MOJOK.CO – Jogja darurat klitih itu milik kita bersama. Ada andil saya, kamu, kita bersama ketika gagal mencegah anak-anak muda terperosok ke dalam geng atau pergaulan yang salah.
Sudah lebih dari dua bulan saya menggerutu lewat Twitter. Klitih masih dan semakin ramai, tetapi respons polisi terasa begitu lambat. Ketika semakin banyak korban, para penegak hukum itu menggelar patrol, yang mana jadwalnya disebarkan lewat media sosial.
Awalnya saya mau berbaik sangka. Mungkin saja, para pelaku klitih itu buta huruf dan nggak main media sosial. Mungkin, mereka adalah sekelompok anak muda, nggak lulus Taman Kanak-Kanak dan belum khatam mengenali huruf, apalagi membaca. Tentu saja, pengumuman jam patroli itu tidak akan terbaca. Wah, cerdas sekali, Pak dan Ibu Polisi.
Tapi, kok, klitih masih saja terjadi dan banyak pelakunya lolos? Wah, jangan-jangan mereka ikut kejar paket C dan jadi jago membaca. Bahkan mereka main media sosial. Sudah kenal Instagram dan Twitter. Wah, apakah Pak dan Bu Polisi kecolongan? Untuk kesekian kalinya? Wah, wis biasa….
Selasa (04/02), tagar Jogja Darurat Klitih menjadi trending topic di Twitter. Kata klitih sendiri menjadi trending di Google pada Selasa siang. Tentu saja ini baik. Artinya, akan lebih banyak orang yang aware dengan betapa Jogja di malam hari menjadi begitu berbahaya.
Sayang, kata klitih menjadi bahan pembicaraan hanya setelah salah satu anggota ojek online yang jadi korban. Kenapa kata itu tidak menjadi bahan pembicaraan orang banyak sejak dua tahun yang lalu. Jangan salah, klitih tidak hanya marak di satu atau dua bulan terakhir saja. Kata “klitih” sudah kehilangan makna sebenarnya dan kini menjadi sebuah istilah yang menyeramkan.
Kenapa klitih? Apa sebabnya orang menjadi pelaku kekerasan secara random ini?
Soeprapto, sosiolog dari UGM memandang klitih disebabkan oleh peristiwa tawuran anak sekolah. “Kenakalan atau tawuran remaja pada masa lalu tidak seberani ini. Anak-anak dulu hanya adu mulut, paling-paling pukul-pukulan dengan tangan kosong,” kata Soeprapto.
Pernyataan Soeprapto tidak sepenuhnya salah, hanya kurang komplet. Kalau anak-anak dulu hanya adu mulut, teman saya masih akan hidup sampai saat ini. Kenyataannya, dada sebelah kanannya robek hingga sampai perut karena tusukan pisau besar. Pisau itu ditusukkan ke dada lalu diseret ke arah perut.
Kalau anak-anak zaman dulu cuma adu mulut, mungkin teman saya lainnya sudah jadi pemain basket profesional. Kenyataannya, leher teman saya bolong karena panah ketika ikut tawuran. Kalau tidak salah hitung, teman saya, yang kebanyakan berbeda sekolah, ada 5 orang yang mati karena tawuran. Tentu saja bukan adu mulut saja. Mereka adu senjata tajam.
Satu hal lain yang perlu dipahami oleh Pak Soeprapto adalah penyebab klitih ini sangat kompleks. Pak Prapto, adik saya adalah pelaku klitih. Dia sudah lulus SMA ketika menjadi pelaku. Dia tidak punya dendam dengan korban. Adik saya cuma kehilangan akal sehat karena minuman keras.
Random saja. Ketika kepalanya sudah ringan karena alcohol, secara spontan dia lari ke arah rumah dan mengambil sebilah katana. Ketika kembali ke jalan, dia seolah-olah melihat orang lain seperti mantan musuhnya. Tanpa pikir panjang, dia mengayunkan katana ke arah si korban. Kepala korban sobek dari sisi kanan melintang ke kiri bawah.
Alhamdulillah, lokasi kejadian dekat dengan Rumah Sakit PKU. Korban segera dilarikan ke rumah sakit dan selamat.
Yang ingin saya katakana adalah penyebab klitih di Jogja tidak hanya satu. Kasus baru-baru ini konon disebabkan sebuah “acara seleksi” sebelum diterima sebuah geng. Orang yang ingin menjadi anggota sebuah geng, harus berani melukai 5 hingga 10 orang. Random. Kalau sampai dipenjara, si pelaku malah seperti dapat golden ticket untuk diterima geng tersebut.
Perlu Pak Prapro ketahui, penjara pun bukan solusi. Lha gimana, di penjara, adik saya malah dapat lebih banyak teman. Malah mendapat “status khusus” karena berani melukai orang. Sekeluar dari penjara, badan adik saya malah lebih berotot. Lha wong “di dalam” dia dapat ruang khusus buat fitness dari inmates lainnya. Dia malah dapat respect. Satu kata yang maknanya sangat besar di jalanan.
Bagi pelaku, situasi ini malah bikin mereka bangga setengah mati. Bagaimana keluarga bisa menyadarkan dan meredam agresivitas adik saya? Cuma satu: pendekatan hati ke hati. Adik saya diajak duduk oleh keluarga besar. Diajak ngobrol, tetapi bukan dihakimi. Dibina, bukan dipenjara.
Pak dan Bu Polisi, sedikit banyak saya memahami psikologi warga. Lha wong di kampung saya, obrolan untuk membasmi klitih dengan tangan sendiri sudah marak terdengar. Ini bahaya, lho. Ketika warga turun ke jalan dan main hakim sendiri, siapa yang akan bertanggung jawab ketika pelaku klitih sampai dibakar orang banyak?
Main hakim sendiri tentu bukan aksi bijak. Namun, siapa yang bisa meredam kemarahan warga selain sikap aktif polisi? Patroli memang baik untuk dilakukan. Namun, jangan hanya berhenti di patroli saja. Pendekatan secara intens ke kampung justru lebih krusial. Dekati warga, kalau perlu per-RT, per rumah tangga, supaya kreativitas anak-anak muda tidak diserap oleh geng atau pergaulan yang salah.
Jogja darurat klitih ini milik kita bersama. Toh kita juga yang membiarkan bahaya klitih ini membesar. Ada andil saya, kamu, kita bersama ketika gagal mencegah anak-anak muda terperosok ke dalam geng atau pergaulan yang salah. Oh, saya pernah merasakannya dan saya jeri dibuatnya.
Katanya, Jogja terbuat dari pulang, rindu, dan angkringan. Nampaknya, kini Jogja juga terbuat dari pulang, rindu, angkringan, UMR rendah, dan klitih kimcil-kimcil nggak jelas. Sebuah kenyataan yang tidak hanya bikin sedih, tapi geram setengah mati.
BACA JUGA Bicara Klitih di Yogyakarta dari Mantan Pelakunya atau tulisan Yamadipati Seno lainnya.