MOJOK.CO – Menyambangi lebaran kustom kulture di Jogja dan menyelami gairah pegiatnya yang yakin bahwa kustom sudah ada di masa kuno, mampu beradaptasi kala pandemi, dan bakal berjaya di masa depan.
Mobil dan sepeda motor itu menyatu. Tanpa polesan cat, mesin mobil Volkswagen dengan detail bodi perak aluminiumnya tampak sangar saat terpasang di rangka DOM tubing yang hanya diberi sedikit aksen merah.
Volkswagen Motorcycle yang digarap hanya satu bulan itu menyatukan mobil dan motor dalam arti sebenarnya, sekaligus memberi makna titik temu karya-karya modifikasi mobil dan motor di ajang Indonesia Kustom Festival 2020, acara kustom kulture tahunan di Jogja.
Karya itu menyambut hadirin tepat di pintu Jogja National Museum menuju lorong dan ruang-ruang tempat motor kustom dipamerkan. Sebelumnya, di pelataran museum yang disulap bak gudang bekas, terparkir mobil kustom sepanjang perhelatan ini, 15-31 Desember.
“Kita terpisah oleh sekat, tapi teman-teman kustom tetap bergerak,” kata Lulut Wahyudi, bos bengkel Retro Classic Cycles yang biasa mengoprek motor.
Sekat itu bukan hanya dimaksudkan untuk ruang-ruang pamer motor di pameran ini, melainkan tamsil untuk pembatasan aktivitas selama pandemi. Seperti agenda berskala massal lainnya, Kustomfest, begitu festival itu jamak disebut, terimbas pandemi.
“Ini lebarannya kustom,” kata Lulut yang juga Direktur Kustomfest, seraya tertawa. “Tapi kali ini kita hening sejenak untuk merayakan ibadah kustom.”
Dari hot rod ke candi
Bagi “jemaah”-nya, kustom kulture memang tak berlebihan jika dipadankan dengan suatu ritual, cult, bahkan agama. Gara-garanya, kegemaran ini tak hanya menyangkut soal utak-atik kendaraan, melainkan juga langgam aneka budaya, seperti musik, fesyen, dan gaya hidup, yang mengutamakan kekhasan tiap pribadi dan semangat swakriya.
Kultur itu tak lepas dari kondisi anak muda di Amerika Serikat selepas perang Dunia II sekitar 1950-an. Sebagai pelarian kondisi pasca-perang yang tak baik-baik amat, kawula muda Amrik, wabilkhusus bocah laki-lakinya, mulai menggandrungi modifikasi kendaraan. Mereka melanjutkan kesenangan mengutak-atik mobil lawas seperti tren hot rod pada 1930-an supaya mobil tampil keren dan sanggup ngebut.
Kali ini mereka menjelma menjadi builder: membangun ulang kendaraan dengan mencopot sejumlah bagian bodi, dari bemper, rangka sampai ban, mengutak-atik atau mengganti mesin, hingga memoles tampilan sehingga terlihat artistik dan menarik. Para builder mengikuti sejumlah “nabi” modifikasi kala itu, seperti Ed Roth, Von Dutch, Lyle Fisk, Dean Jeffries, serta Sam dan George Barris.
Kustom kulture pun lahir dengan semangat anti-mainstream tersebut—termasuk pada istilah itu sendiri yang mengganti huruf “c” ke “k”—hingga menyebar ke penjuru dunia.
Di Asia, deru kultur kustom ditunjukkan di Jepang dengan gaya japstyle yang menggarap motor di bawah 1.000 cc sesuai aturan di negara itu. Thailand menjadi negara dengan perkembangan kustom paling pesat pada warsa ‘80-‘90-an. Alasannya, Negeri Gajah Putih adalah tujuan wisata dunia dan banyak bule ekspatriat yang menyalurkan hobi kustom di sana.
