MOJOK.CO – Prabowo Subianto tak perlu bingung dan sedih jika salah ucapnya sering digoreng. Donald Trump yang bikin salah ucap 6.420 kali dalam 649 hari saja tetap bisa jadi Presiden kok.
Prabowo bingung, Prabowo sedih. Dua narasi itu mewarnai agendanya beberapa waktu lalu. Bingung gara-gara candanya selalu dipersoalkan, sedih akibat melihat tamatan SMA cuma jadi pengemudi ojek online. Dua hal yang setidaknya bisa digoreng perlu kita catat dan ingat.
Pertama, seolah-olah Prabowo benar-benar bingung dan sedih.
Okelah, sangat boleh jadi beliau memang sedih. Sebab, siapakah yang dapat benar-benar memahami duka-derita rakyat miskin kalau bukan orang-orang superkaya?
Argumennya sederhana: untuk mendapatkan perspektif yang utuh serta objektif, diperlukan jarak pandang yang memadai. Dan Prabowo, yang termasuk dari 1 persen orang kaya Indonesia, jelas berjarak—mungkin teramat lebar—dengan 99 persen orang-orang yang hidup sangat pas-pasan bahkan sulit itu.
Tapi tentang Prabowo yang bingung? Eh, mana ada jenderal bingung? Kalau jenderal sedikit-sedikit prihatin, curhat, dan mencipta lagu, ya, itu kita semua sudah tahu.
Bagaimana pun, selain seorang jenderal, Prabowo adalah priyayi Jawa. Setidaknya ia punya mantan mertua yang, pada masanya, gemar memanfaatkan khasanah kultural Jawa demi melanggengkan kekuasaan pembangunan nasional.
Kita tahu, para penutur bahasa Jawa terbiasa mewarnai ujaran sehari-hari mereka dengan majas ironi. Seorang ibu yang sebal karena anaknya terus-terusan main game misalnya, mungkin akan berkata, “Wah, anak kok pinter banget. Sudah magrib masih main. Mau lanjut sampai isya minggu depan ya, Cah Bagus?”
Apakah ini berarti sang ibu menyetujui bahkan memuji anaknya? Hajelas tidak.
Si ibu sedang memerintahkan si anak untuk segera berhenti main game. Tak cuma itu, si ibu juga sedang melatih anaknya agar memahami pesan yang tersirat dari yang tersurat. Dalam bahasa Jawa, ini namanya tanggap ing sasmita.
Komunikasi semacam itu mengandalkan kemampuan membaca jalinan konteks, which is tidak cuma important melainkan, literally, sangat crucial buat men-generate tanggapan yang appropriate dalam berbagai circumstances. Paham ora, Son?
Begitu juga dengan ujaran Prabowo tadi.
Sebagai orang Jawa, mungkin Om Prab justru sedang ingin menunjukkan bahwa apapun ucapannya di ruang publik memang layak, dan terbukti selalu, menjadi headline. Atau barangkali beliau sedang bereksperimen dalam komunikasi politik. Atau hendak menyentil pihak-pihak yang dianggapnya kurang kreatif dalam berbahasa. Atau keterangan pers tadi merupakan kelanjutan dari candaan sebelumnya. Atau hanya Fadli Zon, Dahnil Anzar, dan malaikat saja yang paham maknanya.
Maka demikianlah, dalam majas ironi khas Jawa, “bingung” dapat bermakna apa saja kecuali kata “bingung” itu sendiri. Tuh, bingung kan?
Kedua, kita juga mendapat kesan bahwa ujaran-ujaran sang Capres tadi kontraproduktif. Lugasnya: blunder berbahaya. Seolah-olah dalam kampanye elektoral segala kesalahan akan berujung kekalahan.
Belum tentu, Lur.
