MOJOK.CO – Selfie Nicholas Saputra sungguh dinanti dan langsung jadi trending di sana-sini. Bahkan berhasil bikin lelaki memuji lelaki yang lain.
Menjadi hal yang biasa-biasa saja, ketika kita melihat perempuan memuji perempuan lainnya dengan mudah. Misalnya dengan bilang, “Duh, makin cantik aja, nih.” Yang seringnya, akan dibalas dengan pujian serupa oleh perempuan yang mendapatkan pujian tersebut. Namun harus diakui, kalau ungkapan ini sungguh jarang terjadi pada sesama lelaki. Malahan, kalau bisa sih, dihindari. Pasalnya, akan ada prasangka-prasangka mencurigakan jika sesama lelaki saling memuji seperti itu. Seperti, dikira tidak punya ketertarikan pada hubungan heteroseksual.
Tapi, postingan selfie Nicholas Saputra, yang sayangnya sudah dihapus setelah 24 jam itu, menunjukkan hal berbeda. Hasil kepo saya membaca komentar-komentar di postingan tersebut, tidak sedikit lelaki yang menuliskan ungkapan, “Wah, ganteng banget si Nico”, di kolom komentar. Dan ketika saya cek akun pribadi yang nulis komentar, nggak ada tanda-tanda bahwa dia tertarik dengan sesama jenis.
Ini sebuah kenyataan yang sangat jarang terjadi, jadi perlu diapresiasi. Selama ini ungkapan pujian yang dinyatakan pada sesama lelaki seolah menjadi hal tabu. Ada sebuah gengsi yang tinggi jika lelaki memuji lelaki lainnya yang tampak lebih oke, khususnya soal tampilan fisik. Apalagi dengan jelas menyebut “ganteng”.
Pujian yang paling pol diungkapkan pun, biasanya hanya sebatas kata “keren” dan “kharismatik”. Kata ganteng ini seolah memang perlu betul-betul dihindari supaya tidak menimbulkan prasangka dan perasaan jijik oleh lelaki yang mendapatkan pujian itu sendiri.
Gini, nih. Laki-laki biasanya nganggep perempuan itu ribet. Padahal, mohon maaf, wong, dia sendiri juga menyimpan keribetan itu sendiri. Hadeeeh~
Tapi, berkat foto selfie Nicholas Saputra, semua yang tidak mungkin menjadi mungkin. Foto selfie ini, seolah memang menjadi salah satu keajaiban dunia. Selain sebuah kejadian langka yang akan sulit diharapkan di Pemilu selanjutnya. Peristiwa bersejarah ini, juga berhasil membuat para lelaki mendobrak batas yang sejatinya sih, mereka-mereka juga yang bikin sendiri.
Ngomong-ngomong, memangnya kenapa, sih, para lelaki ini kayak anti banget memuji kelebihan lelaki lainnya? Apalagi kalau itu sudah bawa-bawa soal penampilan. Apakah sebuah gengsi yang tersimpan dalam dirinya itu sebegitu gedenya? Hmmm, saya juga tidak begitu memahaminya.
Begitulah dengan bagaimana cara antar lelaki mengekspresikan kedekatannya. Harus terlihat macho, jantan, dan secukupnya. Apalah itu, perilaku yang gandengan di jalan. Sangat nggak laki dan yang ada malah dianggap bikin jijik orang-orang sekitar. Begitu pula kalau lelaki nyender-nyender di pundak lelaki lain. Yang ada, mah, mereka dikiranya pacaran. Sementara kalau ini terjadi sesama perempuan? Ya, mereka dianggap sebagai sepasang sahabat dekat.
Tidak sedikit para lelaki yang protes dengan kenyataan ini. Seolah-olah, ada aturan di dalam masyarakat bahwa semua yang dilakukan oleh lelaki akan menjadi wajar kalau dilakukan juga oleh perempuan. Sebaliknya, sesuatu yang biasa dilakukan oleh perempuan, menjadi tidak wajar kalau dilakukan oleh lelaki. Ya, seperti interaksi sesama jenis di atas.
Lalu, mereka diam-diam memprotes adanya hukum alam kalau, “Perempuan selalu benar dan lelaki selalu salah”. Hanya berdasar perilaku yang banyak dianggap banci tersebut. Seperti, perempuan yang kelaki-lakian kemudian dianggap tomboy, nggak ada masalah berarti. Tetapi, kalau lelaki yang keperempuan-perempuanan kemudian dianggap banci, tentu bakal jadi masalah.
Sangat menyedihkan sebetulnya, ketika lelaki dididik sejak kecil untuk selalu kuat, nggak cengeng, harus sanggup berdiri tegak dengan kaki sendiri. Ketika seorang lelaki dibentuk untuk memiliki kepribadian demikian, maka menjadi sangat “nggak banget” untuk menunjukkan kelemahannya.
Padahal kan, setiap lelaki juga punya sisi feminis masing-masing, atau sisi anima kalau kata Carl Gustav Jung. Sayangnya, karena harapan dari masyarakat bahwa lelaki harus kuat, maka sisi emosional ini diabaikan. Jadinya, hanya separuh dari potensi diri saja yang dikembangkan.
Nah, karena kurang terbiasa menggali rasa sensitif di dalam dirinya, memberikan pujian dianggap sebagai sesuatu hal yang cemen atau menye-menye dan bisa melemahkan dirinya sendiri. Lantas, menjadi hal yang nggak penting-penting amat ada di dalam pergaulan. Padahal nih, bakal asik kalau lelaki terbiasa untuk saling memuji dengan santai, tanpa harus merasa takut dibilang aneh atau homo.
Ah, tapi yaudah, sih. Setiap orang kan punya cara masing-masing untuk mengekspresikan perasaannya. Misalnya, kalau lelaki udah ngumpul mereka bakal saling menghina, tapi sebetulnya nggak serius menghinanya. Begitu pula dengan perempuan yang kalau ngumpul juga saling memuji, tapi sebenernya juga nggak serius memujinya.
Ya, setiap orang memang punya caranya sendiri-sendiri untuk mengekspresikan sesuatu. Tapi yang penting, sih, nggak perlulah sok ngejek, kalau seseorang punya cara berbeda dan nggak biasa di dalam pergaulan, untuk mengungkapkan sesuatu. Gitu.
Pokoknya, sekali lagi terima kasih untuk Mas Nicholas Saputra. Berkat selfiemu yang cuma 24 jam itu, berhasil menujukkan suatu hal yang biasa. Tidak hanya para kaum hawa saja yang tidak kuat melihat pesonamu. Namun, tidak sedikit kaum lelaki yang juga tidak kuasa melihatnya, hingga terlontar pujian-pujian begitu saja. Tanpa merasa takut dianggap apa-apa.
Percayalah, selfiemu itu tetap membekas di hidup kami. Kami pun memahami, sebagai lelaki sejati yang tidak mau begitu saja mengecewakan banyak orang, tapi tetap ingin menjalankan janji untuk menghapusnya setelah 24 jam. Foto profil di akun Instagram-mu tersebut, sudah cukup menjadi solusi yang menenangkan hati.
Ngomong-ngomong, maaf nih, Mas Nicholas. Pas hapus fotonya itu, ngerasa galau, nggak? Kan jumlah like dan komenannya itu cukup banyak, nih. Kepikiran untuk nggak dihapus dan lebih milih untuk di-arsipin saja, supaya bisa lihat sewaktu-waktu, nggak? Ya, siapa tahu, gitu. Kalau tipe galaunya Mas Nicholas mirip-mirip kami.