Di Indonesia, sampul majalah Aktuil 1970-an jadi rujukan penanda awal kustom di Indonesia—setidaknya yang terekspose media. Penyanyi rock bersuara serak, mendiang Gito Rollies, nampang di sana dengan motor Yamaha XS650 Chopper. Foto lain memampang para dara bergaya bersama Volkswagen Buggy.
“Skena di Indonesia bisa dibilang salah satu yang sudah cukup maju di wilayah Asia Tenggara. Perkembangannya dari masa ke masa cukup sehat untuk ukuran negara yang berlokasi ribuan kilometer dari negara asal muasal budaya modifikasi motor,” tulis Wira Bakti dalam “South East Asia Unite”.
Sejak itu, tren modifikasi otomotif di Indonesia terus menggeliat. Awalnya pada 1980-an, restorasi atas spek-spek orisinal digandrungi. Seiring makin banyaknya komunitas motor lahir, budaya kustom makin marak. Keterbatasan referensi bikin para maniak modif belajar otodidak maupun dari majalah-majalah impor yang dibeli di pasar loak.
Penikmat kustom kelas kakap juga mulai muncul pada pertengahan 1990-an. Mereka bahkan memesan karya builder dunia, mendatangi acara-acara kustom di Amerika, hingga memboyong karya juara. Hingga 2000-an, dunia motor dan kustom disemarakkan oleh klub-klub sesuai brand produk mancanegara.
Setelah itu, dekade 2010-an menjadi masa tumbuh suburnya ajang kumpul-kumpul penggemar komunitas kustom lokal yang lebih beragam. Seperti dicatat Mustafa Iman dalam “Mengenal ‘Kustom Kulture’ dan Perkembangannya di Tanah Air”, beberapa ajang itu punya ciri khas sendiri.
Selain Kustomfest, pada 2012 mulai digelar pula Pasar Jongkok Otomotif alias Parjo yang menjadi pasar produk UMKM kustom. Tahun itu pula hadir Sekepal Aspal Indonesia Motoart Exhibition (SAIME) dengan proyek-proyek sosialnya.
Duo komedian Edwin dan Jhody pada 2013 membesut komunitas Ahooy Geboy. Setahun berikutnya mulai dihelat Mods Vs Rockers tepat pada perayaan Hari Kemerdekaan dan jadi agenda rutin. Adapun Suryanation Motorland sejak 2015 merambah ke sejumlah kota termasuk di luar Jawa.
Patut dicatat pula, skena kustom masuk dalam kancah politik. Jelang pemilihan presiden 2019, capres petahana, Presiden Joko Widodo getol menggeber motor kustom di sejumlah kesempatan. “Bapak Presiden kita itu kan termasuk jemaah anggota kustom dunia,” celetuk Lulut.
Namun, sesuai keyakinan Lulut pula, riwayat kustom di Nusantara lebih panjang dari itu. Jauh sebelum tren kustom otomotif modern, ia yakin para leluhur di masa lampau telah memiliki gen seorang kustom. “Nenek moyang kita itu builder kustom,” kata dia dengan mimik serius.
Menurutnya, kemampuan kustom itu ditunjukkan dari candi-candi yang berdiri megah. Para pembangun candi sanggup menyusun batu-batu dengan sistem kunci yang pas satu sama lain hingga berdiri menjulang. Pada candi itu juga terukir berbagai relief yang menunjukkan inovasi zaman itu. Lebih keren lagi, candi-candi yang datang dari latar agama berbeda bisa dibangun berdekatan.
“Kalau nenek moyang kita bukan tukang kustom, kita nggak punya peninggalan-peninggalan yang menyatakan berapa tingginya peradaban waktu itu,” imbuh Lulut.
Kalaupun merujuk era modern, saat Republik Indonesia masih bayi tiga tahun, para teknisi kita sanggup mengoprek mesin Harley Davidson untuk pesawat. Pesawat itu kini tersimpan di Museum Mandala Dirgantara TNI AU, Jogja.