Memangnya kalau kiper bikin blunder lantas serta-merta timnya kalah? Okelah, memang Karius, Buffon, dan Ulreich melakukan kesalahan-kesalahan fatal dan semua itu memudahkan Real Madrid menjuarai Liga Champions. Tapi Hugo Lloris juga tak luput dari blunder serius di final Piala Dunia, toh Perancis tetap juara dunia.
Sebab, salah itu manusiawi. Menimpakan kesalahan kepada pihak lain, itulah keahlian yang perlu dipelajari. Setidaknya kita perlu belajar supaya segala salah, masalah, dan kalah tak harus segaris dan berbanding lurus. Nah tentang itu, tak ada yang pantas diteladani kecuali, siapa lagi kalau bukan, junjungan kita: Yang Mulia Tuan Donald Trump.
Washington Post mencatat, sudah 6.420 kesalahan dibuat Donald Trump selama 649 hari sejak dia jadi presiden. Padahal kita ingat, sabda abal-abal Trump sudah dimulai jauh sebelum itu.
Misalnya dengan melontar serta terus menuduh bahwa Obama tidak lahir di Amerika dan tidak berhak jadi presiden. Atau mengklaim bahwa Putin memujinya: “He called me a genius.”
Padahal, ternyata, Putin tidak merujuk makna “genius” melainkan colourful atau flamboyant. Hm, cukup bajigur juga bukan?
Kesalahan Trump tidak sebatas keliru data atau fakta, meski salah fakta pun sebenarya sudah memalukan.
Seperti belum lama ini, saat dia menerima kunjungan kepala pemerintahan negara-negara Baltik, lha kok dia malah ngoceh tentang Balkan—dua kawasan berbeda di Eropa yang terpisah lebih 1000 mil jaraknya.
Atau komentar dia, seperti dikutip nbcnews.com, bahwa di antara pelintas batas dari Amerika Tengah bulan lalu terdapat lima ratus kriminal (faktanya: tidak terbukti), yang menyulut bentrokan dan mengakibatkan para petugas patroli perbatasan luka parah (faktanya: tak ada yang terluka) namun insiden itu terkendali berkat tembok batas yang sedang dia bangun (faktanya: cuma ada perbaikan rutin tembok lama yang dari dulu memang sudah terbangun di situ).
Yang lebih merepotkan ketimbang “salah fakta” tentulah “salah norma”. Bukan hal baru lagi jika Trump gemar mendorong aksi kekerasan. Saat memperebutkan tiket capres di konvensi partai Republik—misalnya, Trump sudah menabur keruh lewat pernyataannya; “Kalau saya berdiri di tengah-tengah Fifth Avenue lalu menembak orang, saya tetap tak akan kehilangan pemilih.”
Ealah, bikin pengandaian saja kok ya yang membanggakan kejahatan.
Tapi mau bagaimana lagi, lha wong dalam rally-nya pun Trump bisa memuji anggota konggres dari Montana, Greg Gianforte, yang bulan sebelumnya diputus bersalah akibat men-smack down wartawan.
“Jangan macam-macam lawan orang ini. Any guy that can do a body slam… he’s my guy,” puji Trump.
Bagaimana jika “salah fakta” bertemu “salah norma”? Dalam konteks kampanye pilpres Trump, itu namanya humor alias bercanda.
Lho, memangnya Trump (yang suka marah-marah dalam kicauan rutinnya setiap pagi itu) punya sense of humour dan bisa bercanda? Ya jelas bisa dong, sepanjang candaan itu memuji dirinya sendiri. Atau menghina dan merendahkan orang lain.
Yang memuji diri sendiri, dan yang termasuk populer, salah satunya adalah ketika Trump berkicau,”Sorry losers and haters, but my I.Q. is one of the highest—and you all know it. Please don’t feel so stupid or insecure. It’s not your fault.”
