu harus jadi pelajaran.
Musim panas yang lalu, ternyata, Arsenal sempat menyodorkan opsi perpanjangan kontrak untuk Shkodran Mustafi. Langkah yang bisa dimaklumi untuk saat itu, ketika Mustafi mau dan bisa memperbaiki diri setelah Mikel Arteta menjadi pelatih. Di beberapa pertandingan, bek asal Jerman itu tampil lebih stabil.
Masalah Mustafi selama ini adalah inkonsistensi dan ceroboh. Di satu pertandingan, Mustafi bisa bermain sangat stabil. Segala teknik dasar seorang bek tengah bisa dipakai dengan baik. Ketika tampil lebih stabil, mantan bek Valencia itu memang terlihat meyakinkan.
Sayang, ketika penyakitnya kambuh, mohon maaf sebelumnya, Mustafi seperti ayam kehilangan kepala. Dia seperti tidak tahu harus bagaimana ketika Arsenal berada dalam tekanan. Ketika konsentrasi itu hilang, Mustafi seperti bek amatiran yang mudah lupa dengan berbagai teknik dasar yang dipelajari dari akademi.
Sudah sejak lama, fans Arsenal menuntut supaya bek berusia 28 tahun itu dijual. Ketika ada sebuah klub yang berani menawar, kalau saya tidak salah ingat, fans akhirnya merasa lega. Namun, hingga kemarin Senin (26/10), Mustafi masih berstatus sebagai pemain Arsenal.
Setelah kembali dari cedera, Arteta langsung memberi Mustafi kesempatan. Arteta terlihat sangat yakin kalau Mustafi “siap” menghadapi laga-laga berat yang menuntut konsentrasi penuh. Sayang, si pemain ternyata tidak siap dengan kepercayaan dan tanggung jawab.
Di sebuah momen yang terbilang memalukan, Mustafi sudah diingatkan oleh Gabriel Magalhaes, bek Arsenal yang lebih muda, untuk terus menempel Jamie Vardy, striker Leicester City. Gabriel sudah membaca gelagat Leicester dan meminta Mustafi untuk menjaga ruang di belakangnya.
Ketika Gabriel menekan Cengiz Under, Vardy melesat ke kotak penalti. Saya yakin Mustafi melihat gerakan itu. Namun, yang dia lakukan justru berlari-lari kecil seakan-akan sedang jogging di pagi hari sambil berpikir menentukan mau sarapan soto atau bubur ayam.
Maka yang terjadi kemudian adalah bencana. Vardy tidak terkawal ketika mencocor umpan silang dari Under. Momen ini sangat memalukan karena dua hal. Pertama, sebagai bek senior dan berpengalaman, Mustafi gagal membaca pertandingan. Kedua, dia sampai diingatkan oleh bek yang lebih muda dan baru beberapa bulan berseragam Arsenal.
Fans Arsenal mengamuk di media sosial. Mereka tak habis pikir Mustafi tidak bergerak selayaknya bek tengah. Mereka kecewa, tetapi tidak lagi kaget. Fans Arsenal lebih kaget ketika ternyata manajemen pernah menawarkan kontrak baru kepada Mustafi. Jadi, yang bingung itu sebetulnya Mustafi atau manajemen? Siapa yang lebih banyak makan jamur tahi sapi dicampur telur dadar?
Arsenal perlu belajar tega
Saya mungkin bisa memahami kalau mempertahankan pemain senior punya banyak manfaat. Namun, tidak bisa dimungkiri kalau sisi negatifnya tak kalah banyak. Sudah cukup satu saja bek yang inkonsisten, David Luiz, jangan ditambah lagi demi kesehatan dan kewarasan bersama.
Kita tahu bersama, meskipun beberapa pemain baru sudah bergabung, skuat Arsenal masih jauh dari kata seimbang. Langkah apa yang perlu diambil? Pertama, tega kepada diri sendiri, dalam hal ini manajemen. Arsenal akan merugi dalam jangka pendek. Namun, kerugian itu adalah keniscayaan dalam sebuah “peperangan”. Selalu ada korban dalam sebuah “konflik”.
Kedua, tega kepada pemain, terlepas dari masa pengabdian mereka. Pemain yang tidak bisa memenuhi syarat harus dilepas. Pakai segala cara supaya upaya membangun ulang bisa lebih cepat dilakukan. Terdengar bengis dan tidak mencerminkan keharmonisan? Memang begitu, tetapi fans perlu menyadari sesuatu.
Pemain yang tidak bisa mencapai level tertinggi berpeluang merusak kemenangan. Terkadang, keharmonisan ruang ganti sangat ditentukan oleh kemenangan. Kekalahan memang menyakitkan bagi fans. Namun, percaya, pemain yang lebih sakit, terutama mereka yang sudah bekerja keras, menderita, untuk mencapai level tertinggi.
Sungguh tidak adil bagi mereka yang sudah bekerja keras untuk tidak bisa merasakan kebahagiaan itu. Di depan kamera, mereka terlihat ikhlas menerima kekalahan dan blunder kawan.
Namun, tidak ada yang lebih menyakitkan ketimbang melihat teman kita tidak bekerja keras ketika kita menderita sendirian menyangga kehidupan sebuah kantor. Apalagi, ketika sebuah kantor itu kembali ke jalur yang benar, kamu tidak mendapat apresiasi yang layak. Temanmu yang tidak bekerja keras tetap mendapat tempat terbaik dan dimandikan pujian ketika secara jelas “tidak berusaha” sekeras dirimu.
Ini tidak adil dan kamu dipaksa untuk mengulum senyum dan ikut tertawa lepas meskipun hatimu tersayat. Tidak ada yang lebih berbahaya dari mereka yang sudah bekerja keras, tidak mendapat apresiasi, lalu tidak lagi peduli. Harmonis? Omong kosong.
Arsenal seharusnya sudah sangat memahami bahwa “menyimpan bangkai” tidak akan memberi manfaat. Kasih sayang Arsene Wenger adalah sisi yang kita syukuri bersama. Namun, di sisi lain, kasih sayang yang tidak merata itu berbuah pahit.
Fans Arsenal sangat paham bahwa tidak ada manfaatnya menahan Theo Walcott lebih lama. Tidak ada nilai positif yang ditawarkan Carl jenkinson selain cinta kepada sebuah klub. Adalah rasa getir ketika Arsenal gagal melepas Mesut Ozil dan Papa Sokratis.
Arsenal tidak bisa berinvestasi kepada skuat yang betul-betul baru dan segar. Skuat yang jauh lebih seimbang demi menapaki kembali tangga kejayaan yang lapuk itu. Arsenal, harus belajar tega. Kita tahu, obat yang paling manjur adalah obat yang terasa sangat pahit dan sulit ditelan.
Demi keharmonisan di masa depan, menutup nurani barang sejenak perlu dilakukan. Kalau masih lembek kepada diri sendiri, dunia ini akan terasa sangat keras dan berat dijalani Arsenal. Terakhir, tega bukan berarti tidak cinta. Tega adalah meluruskan yang salah demi ranumnya rasa cinta dan keharmonisan.
BACA JUGA Fans Arsenal Tak Bisa Bedakan Kritik dan Kebodohan: Blunder Arteta dan Lamunan Jorok Shkodran Mustafi dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.