MOJOK.CO – Bom Surabaya memang mengubah semuanya. Tapi itu dulu, sebulan lalu. Sekarang banyak yang tidak lagi peduli. Ya wajar, namanya tragedi harus segera dilupakan. Meski begitu, makin lama gereja sudah tidak bisa dibedakan lagi dengan markas militer.
Kurang lebih satu bulan berlalu sejak Dita Oeprianto dan keluarganya melakukan aksi bom bunuh diri di Surabaya pada tiga gereja sekaligus. Sebagai pihak yang satu background dengan para korban, tentu saya tidak bisa lupa begitu saja.
Sebagian besar masyarakat di Indonesia sudah tidak ingat, tentu saja kita memang harus kembali menjalani kehidupan, tidak baik juga selalu mengingat-ingat tragedi berkepanjangan. Lebaran, mudik, sampai Amien Rais sudah memenuhi isu nasional dan mengubur sejenak tagar-tagar #KamiTidakTakut.
Bahkan, kalaupun ada berita mengenai Surabaya, sudah tentu bahasannya bukan lagi soal bom, pemulihan, atau apalah yang berkaitan dengan pelajaran-pejalaran yang bisa dipetik dari tragedi tersebut. Berita tentang Surabaya hari-hari ini jelas akan berisi mengenai Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, yang mempertanyakan soal THR PNS berikut tanggapan dari Menteri Dalam Negeri yang mempertanyakan “memangnya Surabaya miskin?”.
Bagi masyarakat kebanyakan, peristiwa sebulan yang lalu mungkin sudah bukan apa-apa lagi. Bagi keluarga korban bom Surabaya, tentu saja peristiwa tersebut masih begitu hangat. Kalau mereka disentil sedikit saja untuk ingat, tangis bisa jadi akan mengalir kembali seolah kejadian baru saja kemarin pagi terjadinya.
Dan bagi umat Kristen di Indonesia, baik yang Katolik maupun Protestan, trauma bom Surabaya tentu saja masih terasa sampai sekarang. Lebih-lebih bagi umat Kristen yang telatan seperti saya—maksudnya suka telat berangkat ke gereja. Dampak tindakan Dita bersama keluarganya itu sungguh membuat saya merasakan dampak tak nyaman sebagai hamba yang kurang bisa bangun pagi ini.
Alasannya sih sederhana. Setelah peristiwa teror sebulan lalu, pengamanan seluruh gereja di Indonesia diperketat. Beberapa gereja bahkan terlalu ketat. Mau masuk gereja saja rasanya sudah seperti mau masuk Pentagon atau kantor PBB.
Sepekan sesudah bom itu, misalnya, di parkiran gereja tempat saya biasa beribadat, sudah ada seekor anjing dari unit K-9 yang senantiasa mengendus setiap umat yang lewat. Selain itu, banyak gereja pula yang menutup pintu-pintu selain pintu utama. Sehingga jangan kaget kalau lagi lewat depan gereja pas hari Minggu, kepadatan kendaraannya melebihi konvoi Presiden Jokowi kalau mau lewat.
Beberapa gereja bahkan berlaku lebih ekstrim lagi. Mungkin berkaca dari bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, kini ada gereja yang tidak lagi membolehkan kendaraan bermotor masuk ke pelataran gereja. Kebetulan, gereja tersebut tidak jauh dari tempat parkir umum, sekolah, maupun gelanggang olahraga. Jadi memang ada tempat parkir dan tidak mengganggu jalanan umum di luar gereja.
Masalahnya baru dirasakan bagi umat Kristen telatan macam saya ini. Berbekal sepeda motor, biasanya tujuh menit adalah waktu yang cukup untuk berangkat dari rumah, masuk ke gereja dan memarkirkan kendaraan roda dua pada tempatnya di halaman gereja, kemudian masuk ke dalam gereja dan tiba pas pada saat dimulainya ibadat.
Sekarang? Mana bisa. Kadang-kadang saya yang sudah sampai di pintu utama gereja, tempat biasanya sepeda motor masuk ke parkiran, segera diusir dari depan pintu agar disuruh memindahkan sepeda motor parkir ke seberang jalan. Parkiran sepeda motor dipindahkan ke tempat parkir umum yang memang tepat di depan gereja, tapi tempat parkir sepeda motornya perlu tiga menit jalan kaki dari pintu gereja.
Jadi, tujuh menit yang biasanya pas kini tidak lagi. Bahkan kalau waktu ada halangan random seperti portal yang bermasalah atau ada mobil yang salah masuk jalur parkiran, waktunya bisa jadi lebih panjang lagi. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin saya bisa menahan diri untuk tidak berkata “Juancoek”?
