MOJOK.CO – Kalau ada tulisan dalam bahasa Inggris yang salah sedikit saja, jangan-jangan para polisi bahasa bakal mulai membanting kamus Oxford di depan pintu kita semua.
Ada suatu masa di SMP di mana saya dan teman-teman mendapat tugas untuk berkenalan dengan bule. Bagi kami , hal ini tentu cukup menantang—nggak tahu, deh, bagi bulenya gimana.
Saat itu, bahasa Inggris adalah hal yang paling saya sukai di dunia. Saya mencintai pelajaran ini 50 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pelajaran lain. Itulah sebabnya, ketika teman saya bertanya pada si bule yang bernama Mark, “Could you please sign here?” dengan cara mengucapkan kata “sign” berbunyi “sin”, saya langsung merasakan gejolak yang bergemuruh di dalam dada.
Mark tampak kebingungan saat si kawan tadi menyodorkan kertas dan pulpen sembari menyebut-nyebut soal “sin”. Ya kalau dipikir-pikir, maksudnya apa coba??? Kita kudu mencatat “sin” alias dosa-dosa kita, gitu, di sana???
Saya gelisah, lantas ingin berbisik pada si teman untuk mengucapkan kata “sign” dengan lebih proper. Sayang, kami terpisah beberapa kawan—iya, ada cukup banyak siswa yang mengelilingi Mark untuk berkenalan. Terpaksa, saya hanya memandangi kebingungan Mark dari jauh, lengkap dengan wajah percaya diri teman saya tadi.
Tak berapa lama, Mark berkata, “Ahhh…. Sign! You want me to sign here, right?” Teman saya ngangguk-ngangguk, nggak tahu, deh, apakah sebenarnya ia mengerti atau nggak. Yang jelas, tercapailah sudah misi kami: mewawancarai bule sekaligus mendapatkan tanda tangannya.
Beberapa tahun kemudian, fenomena “sin” tadi berkembang di mana-mana. Bukan, bukan berarti teman saya terus melakukan kesalahan yang sama—hanya saja, ada lebih banyak “kesalahan” berbahasa Inggris yang kian akrab kita temui dari banyak pengguna media sosial.
Bahasa Inggris yang jelas-jelas bukan bahasa ibu kita telah didapuk menjadi bahasa internasional berkat berkuasanya Inggris sejak dulu kala, terlebih karena ia telah menjajah kurang lebih 90 negara di dunia. Selain menjadi salah satu materi pelajaran yang wajib kita kuasai, kepopuleran bahasa Inggris terpampang nyata dari penggunaannya dalam banyak kesempatan: caption Instagram, cuitan di Twitter, obrolan antarteman, dan lain sebagainya.
Nah, menyebalkannya, minat yang tinggi ini dibarengi pula dengan minat “polisi-polisi bahasa” dadakan untuk muncul.
Seberapa menyebalkannyakah “menyebalkan” itu? Yah, kalau dibayangkan, seandainya para polisi bahasa ini bertemu dengan teman saya semasa SMP dulu, mungkin mereka bakal langsung berteriak:
“Please, deh, ‘sin’ itu tuh bukan cara yang tepat untuk membaca ‘sign’, ya! Sini belajar pronunciation dulu sama saya, sebelum kamu malu-maluin orang Indonesia lagi di depan bule!”
Tapi, yah, tentu saja itu adalah perkiraan saya saja. Kalau dibilang terlalu kejam dan mempermalukan, ya mau bagaimana lagi? Nyatanya, dewasa ini ada saja orang-orang—bahkan akun—yang mendedikasikan diri untuk mengoreksi secara langsung caption yang ditulis dalam bahasa Inggris, kok.
Contohnya kaya ini. pic.twitter.com/Ai7wAShHCV
— Mariza (@iamMariza) April 16, 2019
Mengutip salah satu komentar di media sosial, teman saya mengulang sebuah penilaian dengan baik: pengoreksian grammar di dunia internet ini sepertinya mewakili salah satu dari dua hal penting: helping atau embarrassing.