Byuh, bahkan para penulis satire hebat dari Mojok pun mungkin harus cari akal jika hendak melebih-lebihkan kicauan yang sudah kelewat berlebihan ini. Jika aksi memuji diri sendiri begini sudah terasa biasa di Indonesia dan mengingatkan kita pada seseorang dalam kontestasi pilpres, ya, tidak usah dibanding-bandingkan lah.
Komentar yang melecehkan pihak lain? The New York Times sudah membuat daftar 547 orang, tempat, dan hal-hal yang dinistakan Donald Trump.
Daftar ini dapat ditilik secara kronologis maupun urut abjad berdasar nama-nama korbannya. Salah satunya, sudah pasti: Stormy Daniels. Julukan buruk apakah yang di kesempatan lain juga pernah dilabelkan Trump kepadanya? “Ya, horseface!”
Nah, coba banding itu dengan “Tampang Boyolali”-nya Prabowo? Hajelas nggak ada apa-apanya.
Nyatanya Trump baik-baik saja. Dia menang konvensi. Dia dapat tiket Capres, lalu menantang Hillary Clinton. Berkampanye tanpa mengerem omongan genderuwo dan tuduhan-tuduhan sontoloyo, eh, Trump tetep menang lagi. Jadi Presiden Amerika Serikat. Lalu menjalankan kekuasaan secara gembèlèngan, plus belum bosan juga produksi kesalahan demi kesalahan berikutnya.
Toh ternyata, dalam pemilu sela awal November lalu, Partai Republik yang setia mendukung Tuan Presiden tetap perkasa bahkan berhasil menangguk tambahan kursi mayoritas di Senat. Artinya, walaupun Partai Demokrat berhasil merebut mayoritas di House, tapi dukungan rakyat untuk Presiden terbukti masih, atau mungkin malah bertambah kuat.
Kampanye memang soal mempromosikan value yang cocok dengan kebutuhan dan keinginan target pasar. Pertanyaannya, siapakah target pasar alias para pendukung Trump yang sedemikian sabar, berserah diri, pengasih, dan pengampun itu?
Ada banyak analisis ihwal ini. Salah satu yang menarik adalah penelitian Thomas F. Pettigrew dari UC Santa Cruz, yang dimuat tahun lalu di “Journal of Social and Political Psychology”.
Saya, tentu saja, jarang bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran psikologi, baik yang klasik maupun yang kontemporer. Tapi WhatsApp Group telah melatih saya untuk copas pesan apa pun secara gagah berani dan ndableg berkesinambungan.
Apalagi kalau itu “mutiara hikmah” yang muncul setiap pagi, berlatar belakang gambar bunga atau langit merah yang pengirimnya pun tidak yakin apakah itu benar langit fajar atau lanskap senja. Bukan masalah besar kalaupun kita tidak paham landasan teori atau konteks sosio-historis isi pesan tersebut.
Pokoknya sebarkan dan sebarkan. Tinggal pilih: berbagi atau mati kena azab.
Nah, kembali ke publikasi riset tadi, menurut pemahaman asal-asalan saya, Pettigrew menunjuk sejumlah fenomena psikologis yang dapat membantu memahami loyalitas warbiyasa para suporter Trump. Saya kutipkan empat saja.
Pertama, Authoritarian Personality Syndrome aka SKO alias Sindrom Kepribadian Otoriatarian.
Pengidap sindrom ini memeluk dan tunduk kepada satu otoritas seraya tutup mata-telinga terhadap pendapat, tafsir, apalagi kebutuhan orang lain. Mereka juga secara agresif suka mengkafirkan kepada pihak yang dipandang berada di luar kelompoknya.
Di Indonesia tentu tak ada masalah semacam ini. Sebab SKO, sepanjang menguntungkan, memang bukan masalah untuk urusan menang-kalah dalam politik. Oke?
Kedua, mirip yang pertama, Orientasi Dominasi Sosial. Ini pandangan yang menganggap ada golongan masyarakat yang lebih tinggi, lebih benar, dan karena itu layak mendominasi yang lain. Tapi ini juga problem khas masyarakat Barat.