Itu baru tentang saya yang telatan. Pernah saya saksikan sendiri, ada orang tua yang terpaksa di-drop di pinggir jalan karena memang mobil tidak lagi boleh masuk sampai persis depan pintu gereja sebagaimana minggu-minggu biasanya. Orang tua itu terpaksa harus jalan kaki beberapa puluh meter di bawah terik matahari.
Padahal sebelum ada Dita and the gank yang punya pikiran aneh-aneh itu, orang-orang lansia bisa turun dari mobil dan cukup berjalan dua langkah di depan pintu gereja. Sekarang, mereka harus dipapah, disiapkan kursi roda, atau mesti membuat jalanan sedikit macet karena menunggu lansia ini turun dari mobil di pinggir jalanan utama. Ah, seandainya Dita bisa mikir sampai sejauh ini, saya berdoa lebih baik dia tetap jualan herbal saja di rumah daripada ikut-ikut berangkat ke Suriah.
Lebih lanjut lagi, sesudah selesai beribadat, saya kadang jadi sering refleks misuh-misuh karena ongkos parkir yang makin gila. Sudah lebih jauh, lebih panas, lebih mahal lagi. Kenaikan tarif servis macam apa ini?
Padahal biasanya, ongkos parkir untuk jemaat gereja ya seikhlasnya. Apalagi bagi Kristen bersubsidi macam saya ini. Jika parkir gereja biasanya dua ribu untuk sepeda motor, dengan menggunakan tempat parkir umum, lalu dilabeli dengan pengamanan begitu ketat bak parkiran kantor NASA, saya harus membayar enam ribu rupiah untuk durasi parkir paling lama dua jam.
Kalau saya pakai acara meratap dulu pada Tuhan di dalam gereja, ngobrol-ngobrol dulu dengan teman, atau sekadar mampir makan dulu, durasi parkir tadi tentu menjadi lebih mahal. Dalam hal ini, bom Surabaya jelas-jelas membantu dunia parkir jemaat gereja melipatgandakan keuntungan. Bah.
Tentu saja saya tidak dapat menyalahkan pihak gereja atau aparatur TNI-Polri begitu saja dalam hal ini. Sejak Bom Malam Natal tahun 2000, beribadat di gereja telah jadi hal yang berbeda dalam soal keamanan. Sesudah tahun 2000 itu, gereja yang tajir bahkan menggunakan perangkat pendeteksi logam merek Garrett pada setiap perayaan besar seperti Natal dan Paskah.
Di beberapa gereja besar, bahkan ada juga pos keamanan gereja yang bekerja sama dengan TNI atau Polri. Sehingga perasan jemaat kalau berangkat ibadat Natal atau Paskah, sudah seperti lagi mengunjungi Kodim atau mau perpanjangan SIM saja. Dan setelah delapan belas tahun berlalu, umat Kristen pelan-pelan bisa menerima biasa saja dengan penjagaan keamanan seketat itu. Yah, apapun yang sudah terbiasa itu akan terlihat nyaman-nyaman saja, meski itu justru jadi wajah ketidakamanan.
Karena kasus teror di gereja pada awal 2000-an terjadi pada perayaan besar, sehingga membuat Natal dan Paskah selalu penuh petugas keamanan. Maka apa yang Dita and the gank lakukan ke gereja pada periode biasa, pada periode yang umat Kristen malesan juga kadang enggak berangkat ke gereja, benar-benar mengubah konstelasi keamanan gereja yang cuma ketat pada perayaan besar saja.
Dampaknya, satu sampai dua pekan sesudah bom Surabaya, pengamanan di gereja pada ibadat pekan biasa menjadi serupa dengan pengamanan perayaan besar. Empat pekan kemudian, pengamanan memang tidak semasif dua pekan awal, tapi tetap saja ada perubahan-perubahan yang sesungguhnya merugikan umat, termasuk umat telatan kayak saya. Entah kalau sudah berlalu sebulan seperti ini dan sudah tidak banyak orang ingat lagi.
Satu hal yang pasti, ulah Dita and the gank jelas berdampak besar terutama bagi keluarga korban, sekaligus berdampak kecil tapi sistemik bagi sekadar umat jelata seperti saya. Dampak yang kadang bikin saya jadi berpikir; sebenarnya tempat ibadat saya ini apa sih? Barak tentara? Samsat polisi? Pentagon? Atau pabrik senjata pemusnah massal? Kok ya demen amat dijadikan sasaran.