Kenapa helping? Tentu saja karena ia bertujuan membantu mereka-mereka yang masih “salah” dalam menggunakan bahasa Inggris, agar kemudian bisa menjadi “benar”—walaupun sepertinya tak ada standar bahasa Inggris “benar” yang disepakati seluruh dunia, mengingat bahasa Inggris saja memiliki banyak aksen!
Kenapa embarrassing? Karena, yah, bagaimana lagi kita harus menyebutnya, coba, kalau seseorang meng-screen-capture tulisan orang lain hanya untuk dibilang betapa semestinya mereka menggunakan bahasa Indonesia saja karena kemampuan bahasa Inggris yang terbatas?
Maksud saya, meski akun Instagram semacam English Busters memiliki poin-poin penting yang bisa kita pelajari dalam setiap penjelasannya, sering kali kita juga dibuat bertanya-tanya kenapa si pemilik akun tampak begitu “bernafsu mencari kesalahan” para influencer untuk kemudian diunggah agar semua orang bisa melihatnya.
Perilaku ini mengingatkan saya pada pengalaman bekerja sebagai editor buku selama dua tahun. Karena setiap hari kerjanya “mencari-cari kesalahan” dalam teks, saya jadi refleks suka memperbaiki kalimat orang. Kadang, dengan mengesalkannya, saya juga mengingatkan teman saya soal caranya mem-pronounce beberapa kata dalam bahasa Inggris yang mereka pakai dalam percakapan berbahasa campur-campur ala anak muda zaman sekarang.
Saya kira teman-teman saya maklum pada “penyakit” ini karena saya toh melakukannya tanpa ada maksud buruk apa pun. Siapa sangka, ada salah seorang yang kemudian mengaku pada saya bahwa ia kini jadi sedikit takut untuk berbicara bahasa Inggris di depan saya.
[!!!!!!11!!!!1!!!!!]
Ini, lagi-lagi, mengingatkan saya pada kejadian lain. Saya pernah bekerja sebagai guru bahasa Inggris SD dan SMP. Selain kelakuan anak SD dan SMP zaman sekarang yang kadang suka absurd, sumber kebahagiaan saya adalah ketika murid-murid ini memberanikan diri mengacungkan tangannya, atau berdiri dan maju ke depan kelas, untuk menjawab pertanyaan dalam bahasa Inggris.
Apakah grammar mereka sempurna? Nggak, tapi bagi saya bukan itu yang penting.
Fakta bahwa mereka berhasil mengalahkan ketakutan dan rasa minder bagi saya patut diapresiasi. Mungkin saya harus berpikir keras bagaimana cara membuat mereka memahami bedanya Verb 2 dan Verb 3, tapi yang penting mereka mau mencoba bicara dalam bahasa ini karena, percaya deh, mengajar di kelas yang muridnya diam semua itu sungguh membuat hati teriris khawatir.
Saya nggak tahu apakah pikiran semacam ini terlintas di kepala pemilik akun polisi bahasa dan netizen-netizen yang suka menjelma menjadi pengawas bahasa Inggris dadakan. Saya saja sudah cukup merasa bersalah karena seorang teman kini jadi harus merasa sedikit takut untuk berbahasa Inggris di depan saya.
Padahal, kalau mau diingat-ingat pada kasus Mark dan teman SMP saya, justru Mark sendirilah—si native speaker—yang tidak protes saat menyadari bahwa teman sayalah yang salah mem-pronounce kata “sign”. Konon, native speaker memang tak akan mempermasalahkan keabsurdan bahasa Inggris para non-native.
Lah, kalau gitu, kenapa kita yang repot, Surti???
Tapi tenang, saya tidak akan mengatakan akun semacam English Busters tidak berguna. Justru menurut saya, ia memberi ilmu lewat cara yang unik karena bisa menjadi authentic materials, alias kita bisa langsung mengamati bentuk kesalahan dari tulisan-tulisan asli.
Hanya saja, sekali lagi, ilmu yang lebih banyak memang mendatangkan tanggung jawab yang lebih besar. Kalau kita bisa mengingatkan dengan baik betapa kalimat seseorang tampak sangat ungrammatical, kenapa nggak dilakukan saja?
Yakin, nih, bahwa menyebarluaskan kesalahan seseorang adalah wujud dari proses helping—dalam hal mempelajari bahasa Inggris—bukannya mau embarrassing?