MOJOK.CO – Saya pakai produk Uniqlo, tapi belinya di awul-awul. Apakah itu sama dengan bentuk dukungan pada fast fashion?
Uniqlo lagi ada masalah. Salah satu brand mahal yang saya suka ini, katanya nggak membayar gaji karyawannya. Ini cukup mematahkan hati saya. Saya adalah salah satu yang suka dan beberapa kali menggunakan produknya. Meski tentu saja, saya tak cukup mampu membelinya langsung di store mereka yang setiap kedatangan customer-nya itu, disambut dengan sedemikian rupa. Alias, WOY BERISIK!
Ya, uang saya ketika membeli baju-baju tersebut, tidak masuk ke perusahaan mereka. Pasalnya, sebagai salah satu warga negara Indonesia dengan keuangan pas-pasan, uang saya hanya mentok membeli produk secondhand-nya saja. Di Jogja, tempat semacam ini namanya awul-awul. Stand-stand nya akan banyak berdiri saat Sekaten. Namun, ada pula toko khusus yang menjual produk ini dan buka sepanjang tahun, namanya Pujha. Meski tentu saja, ketika sudah berada di toko, harga baju-baju bekas ini menjadi lebih mahal.
Di beberapa kota, awul-awul memiliki nama yang berbeda. Di Jember misalnya, dikenal dengan babebo alias BAju BEkas BOs. Di Malang dikenal dengan sebutan dalbo atau udal-udal kebo. Sementara di Bandung disebut babe atau BArang BEkas. Atau sebutan kerennya adalah thrift store shopping.
Sejak kecil, orang tua saya seolah menjadikan hobi berburu baju-baju bekas menjadi penting adanya dan menjadi kebutuhan bersama. Apalagi saya pernah tinggal di sebuah perumahan yang dekat dengan pasar baju bekas di kota saya. Jadilah, berburu produk ini menjadi liburan keluarga yang murah dan menyenangkan. Ya, menjadi menyenangkan, ketika saya berhasil mendapatkan produk yang berkualitas dengan harga yang nggak bikin orang tua saya mencak-mencak.
Saya pikir dengan membeli produk tersebut, saya menjadi salah satu pihak yang memberikan solusi atas melimpahnya sampah baju negara maju. Saya kira, dengan membeli produk Uniqlo di awul-awul, saya tidak menjadi bagian dari memperkaya perusahaan-perusahaan semacam Uniqlo.
Ta… tapi, meski uang saya nggak masuk Uniqlo. Toh, ternyata, saya adalah salah satu elemen yang turut serta mensejahterahkan Uniqlo. Yang turut serta melanggengkan fast fashion yang yang sudah sejak lama diprotes itu.
Begini, fast fashion memang telah memudahkan kita untuk gonta-ganti baju yang mengikuti tren. Ya, tren baju pun berjalan dengan begitu cepatnya. Sangat cepat malah. Lantaran industri fast fashion telah memfasilitasi hal itu. Setiap ada desainer memamerkan desain bajunya saat peragaan busana, perusahaan semacam Uniqlo, Zara, H&M, nggak lama kemudian langsung produksi baju dengan desain yang mirip-mirip. Sesuai dengan tren yang diperkirakan oleh para desainer ini. Nggak butuh waktu lama untuk memproduksi dengan cepat dan dalam jumlah yang besar.
Bla… bla… bla… dengan sangat nggak ada sopan santunnya, baju pun dipasarkan. Bahkan sebelum si desainer ini memasarkan produknya. Luar biasa, kan? Dan yang pasti, produknya dijual dengan harga yang jauh-jauh-jauh lebih murah. Kalau kamu merasa harga di store Uniqlo atau H&M itu mahal, mohon maaf, murah di sini sesuai dengan murahnya orang-orang sana~
Oleh karena kecepatan munculnya tren-tren baju ini, maka nggak heran kalau kita jadi cepat bosen. Nggak pernah merasa cukup dengan baju yang kita punya. Pengin ganti lagi. Pengin ganti lagi. Nah, terus baju-baju yang udah nggak dipakai lagi itu, keadaannya gimana? Pertama, bisa disimpen sampai numpuk di lemari. Hingga butuh Marie Kondo untuk merapikannya. Supaya betul-betul menemukan barang-barang yang betul-betul memberikan spark joy. Kedua, ada pula yang memilih untuk menjual atau menyumbangkannya.
Lalu, ke mana larinya baju-baju ini? Yak, betul. Lari ke negara-negara berkembang dan sampailah ke stand-stand awul-awul yang saya cinta.
Jadi, sekarang saya jadi bingung. Apakah dengan hobi beli produk-produk tersebut di awul-awul, saya menjadi bagian dari mendukung dan melanggengkan fast fashion? Ataukah saya justru menjadi bagian dari solusi, supaya baju-baju yang tidak terpakai itu tidak menjadi sampah dan nggak tahu gimana juntrungannya?
Belum lagi soal kedatangannya ke negara kita yang ilegal. Membelinya pun, membuat saya udah nggak punya budget buat beli baju-baju lokal. Apalagi dampak lingkungan dalam produksi baju-baju ini.
Tapi… tapi kan, baju-baju bekas itu memang layak untuk dipertimbangkan. Apalagi bagi anak indie yang nggak suka model bajunya disamain sama teman bergaul lainnya. Maka, berburu baju di awul-awul adalah solusi terbaik, untuk mendapatkan baju kece dengan harga yang nggak bikin kere.
Bayangkan saja, dengan uang Rp100 ribu saja, sudah sangat memungkinkan mendapatkan 5 atasan atau bawahan. Terus biasanya, masih suka dibonusin lagi sama abang-abangnya. Soal kaos-kaos yang lusuh dan bisa bikin gatal karena bekas orang lain. Itu bukanlah alasan untuk langsung menyerah. Percayalah, setelah dicuci dan disetrika, jeng-jeng, sudah cocok jadi baju OOTD yang mumpuni.
Jadi, sebagai warga negara yang—selalu berusaha—baik, saya masih bingung. Dengan beli baju yang udah jadi sampah di awul-awul, apa iya, saya bukan menjadi budak fast fashion?