Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Yang Harus Kami Relakan Saat Warung Burjo Tutup

Aprilia Kumala oleh Aprilia Kumala
16 Mei 2019
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Lagi puasa, eh warung burjo tutup menjelang akhir Ramadan. Selain perkara makanan, tidakkah orang-orang mengerti bahwa ini menimbulkan luka hati yang dalam?

Kawan saya dari Jakarta pernah datang berlibur ke Jogja. Dengan penuh semangat, saya datang ke stasiun dan menjemputnya dengan segera. Setelah bersalaman dan berpelukan, tahu apa yang dia bilang pada saya?

“Makan, yuk, Li. Aku pengin tahu rasanya makan di warung burjo.”

Wow, kejayaan warung burjo—atau burjo, atau burjonan—yang memang segitu banyaknya ditemukan di Jogja,  ternyata tak main-main. Teman saya ini tipe orang yang bodo amat, bahkan lebih bodo amat daripada orang yang bodo amat itu sendiri, tapi lihat apa yang terjadi: dia tahu bahwa di Jogja, tempat yang jaraknya hampir 600 kilometer dari rumahnya, ada sebuah tempat bernama warung burjo!!!!1!11!!!

Warung burjo adalah tren yang mengenyangkan. Semasa saya kuliah di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sejak tahun 2011 sampai 2015 (astaghfirullah, mau pamer lulusnya tepat waktu, ya, Mbak?!), hampir setiap hari saya mampir ke burjo di dekat kos. Burjo yang tersedia pun cukup banyak. Di daerah Karangmalang saja, sekali masuk ke jalan kecil belakang Fakultas Bahasa dan Seni UNY kala itu, kamu bisa menemukan setidaknya 5-6 burjo sekaligus.

Meski berjudul “burjo”, yang berarti “bubur kacang ijo”, menu yang dijual pun bukan cuma bubur kacang hijau saja. Malah, yang menjadi ciri khas warung ini adalah mi instan, baik rebus maupun goreng, dengan atau tanpa telur.

Dulu, saya dan (mantan) pacar bahkan pernah berdebat soal merek mi instan yang seharusnya disediakan di warung burjo. Saya memilih Indomie, sedangkan dia memilih Mie Sedaap. Pada akhirnya, kami tidak pernah merendahkan pilihan masing-masing—setidaknya sampai kami akhirnya putus (HAHAHA)—dan kini kita semua tahu siapa pemenangnya: Indomie jauh lebih berjaya di warung-warung burjo, terbukti dari evolusi namanya menjadi warmindo, yang merupakan kepanjangan dari Warung Makan Indomie.

Tapi, tenang, tulisan ini tidak akan menjadi nostalgia masa-masa pacaran kami di burjonan. Justru, saya ingin mengenang sesuatu yang lebih menyedihkan: perasaan saya saat menyadari bahwa warung burjo tutup satu per satu, sejak masa-masa akhir bulan Ramadan hingga selepas lebaran.

Pengalaman ini saya alami bukan cuma di Karangmalang. Di Jogja bagian barat pun—atau kita sebut saja daerah Gamping—hal yang sama juga terjadi. Burjo langganan saya mendadak tampak gelap dan suram seperti hati saya, lengkap dengan kursi yang ditumpuk-tumpuk, pertanda warung tengah tidak beroperasi.

Meski terkesan sepele, kisah warmindo alias warung burjo tutup di bulan puasa ini menimbulkan masalah tersendiri. Penyebab terbesarnya tentu saja adalah kesulitan kita dalam mencari makanan yang enak, murah, dan mengenyangkan dalam satu waktu.

Tapi, tapi, tapiiiii, ternyata masih ada hal-hal lain yang menorehkan sedikit luka dan nyeri di dalam hati gara-gara burjonan-burjonan ini tutup satu per satu. Hmm, kok bisa, ya???

Pertama, saat warung makan tempat para Aa Burjo setiap hari merilis hasil karya berupa nasi telur dan mie dog-dog ini tutup di semingguan terakhir bulan puasa, tentu kita tahu bahwa mereka sedang mudik, pulang ke rumah, dan bertemu keluarga.

Saya, yang juga menjadi manusia perantauan selama delapan tahunan di Jogja, pun mengenang hal ini sambil sedikit meringis. Saya jelas nggak bisa mudik secepat para Aa Burjo sekarang, tapi setidaknya ada bagian dalam diri saya yang akhirnya belajar merelakan sesuatu, yaitu waktu bertatap muka dengan bapak, ibu, dan adik di rumah.

Maksud saya, Aa Burjo itu tiap hari ada di warung dan baru mudik di akhir-akhir bulan puasa, loh. Bayangkan, seberapa besarnya mereka menahan rindu pada keluarga di rumah, sebelum akhirnya diperbolehkan pulang ke kampung halaman?

