Dalam perjalanan pulang dari Semarang ke Magelang sehabis mengisi pelatihan menulis di salah satu kampus, saya sungguh beruntung duduk di kursi paling belakang bis Ramayana yang sudah tampak tua dan ringkih namun masih tetap bergas dan bertenaga itu.
Duduk di kursi paling belakang artinya siap mendengarkan banyak cerita dari sang kernet dan para penumpang yang juga sama-sama duduk di belakang.
Selain saya, ada tiga orang lain yang duduk di barisan kursi belakang. Di sebelah saya persis, seorang lelaki tua dengan potongan rambut yang sangat Broery Marantika. Di sebelahnya, seorang penjual gelang tolak bala yang belakangan memang sedang ngehits di kalangan anak-anak desa. Sedangkan di ujung, seorang lelaki pencari ikan petho (sejenis ikan kecil yang sering ditemukan di sungai-sungai kampung, sering disebut sebagai ikan cempili atau wader cethul) yang naik dengan membawa sewadah penuh hasil tangkapannya.
Si bapak dengan potongan Broery bercerita panjang lebar tentang perjuangan masa lalunya saat ia masih gagah.
“Dulu, cari uang rasanya gampang banget,” ujarnya mantap. “Aku dulu usaha jualan sepatu, aku belinya di Mustika, satu kodi cuma dua puluh lima ribu, lalu aku jual satuan, larisnya setengah mati…”
Ceritanya begitu mengalir. Ia membanggakan masa mudanya yang hampir tak pernah menyusahkan keluarga karena selalu bisa mencari uang sendiri untuk biaya sekolah dan biaya hidupnya.
Si pencari ikan petho tak kalah sangar, dengan bekal sewadah petho yang ia bawa, ia menceritakan bagaimana susahnya berjibaku bertarung melawan tantangan hidup yang semakin hari semakin tak masuk akal saja.
“Pekerjaanku tiap hari cuma main di sungai, seperti anak kecil, kekeceh, mainan air terus,” ujarnya sambil membetulkan topi bergambar logo Badan Pusat Statistik yang entah ia dapat dari mana.
“Cari ikan petho sekarang hasilnya nggak pasti…”
“Lha memangnya dulu hasilnya pasti?” Sahut si lelaki berpotongan Broery.
“ya dulu juga nggak pasti, Pak, tapi dulu kebanyakan hasilnya banyak.”
“Lha ini buktinya kamu sekarang dapat sekeranjang penuh”
“Dulu bisa sampai dua keranjang, Pak…”
Saya kemudian menengok wadah yang penuh dengan ikan petho yang ditaruh di bawah kursi di samping depan. Ingatan saya kemudian terlempar ke masa lalu. Bagi saya, petho adalah ikan yang tak pernah asing.
Dulu keluarga saya pernah menjadi pembuat dan pemasok peyek petho. Merek peyek buatan kami adalah Sami Remen. Peyek tersebut kami pasok di warung-warung sekitar rumah.
Saya sering diajak bapak untuk berkeliling untuk mencari petho. Dari sungai satu ke sungai yang lain, dari persawahan yang satu ke persawahan yang lain.
Menjaring, mengirig, menyeser, atau apalah itu istilahnya pernah menjadi aktivitas yang begitu saya sukai. Pulang sekolah, menunggu sore, kemudian siap “berpetualang” mencari ikan petho. Saya suka aktivitas tersebut, sebab selalu terbit kejutan dalam setiap seseran jaring yang diarahkan ke sungai.
Terkadang, bukan hanya ikan petho yang ikut terjaring, tapi juga ikan wader atau ikan sepat. Tapi pernah juga ular lareangon.
Si lelaki penjual gelanglah yang paling menarik minat saya. Bukan semata produk gelang yang ia jajakan, namun juga cerita tentang bagaimana ia membuat gelang tersebut.
Gelang tolak bala atau gelang sambetan yang ia jual adalah berupa gelang yang isinya berupa empon-empon seperti dlingo, bengle, padi, kayu angin, dll. Dulu orang-orang tua menggunakan empon-empon ini untuk melindungi bayi dari sawan atau bala.
“Hari ini saya bawa 400, sekarang tinggal 75,” katanya mantap sambil sumringah.
“Wah, mantep, dong” balas Broery KW 2.
“Ini saya bikin sendiri lho, Pak. Dibantu sama istri. Saya nglembur smapai jam tiga pagi, setelah itu tidur sebentar, terus pagi-pagi langsung berangkat keliling…”
Saya selalu takjub mendengar cerita-cerita tentang perjuangan menyambung hidup seperti ini. Selalu timbul harapan-harapan kecil, kebahagiaan, dan rasa syukur dari setiap kisah-kisah tersebut.
Saya kemudian merasa begitu kecil di hadapan lelaki-lelaki di samping saya ini. Perjuangan mereka nyata. Sedangkan perjuangan saya, terlalu kecil. Saya lelaki pemalas yang beruntung karena bisa mendapatkan uang dari menulis.
Mendengar cerita tiga lelaki tentang perjuangan hidup mereka, saya merasa betapa Tuhan sangat welas asih pada saya.
Saya kemudian reflek membuka tas saya, saya intip isinya. Tampak di sana satu amplop kecil berwarna putih. Isinya honor saya mengisi seminar menulis. Nilainya lumayan. Padahal saya hanya ngomong tak sampai dua jam. Saya pun tak yakin apa yang sampaikan itu ada manfaatnya atau tidak. Yang saya tahu, saya dibayar terlalu tinggi untuk banyak pekerjaan-pekerjaan saya.
“Hidup itu isinya memang cuma syukur, syukur, dan syukur,” kata kernet membuyarkan perenungan saya. “Lha aku ini sudah sepuluh tahun, kerjaannya ya cuma gelantungan terus. Intinya disyukuri saja…” ujarnya.
“Wah, mantep itu. Ditelateni saja, bentar lagi ngalahin tarzan…” timpal Broery.
Bis terus melaju dengan kecepatan yang menyenangkan. Angin yang menerpa tubuh saya melalui pintu belakang begitu menyejukkan saya yang sejak tadi kepanasan terbakar matahari Semarang.
“Nah, itu, Dek, kalau pengin cabut gigi, di situ, dijamin cepat dan gratis,” kata Kernet pada saya seraya menunjuk Markas Brimob Polda Jateng.
Saya tertawa terbahak-bahak. Tak berselang lama, saya kemudian tertidur.