“Fakta-fakta sejarah itu tidak pernah diungkapkan secara masif. Sehingga kita percaya bahwa kita itu hanya bangsa pemakai, bukan pembuat,” paparnya. “Kalau kita sudah membangun kesadaran dari awal kita itu bangsa pembuat, kalian besok itu dilahirkan untuk menciptakan teknologi, anak-anak itu mindset-nya akan jadi seorang pemikir.”
Brother builder
Pada medio 2008, Tedja Widjaja, kini 51 tahun, mengalami nasib nahas. Saat turing, lantaran kelelahan, pandangannya sempat lepas sekejap karena kantuk. Akibatnya fatal. Ia mengalami kecelakaan dan tak bisa ke mana-mana. Apalagi motornya pun rusak.
Dasar pencinta motor, ia tak dapat lepas dari tunggangannya itu. “Waktu masa penyembuhan saya mulai bongkar-bongkar. Dari situ akhirnya terjun ke kustom,” kata Tedja saat dihubungi.
“Kustom itu lebih ke personality, karakter kita yang beda-beda jadi kelihatan. Tapi kita juga terbuka dengan advis dan keluhan waktu proses kustomnya.”
Ia menjadi penghobi motor sejak 2000-an. Karena itu, hanya butuh waktu dua tahun sejak ia serius mengutak-atik motor, pada 2010 Tedja membuka bengkel Imagineering Customs di Tangerang dan menerima jasa kustom.
Tedja spesialis kustom untuk tipe american stock system dan yang berbasis Harley Davidson. Selain itu, beberapa aliran lain adalah café racer dengan ciri setang rendah yang membuat penunggangnya merunduk ala pembalap; tipe bobber yang mudah dikenali dari ban besarnya; dan scrambler yang gagah dengan setang lebar.
Dalam setahun, ia menerima 10-12 order kustom motor dan kebanyakan tipe chopper. Salah satu pesohor yang memesan modif motor di bengkelnya adalah aktris Prisa Nasution untuk tipe Royal Enfield. Sebelum mengeksekusi kustom pesanan, Tedja ngobrol panjang dengan si pemesan. “Ini supaya kita tahu gambaran kustomnya seperti apa,” kata dia.
Menurut dia, perkembangan kustom kulture di Indonesia amat pesat. Pemain kustom bertambah dan turut memperlebar jaringan hingga mancanegara. Alhasil infomasi hal ihwal kustom juga melimpah, termasuk pasokan aksesori dengan harga lebih terjangkau ketimbang dahulu yang harus impor. “Animonya gila-gilaan,” kata Tedja.
Bengkel dan pegiat kustom pun tak hanya terpusat di Jakarta, Bandung, atau Jogja. “Di tiap daerah sekarang ada bengkel kustom dan kualitasnya nggak kalah. Karya-karyanya gokil.” Hanya saja, Tedja mengakui komunitas penggila kustom masih terbatas. “Gathering jarang. Gimana mau gathering kalau waktunya dah habis di bengkel,” tukas dia sembari tertawa.
Tapi Tedja tak hanya jago kandang, atau tepatnya, jago bengkel. Ia melanglang ke berbagai ajang kejuaraan kustom dunia, seperti Annual Yokohama Hot Rod Custom Show, Jepang, 2018. Tiga tahun sebelumnya, ajang serupa bahkan mendapuk Tedja sebagai salah satu juri. Di tingkat nasional, ia langganan juara di Kustomfest yang rutin ia ikuti sejak pertama digelar.
Tahun ini, bengkel Tedja menjadi finalis AMD Championship di Jerman. Sayang, seperti halnya ajang lain, kejuaraan ini ditunda sampai belum tahu kapan karena pandemi. “Ajang kompetisi itu cikal bakal kustom Indonesia berkembang dan wadah untuk naik kelas,” ujarnya.
Sebagai penebus partisipasi, bengkel Tedja menyuguhkan karya terbarunya Min’T, sebuah perpaduan café racer dan new skool chopper dari Harley Davidson Sportster 883 1983, di Kustomfest 2020. Karya simpel pada bodi motor bersepuh krom yang kinclong ini terlihat elegan.