Iklan

Jadi, yah, semestinya, saya pun “membayar” utang tersebut dengan lebih sabar, bekerja, dan bersikap yang baik di tanah rantau demi keluarga saya di rumah. Eaaa~

Kedua, keadaan warung burjo tutup ini juga mendorong kita (hah, kita???) untuk merelakan absennya nasi telur paket lengkap yang harganya sangat terjangkau.

Teman saya dari Jakarta yang muncul di awal tulisan ini sempat protes waktu nasi telur yang dia pesan di burjo dilengkapi dengan sayuran oleh si Aa, sebagaimana menu nasi telur di burjo pada umumnya. Dengan heran, dia bertanya, “Tapi aku pesannya, kan, nasi telur, Li! Di bayanganku, ya, nasi sama telur aja. Terus, ini kenapa ada sayurnya? Banyak banget, pula. Emang si Aa-nya nggak rugi?”

Itulah, Saudara-saudara sekalian, apa yang membuat burjonan spesial.

Ketiga, tutupnya burjonan menimbulkan kesepian tersendiri, dan saya pernah menyadari poin ini begitu dalam, sampai-sampai rasanya ingin menangis.

Iya, iya, saya memang lebay~

DI daerah Gamping, kos saya dulu berada tepat di depan warung burjo alias warmindo yang buka 24 jam. Lingkungan kos dan burjo ini tidak berisik, tapi cukup ramai dan tidak bakal membuatmu merasa malam hari adalah waktu-waktu yang menyeramkan. Justru, bagi manusia yang lebih suka melek di malam hari seperti saya, ini adalah berkat yang menenangkan.

Kalau saya lagi nggak bisa tidur, karena di sana nggak ada working space atau kedai kopi 24 jam, saya bakal keluar dan mampir ke burjo hanya untuk menikmati keramaian-keramaian ini: sekumpulan mahasiswa yang mengobrol, mas-mas yang teriak-teriak nonton bola, atau sekadar pasangan yang makan mi goreng tanpa telur dan tanpa perdebatan remeh soal Indomie dan Mi Sedaap.

Jadi, ketika akhirnya si warung burjo tutup di minggu-minggu terakhir bulan puasa, rasanya ada sepi yang besar dan membuat malam-malam saya hampa.

Haashhh, repot, lah, pokoknya, udah kayak orang sedih abis putus cinta gitu!

Keempat, yang tak kalah menyedihkan adalah saat warung burjo tutup, bahkan setelah kita sudah selesai mudik lebaran.

Semasa masih kuliah di UNY dari tahun 2011 sampai 2015 (astaghfirullah, mau pamer lagi lulusnya tepat waktu, ya, Mbak?!), saya nggak cuma mengalami kesedihan sekali atau dua kali karena burjonan tutup cukup lama, bahkan setelah euforia lebaran telah berlalu.

Sekalipun akhirnya burjo ini buka, hal menyedihkan lainnya pun harus saya terima: Aa Burjo yang jaga di burjonan udah ganti dan bukan lagi Aa yang sebelumnya udah hafal betapa saya nggak suka nasi goreng kornet saya dibuat terlalu pedas dan terlalu manis. Artinya, saya harus request dari awal lagi, atau memilih menyesuaikan lidah dengan cita rasa yang baru.

Ah, tapi, mau bagaimana lagi? Toh, segala jenis kehilangan dan perubahan situasi-kondisi memang selalu membuat ngilu….

Terakhir diperbarui pada 16 Mei 2019 oleh

Tags: Aa' Burjoburjonanwarmindowarung burjo tutupwarung makan indomie
Aprilia Kumala

Aprilia Kumala

Penulis lepas. Pemain tebak-tebakan. Tinggal di Cilegon, jiwa Banyumasan.

Artikel Terkait

3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg.MOJOK.CO
Ragam

3 Ciri Warmindo di Jogja yang Masih Asli, Jangan Ketuker Sama Warteg

22 Oktober 2025
4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!
Pojokan

4 Dosa Warmindo yang Bikin Tempat Ini Nggak (Perlu) Lagi Jadi Top of Mind Tempat Makan Mahasiswa, Mending Penyetan!

14 Juli 2025
warmindo unggul dari warteg.MOJOK.CO
Kuliner

3 Alasan Sederhana Orang Memilih Makan di Warmindo daripada Warteg, Padahal Lauknya Kalah Lengkap

29 Juni 2024
warmindo tertua jogja menolak jadi warteg.MOJOK.CO
Kuliner

Warmindo Generasi Tertua di Jogja yang 42 Tahun Menolak Jualan Lauk Kayak Warteg, Setia dengan Burjo dan Indomie

23 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.