MOJOK.CO – Resolusi 2019 pakai borgol yang diinginkan KPK itu mulai terwujud. Padahal, memakaikan borgol ke tangan koruptor itu justru melanggar HAM.
Tahun baru identik dengan yang namanya resolusi. Nah, kalau punya resolusi 2019 pingin lulus kuliah, punya pacar, pindah kerja, nikah, punya anak, pingin diet, dan lain sebagainya itu biasa saja, kamu kudu dengar resolusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk tahun 2019 ini, resolusi KPK adalah mengenakan borgol di pergelangan tangan yang mulus milik koruptor.
Selama ini, KPK hanya memakaikan rompi oranye kepada koruptor yang tertangkap. Kalau boleh usul, lebih baik selain borgol, KPK juga mengganti warna rompi oranye yang dikenakan koruptor. Mengapa? Rompi oranye itu sudah identik dengan tukang sapu jalan. Sebuah profesi yang jauh lebih mulia ketimbang wakil rakyat dan penjahat korupsi.
Tukang sapu jalan bangun dini hari untuk membuat jalanan bersih. Supaya kamu-kamu semua bisa berangkat kuliah atau kerja dengan nyaman, tidak terganggu sampah. Nah, kalau koruptor, dengan rompi oranye, malah menambah jumlah sampah di jalanan. Sampah masyarakat.
Nah, kembali ke soal borgol.
Viva Yoga Mauladi, Waketum PAN, setuju dengan resolusi 2019 milik KPK ini. Beliau mengungkapkan bahwa borgol itu akan memberi efek jera. “PAN setuju untuk itu. Kalau memang usulan KPK untuk menimbulkan efek jera sehingga membuat pejabat takut korupsi. Mungkin KPK juga punya pertimbangan khusus,” ungkap Viva seperti dilansir oleh Detik.
Saya sendiri tidak setuju dengan pendapat Viva. Borgol kan hanya dikenakan, misalnya, dari mobil tahanan menuju gedung KPK, atau ketika koruptor “diajak untuk dipamerkan” ketemu wartawan. Jadi, intinya, borgol hanya sementara saja dikenakan. Apa ya ketika sudah masuk sel tetap pakai borgol. Kan enggak. Susah kalau mau cebok.
Dan, yang paling bikin saya prihatin adalah, resolusi 2019 pakai borgol di pergelangan koruptor itu melanggar HAM. Sebentar, aktivis HAM lucu jangan ngegas dulu. HAM ini bukan kependekan dari Hak Asasi Manusia. HAM yang saya maksud adalah Hak Asasi Maling (duit rakyat yang biasanya dapat masa hukuman terlalu pendek). Nah, itu sudah.
Lantas, mengapa borgol di pergelangan koruptor bisa melanggar HAM?
1. Borgol itu bikin koruptor nggak bisa pose seru di depan kamera wartawan.
Masih ingat ketika KPK “membedol desa” DPRD Malang? Ada 41 koruptor yang diciduk. Itu sudah seperti panen udang di tambak. Sekali garuk dapat banyak.
Para koruptor yang tertangkap itu justru girang bukan main ketika tahu wartawan membidikkan kameranya. Coba kalau dibidikkan itu moncong M416 untuk hukuman mati, apa mereka masih berani menunjukkan sikap girang.
Nah, sikap girang itu diekspresikan dengan berbagai pose. Dari pose jempol, pose dua jari membentuk simbol “peace”, pose jari metal, hingga dadah-dadah manja ke mulut kamera. Coba bayangkan, ketika borgol melingkar di pergelangan tangan, para koruptor akan sulit membuat pose girang.
Kalau mau pose metal atau dadah-dadah manja, kudu angkat dua tangan. Ini sangat tidak efisien. Bahkan bisa bikin pergelangan tangan koruptor yang mulus-mulus itu tergores dan luka oleh besi borgol yang dingin seperti luka di hati masyarakat yang terluka karena duitnya diciak koruptor.
2. Resolusi 2019 pakai borgol itu bikin suasana hati koruptor menjadi gloomy.
Resolusi 2019 pakai borgol adalah simbol kesedihan. Biasanya, mereka yang diborgol, akan menjadi sangat sedih. Malu, karena sudah bersalah, masih dipakaikan belenggu untuk menegaskan status mereka sebagai pesakitan.
Nah, karena koruptor memang pada dasarnya nggak punya malu, borgol digunakan sebagai “efek jera”. Dan nampaknya sedikit berhasil. Ketika Cecep Sobandi, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur, digelandang KPK, wajahnya begitu murung. Ia menundukkan kepala sebagai tanda bersedih…karena tertangkap. Suasana menjadi gloomy. Suram.
Tidak ada yang suka dengan suasana suram. Kembalikan lagi wajah-wajah tak tahu malu, cengengesan di depan kamera. Kami butuh hiburan itu. Kami butuh bahan untuk dicela dan dipisuhi. Borgol itu bikin kami (sebetulnya enggak) sedikit bersimpati kepada maling.
3. Borgol itu menyamakan status koruptor, sama seperti maling sapi.
Maling sapi, ketika tertangkap dan dipamerkan di depan wartawan, akan diborgol. Beberapa mungkin dikenakan penutup mata atau kepala. Nah, resolusi 2019 pakai borgol justru menurunkan status koruptor seperti maling sapi. Padahal seharusnya, status koruptor lebih hina ketimbang maling sapi.
Lha mau bagaimana, maling sapi, atau delik pencurian, paling tidak kena lima atau tujuh tahun penjara. Koruptor? Kena lima tahun pun sudah sangat lama. Banyak yang cuma kena hukuman dua hingga tiga tahun saja.
Supaya berbeda dengan maling sapi, KPK jangan pakai borgol. Mungkin KPK bisa mempertimbangkan mengenakan ular kobra sekalian dilingkarkan di pergelangan tangan koruptor. Jadi, nggak hanya gloomy saja, tapi bikin girap-girap ketakutan sekalian.