MOJOK.CO – Review Fantastic Beasts 2 penuh dengan kritikan dan cibiran, padahal bagi kami ini adalah obat rindu yang (lumayan) mujarab.
Ramai-ramai poster film Fantastic Beasts: The Crimes of Grindelwald telah dimulai sejak kemarin, menyusul pemutaran perdananya di banyak kota di Indonesia. Sebagai manusia yang sudah terpikat dunia sihir JK Rowling sejak usia 9, saya tak mau ketinggalan. Pokoknya, mau gimana pun caranya, saya harus nonton hari itu juga!
Selama lebih dari dua jam, saya kedinginan di studio bioskop menikmati jalan cerita petualangan Newt Scamander di tahun 1927 dengan latar belakang Prancis. Kemunculan beberapa aktor sempat bikin saya salah fokus—padahal niat utama saya adalah melihat aksi niffler—seperti Callum Thurner yang berperan sebagai Theseus Scamander yang, untuk sepersekian detik, sempat saya kira sebagai James Franco versi muda yang diawetkan. Gellert Grindelwald yang diperankan oleh Johnny Depp juga tak kalah menarik perhatian.
Terlepas dari kontroversi pemilihan dirinya, ia tampil begitu eksentrik dan menyisakan pertanyaan besar di kepala saya: kenapa Grindelwald kelihatan tua banget, padahal Dumbledore aja nggak tua-tua banget??? Kenapa juga, sih, dia harus dipakaikan foundation yang kecerahan kayak gitu—tanpa contouring dan shading???
O, dan jangan lupakan pula Jude Law yang berperan sebagai Albus Dumbledore itu sendiri. Saya hampir lupa kalau saya punya pacar pas lihat beliau tampil di layar…
…tapi lalu saya ingat saya udah nggak punya pacar, jadi saya memutuskan menghabiskan sisa nonton dengan nge-fangirling-in Dumbledore tiap kali dia muncul di tiap adegan :(((
Sayangnya, saya lebih sering membaca dan mendengar film Fantastic Beasts 2 ini disebut-sebut sebagai film yang jelek dan mengecewakan. Alur cerita yang bertele-tele, membosankan, sampai naskah film yang payah dianggap menjadi penyebabnya. Tak sedikit orang menganggap film ini membuat penonton mengantuk, dan mereka heran mengapa ada lebih banyak orang yang tampak antusias menonton film ini.
Naaaaah, di sinilah, saya merasa gatal ingin berbicara. Ketahuilah,Saudara-saudara, film Fantastic Beasts 2 ini nyatanya erat kaitannya dengan nilai kesetiaan.
Hah, kok bisa???
Pertama-tama, saya akan mengajak kamu-kamu untuk flashback sebentar.
Sejak kemunculan pertamanya dalam bentuk buku di tahun 1997, serial Harry Potter nyatanya sanggup mengguncang dunia dan melejitkan nama JK Rowling. Hingga filmnya dibuat pada tahun 2001, kian banyak orang bergabung dalam fandom, mengikuti kisah di dunia sihir yang memesona.
Buku terakhir Harry Potter terbit tahun 2007, sementara filmnya di tahun 2011. Pejuang kisah Harry Potter tentu ingat betul rasanya menerima kenyataan bahwa cerita yang diikuti bertahun-tahun harus berhenti begitu saja, menyisakan kalimat “The scar had not pained Harry for nineteen years. All was well.”
Kesedihan dan kesepian inilah yang mendasari kami kegirangan setengah mati mendengar Fantastic Beasts bakal difilmkan. Sejak November 2016, di film pertama Fantastic Beasts, kami—barisan manusia dengan post-Potter-syndrome—sudah duduk rapi menonton aksi kakek dari suami Luna Lovegood di masa depan. Ya, ya, ya, FYI aja nih: Newt Scamander adalah kakek dari Rolf Scamander, yang merupakan suami Luna kelak.
Meski kisah soal Newt adalah spin-off dari serial Harry Potter dan tak ada hubungannya langsung dengan bagaimana Harry mencium Cho Chang di tahun kelimanya di Hogwarts, kami tak peduli-peduli amat. Yang kami tahu, JK Rowling tetaplah orang yang ada di balik kisah ini—kisah dunia sihir yang sama yang telah membuat jiwa kami bahagia bertahun-tahun.
Ini adalah perkara titik temu kerinduan, mylov!!!
Kedua, kabarnya film Fantastic Beasts bakal dijadikan lima film yang berturut-turut akan terbit pada tahun 2016, 2018, 2020, 2022, dan 2024.
Dari fakta ini, jelas bukan hanya kesetiaan para Potterhead terhadap kisah dunia sihir saja yang terlihat. Lima film yang bakal dirilis per dua tahun pun bisa menjadi suatu tolok ukur rahasia pada partner menontonmu.
[!!!!!11!!!1!!!]
Yaaah, maksud saya, bisa aja kan dulu kamu merencanakan nonton film Fantastic Beasts yang pertama bareng pacarmu, eh ternyata kalian putus duluan sehingga kamu malah nonton dengan cowok lain yang menjadi pacar barumu. Setelah itu, kalian janjian untuk nonton Fantastic Beasts 2, eh—lagi-lagi—hubungan cinta itu harus kandas sampai kamu akhirnya memilih untuk menonton sendirian dan bertanya-tanya siapa kekasih yang akan menemanimu menonton 3 film terakhir.
Sungguh, serial Fantastic Beasts bisa kamu jadikan titik perjalanan kisah asmaramu, Beb.
Ketiga, adegan di Hogwarts—atau apa pun yang mendekati Hogwarts—lengkap dengan instrumen Hedwig’s Theme, dijamin ampuh menggetarkan hati Potterhead manapun, termasuk yang ada di Fantastic Beasts 2.
Ya, benar, Teman-teman: mau dibilang filmnya jelek sekalipun, instrumen Hedwig’s Theme selalu mampu menimbulkan vibrasi-vibrasi haru di jiwa-jiwa kami. Kisah yang kami bangun di kepala kami selama bertahun-tahun seolah bangkit lagi lewat alunan sendu, diikuti bayangan-bayangan tentang pelajaran sapu terbang pertama Harry, pelukan Hagrid, Hippogriff, dedalu raksasa, mobil keluarga Weasley, Hutan Terlarang, Aragog, Hermione yang menonjok Draco Malfoy, remembrall milik Neville, Turnamen Triwizard, hingga Perang Hogwarts serta kematian Fred, Lupin, dan Tonks.
Dan, FYI, film Fantastic Beasts 2 menawarkan adegan Hogwarts, khususnya saat Dumbledore sedang mengajar Pertahanan terhadap Ilmu Hitam. Percayalah, bagi kami, potongan-potongan adegan itu sedang mengobati rindu kami yang mendayu-dayu.
Jadi, sekali lagi, walaupun banyak orang yang berkata film ini payah, jelek, mengecewakan, dan tidak pantas ditonton, saya tetap yakin ia bisa menjadi pelipur rindu yang—setidaknya—lumayan mujarab. Toh, kalau soal kecewa, saya sudah kecewa duluan lewat kisah Harry Potter and the Cursed Child tahun 2016 lalu itu.
Yaaaa, maksud saya—monmaap nih JK Rowling—kenapa sih Voldemort harus diceritakan punya anak sama Bellatrix Lestrange??? Mau gimana pun juga, rasa-rasanya itu tuh nggak mashooook di kepala :(((