Beda lagi cerita Yayak Lekha, 35 tahun, builder dari Jogja. Ia mewarisi kegemaran akan motor dari sang ayah yang seorang pembalap. Motor dan ubarampe peralatan serta aksesorinya menjadi benda-benda yang tak asing bagi kesehariannya.
Sekitar 2003, ia mulai menjajal kustom dan keterusan hobi itu. “Cah enom lihat alat-alat di garasi ya nggak bisa nganggur, akhirnya bikin mandiri,” kata Yayak. Sejak 2012, ia pun membuka bengkel dan menerima jasa kustom dengan trademark karya-karya chopper.
Dalam setahun, Yayak bisa merampungkan tiga motor kustom. “Dulu cari bahannya susah, impor, terbentur tool-tool tertentu. Sekarang makin gampang dan lebih banyak,” kata dia.
Menurut dia, karya kustom tiap builder dan bengkel tak selalu bisa dibandingkan dari bengkel lain. Tak bisa dibilang bengkel ini lebih baik dari bengkel lain. Setiap builder punya selera. Namun, untuk menjadi builder mumpuni, ia percaya harus melalui tahap-tahap, dari pemula sampai go international, bahkan menjadi legenda.
Untuk itu, kata dia, ajang-ajang kumpul dan kompetisi kustom wajib terus digelar. Jika builder seorang seniman, maka diperlukan sebuah galeri. “Ini wadahnya builder yang kayak seniman butuh ruang untuk pamer dan all out,” tukasnya.
Karya seni dan mimpi
Sejak pertama kali digelar pada 2012, Kustomfest dihelat saban awal Oktober di Jogja Expo Center. Sekitar 350-400 motor dan mobil kala itu dihamparkan begitu saja di aula gedung yang lapang. Pandangan pengunjung—tahun lalu tercatat tak kurang 28 ribu orang—dibiarkan berkelana di antara warna-warni dan aneka rupa modifikasi. Meriah, tapi di sisi lain kurang fokus.
Situasi pandemi yang menuntut penerapan protokol kesehatan mengubah kemeriahan itu. Kustomfest 2020 #Unrestricted bersiasat dengan menghadirkan konsep ala pameran seni. Tak lagi disebar, karya kustom diatur di lorong dan ruang-ruang Jogja National Museum yang berlantai tiga. Dedengkot pameran seni ART JOG, Heri Pemad, digandeng untuk menata mobil dan motor kustom secara artistik.
Akibatnya, seleksi atas kapasitas ruang ini hanya mampu menampung 150 karya kustom yang bisa mejeng. Pengunjung pun dibatasi maksimal 60 orang per sesi untuk empat sesi per hari. Berkahnya, apresiasi atas karya-karya kustom anak negeri ini terasa lebih fokus dan dapat mat-matan. Cara presentasi ini sekaligus bisa jadi alternatif model apresiasi karya kustom di masa mendatang.
“Kami sekarang tidak bisa bikin acara yang festive dan masif,” kata Lulut. “Tapi ke depan harapan kami karya-karya kustom ini direspons selayaknya karya seni rupa. Bukan hanya dilihat dari premiumnya, mahalnya, luxurious-nya, tapi dilihat juga dari bagian seni rupa.”
Namun, tak sekadar menjadikannya sebagai suatu karya seni, mimpi para builder untuk karya kustom Indonesia rupanya lebih tinggi dari upaya menggotong motor ke lantai tiga gedung JNM untuk gelaran Kustomfest 2020 ini: menempatkan karya kustom dan builder kita di tingkat dunia.
“Untuk ke sana jalannya panjang dan berliku, harus seleksi alam dengan kompetisi, kita undang juri-juri dari luar, sehingga grading-nya naik terus, akhirnya Indonesia di top of the level. Apakah itu mungkin? Tidak ada yang tidak mungkin,” tutur Lulut yang kini bahkan mulai mengkustom pesawat ini.
BACA JUGA Ngobrolin Resep ‘The Science of Fictions’ Menang FFI tanpa Dialog dan Liputan Mojok lainnya.