Bahwasanya LDR-wan dan LDR-wati di Indonesia maupun seantero bumi nan fana merupakan spesies yang tidak bisa diabaikan sejentikpun. Mereka bukan hanya pelaku Long Distance Relationship, mereka juga kaum-kaum yang Lunglai Dibuai Rindu, kadang-kadang Lupa Dengan Rumah, hingga pada akhirnya terbentuk Lelah Dikibulin Relationship. Dan kini, di Indonesia nan ijo royo-royo ini, LDR telah termanifestasi dalam Loncatan Dolar atas Rupiah yang ditandai dengan tembusnya dolar di angka Rp. 14 ribu rupiah. Iya, sama-sama LDR juga.
Kaum LDR sangat variatif, mulai dari yang sekadar korban mbribik di Twitter dan Pesbuk, teman SMA yang akhirnya terpisah karena pilihan kampus, ditinggal kuliah ke London (kayak saya), anak Bojonggede dan Cisauk yang mengaku LDR, hingga para PNS yang sudah-makan-singkong-masih-harus-PJKA (Pulang Jumat Kembali Ahad) karena ditempatkan di kota yang bukan domisili keluarganya hingga Tunjangan Kinerja habis tandas hanya demi menambah profit PT KAI. Maka, jangan abaikan mereka.
Tanyakan kepada para pelaku LDR ini tentang melemahnya Rupiah. Mereka pasti sangat-sangat mahfum, karena ternyata fenomena LDR yang bermakna Loncatan Dolar atas Rupiah adalah wujud nyata dari LDR yang katanya berarti Long Distance Relationship itu.
Coba perhatikan kaum-kaum LDR itu, apalagi yang di Fesbuk atau Twitter, mereka adalah korban rayuan gombal khas linimasa, ketika emotikon :-* lebih bermakna dari kecupan yang sebenarnya. Digoda, dibuai, dirayu, hingga akhirnya mau. Yes, mau mengikat komitmen kepada orang yang kadang-kadang ketemu saja belum, apalagi mencium bau keteknya! Buaian dari rayuan cenderung nisbi itu kurang lebih sama dengan masa-masa lemahnya dolar dahulu saat Uwak Sam sedang krisis. Buaian yang membuat kita lupa bahwa Uwak Sam juga berbenah diri. Sedikit sekali yang memperhatikan, sejak Uwak Sam mulai beres-beres itu, Rupiah melemah dengan sangat perlahan. Terlena, kalau kata anak kekinian dan galau menahun: Pas PDKT kan gitu, semua dianggap sempurna, semua adalah surga, semua karena cinta. Karena cinta juga akhirnya jadian. Makan tuh cinta.
Ketika Rupiah mulai goyah, kita sadar bahwa kondisi ini disebabkan oleh kondisi regional hingga global. Mulai dari suasana geopolitik, pergerakan ekonomi Tiongkok, meningkatnya jumlah kaum jomblo, bangkitnya 2D, hingga harga minyak dunia yang sudah turun (tapi Premium tetap 7000-an). Poinnya adalah tergantung lingkungan, sama persis dengan LDR.
Mempertahankan LDR itu harus sejalan dengan kondisi lingkungan. Ketika sedang hujan lebat di Jakarta dan air menggenangi Kampung Pulo, adalah mimpi bagi saya untuk bisa Skype-an dengan kekasih di London. Kala tanggal tua dan belum gajian, maka aktivitas tersebut juga urung dilakukan karena perkara ketiadaan pulsa. Jelas sekali, baik LDR maupun pelemahan rupiah adalah sesuatu yang sangat tergantung dengan lingkungan sekitar.