Di negara kita, semua orang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Kecuali satu: minoritas.
Ketiga, syak wasangka atau dalam istilah yang lebih hijrah, suuzan.
Trump sering secara terang-terangan membangkitkan prasangka buruk yang terpendam di benak pendukungnya dengan menyatakan bahwa muslim itu teroris, pendatang dari Meksiko itu penjahat, dan imigran secara umum adalah perampok lapangan kerja yang makin memperberat beban sosial.
Ini tidak perlu kita khawatirkan. Islam di Indonesia semuanya mengaku moderat. Tak ada imigran apalagi pendatang dari Meksiko. Yang ada paling-paling cuma asing dan aseng. Itu pun bukan masalah selama pribumi selalu diutamakan.
Ingat, ya, pribumi itu bukan cuma penduduk asli. Keturunan Arab dan Cina juga termasuk pribumi. Kalau penduduk asli tapi belum hijrah apalagi beda agama, ya, itu nanti dulu.
Keempat, Kontak Antargrup.
Banyaknya warga kulit putih yang terisolasi dari tetangga dengan ras dan etnisitas berbeda dalam suatu wilayah dapat menjadi petunjuk perolehan suara Trump. Ini sebenarnya biasa saja. Di Indonesia, mereka yang ngopinya kurang jauh dan teman ngopinya kurang bermacam-macam juga cenderung tak terbiasa mengelola keanekaragaman apalagi berkreasi dalam perbedaan.
Namun itu bukan masalah besar. Bang Haji dari dulu sudah bilang, “Terdiri dari macam-macam suku bangsa, itulah Indonesia.” Maka pada masa depan, jika masyarakat kita makin agamis, kita tidak perlu repot lagi menghadapi perbedaan ekspresi terkait bermacam-macam adat dan tradisi.
Bukankah ketika agama datang, tradisi dan “budaya” harus disingkirkan?
Demikianlah, demokrasi kadang memang mirip sepakbola: keduanya perlu suporter. Okelah, pemain yang berlaga di lapangan memang penting. Bisa saling transfer. Kalau perlu, bayar sendiri agar dapat menyingkirkan calon pemain lain. Tapi suporter tak kalah pentingnya. Lebih banyak, lebih baik. Lebih militan, lebih mantap.
Para kader suporter akan bekerja keras menjadi Pemasok Kebutuhan Suara. Bahkan Pembenar Kesalahan Selalu, apalagi jika mereka Pembonceng Kendaraan Sementara karena Punya Kepentingan Sendiri (huruf kapital mohon diabaikan).
Jangan lupa, yang kita hadapi ini bersangkut-paut dengan Pemilihan Presiden, bukan dengan EBTANAS atau UAN. Dalam EBTANAS, kita memilih jawaban yang paling benar. Dalam Pilpres? Oh, itu suka-suka kita saja.
Apa? Pertaruhan nasib bangsa dalam jangka panjang?
Nah inilah sesat pikir sebagian dari kita, yang selalu menuntut segala argumen di ruang publik sebagai rangkaian sebab-akibat yang logis, transparan, dan bertanggung jawab. Seolah-olah memilih pemimpin yang baik akan menumbuhkan penyelenggaraan negara yang baik dan membuahkan masa depan yang baik pula.
Yang namanya sebab-akibat atau kausalitas itu, pada dasarnya, tak perlu logis apalagi terang-benderang. Maka, masa depan yang baik juga tak perlu ada hubungannya dengan pemerintah yang amanah dan bekerja keras; ataupun rakyat sehat yang cerdas dan menghargai sesama untuk berkreasi dengan gembira.
Bukankah terjadinya gempa bumi juga tidak sejalan dengan hukum kausalitas dalam proses tektonik atau vulkanik melainkan gara-gara banyaknya sedekah laut dan eljibiti?