Relevan dengan Lunglai Dibuai Rindu, maka konsep LDR itu sebenarnya baru akan berjalan baik ketika ada momen untuk ketemu. Mau sampai kapan bertukar emotikon cium-ciuman tanpa bertukar liur? Akan sampai kapan pula bersayang-sayangan hanya dengan membelai layar LCD dan bukan punggung kekasih
Ketemu adalah poin, dan poin itu kadang jadi pertentangan kaum LDR. Ketika tidak ketemu 3 bulan, misalnya, salah satu mulai mengeluh, “kapan dong kita ketemu?”. Berhubung pihak di seberang sedang bokek karena kebanyakan main ke Mangga Besar, mengelaklah dia. Salah satu modus untuk mengelak adalah dengan melakukan perbandingan dengan yang lebih payah. Lantas muncul pernyataan, “Sayang, yang LDR kan bukan cuma kita. Yang nggak ketemu lama juga bukan cuma kita. Tetangga aku, si Ringgito sama si Yuanita itu nggak ketemunya sudah 4 bulan lho, kita kan baru 3 bulan”. Argumentasinya sama saja toh dengan argumentasi pemerintah tentang pelemahan Rupiah? Sama-sama menderita kok bangga.
Dan konsekuensi logis dari LDR itu hilangnya konsep kehadiran sebagai elemen penting dalam hubungan percintaan. Tidak ada kekasih yang akan melindungi ketika hampir kena jambret—paling-paling kirim emotikon tangan mengepal. Tidak ada kekasih yang berada di tepi lapangan futsal untuk memberi semangat. Tidak ada kekasih yang bisa ditanyai tentang baju-mana-yang-lebih-bagus-padahal-aku-sih-udah-milih. Pun tidak ada bahu yang tersedia untuk menampung air mata. Ketika dicurahkan dalam teks WhatsApp, “kamu sih nggak ada di sini”, jawaban yang kemudian muncul adalah, “aku ada di situ sayang, menemani kamu, cuma fisik aja kok yang nggak ada”. Aktualnya, fungsi bahu digantikan oleh guling.
Ya, dalam hubungan LDR, selalu saja upaya meniadakan jarak dengan berkata bahwa dia sebenarnya ada di dekat kekasihnya. Bank Indonesia juga bilang begitu, kami ada di pasar. Bilangnya sih ada, tapi apakah terasa?
Ketika kawan saya setengah mati mengurus mutasinya agar bisa dekat dengan keluarga, sebenarnya saya melihat adanya jawaban. Sebuah hubungan itu tidak mungkin selamanya LDR. Harus ada titik temu, salah satu pihak harus mengalah untuk bisa bersatu. Jika tidak, salah-salah yang muncul adalah titik jemu.
Maka, pertanyaan ‘sampai kapan?’ adalah hal yang selalu menjadi inti dari LDR. Mau sampai kapan terus-terusan PJKA Jakarta-Solo? Mau sampai kapan ber-Skype-an doang Jakarta-London? Mau sampai kapan mesra-mesraan cuma di Path karena beda jarak Jakarta-Ambon? Pertanyaan khas LDR ini juga adalah pertanyaan khas rakyat jelata kayak saya untuk Pak Agus Marto, Pak Darmin, Pak Bambrod, dan terutama Pak Jokowi, “Sampai kapan, Pak?”
Dulu, ketika saya masih LDR sama mbak mantan, pernah terjadi kisruh. Untuk memperbaikinya, saya datang dari Palembang ke Jogja, ajak ketemu, ajak ngobrol, ajak makan. Namun konteks inilah yang tidak relevan dengan Loncatnya dolar atas Rupiah. Kita tidak bisa mengajak dolar makan-makan satu kali, dua kali, tiga kali, sampai lima puluh kali sampai kemudian dia mau turun dari angka-yang-serupa-nomor-pesan-ayam-goreng-khas-Uwak-Sam ke angka-yang-sejalan-dengan-doa-bersama-270-juta-penduduk-Indonesia-di TV-TV-nasional.
Hidup LDR itu memang sudah susah, masihlah ditambah melemahnya Rupiah. Walau begitu, syukur masih ada kaum yang berbahagia dengan Loncatnya dolar atas Rupiah. Kaum yang dengan volume maksimal selalu bertanya kepada kawan kantor maupun kenalan barunya: Pemilu kemaren milih siapa?