MOJOK – Hasil imbang Argentina vs Islandia sangat merugikan tim unggulan, Argentina. Hasil imbang serasa kekalahan, apalagi untuk Messi yang gagal ambil penalti.
Sorotan utama laga Argentina vs Islandia tentu saja soal respons Lionel Messi setelah melihat Cristiano Ronaldo mencetak tiga gol. Setidaknya itulah yang diharapkan banyak awak media demi konten yang viral. Namun setidaknya, laga Argentina vs Islandia memang menunjukkan kelemahan masing-masing, seperti yang dianalisis oleh tim Mojok Institute.
Argentina mencoba untuk tidak tergantung dengan keberadaan Messi, sedangkan Islandia tengah berjuang mengatasi “gembok besi” bernama meladeni tim besar.
Di atas lapangan, Argentina seperti memberi petunjuk kepada Prancis bagaimana caranya memaksimalkan striker berpostur kecil ketika bermain dengan skema dasar 4-3-3 atau 4-2-3-1. Sepanjang babak pertama, dua bek sayap Argentina sangat rajin membantu serangan, menyediakan width untuk opsi progresi.
Dengan begitu, gelandang-gelandang serang Albiceleste bisa masuk mendekati kotak penalti. Bermain lebih rapat, pemain-pemain Argentina bisa bermain umpan pendek di depan kotak penalti, bahkan ketika situasi sangat padat karena Islandia menumpuk pemainnya. Ingat aturan dasar progresi serangan: “Jika ingin menguasai sisi lapangan, kuasai lini tengah. sebaliknya, jika ingin mengeksploitasi lini tengah, kuasai sisi lapangan.”
Hasilnya adalah gol Aguero yang memanfaatkan tendangan (umpan?) silang mendatar dari Nicolas Tagliafico, bek kiri Argentina. Tagliafico bisa nyamana melepas tendangan silang lantaran sadar jika ditekan lawan, ia bisa dengan cepat mensirkulasikan bola ke tengah atau sisi lapangan. Angel Di Maria siap menerima umpan di sisi lapangan. Menguasai lapangan tengah memudahkan Argentina untuk berprogres.
Perlu dicatat bahwa gol Aguero merupakan gol pertama Argentina setelah 578 hari di mana gol yang terjadi tidak dibuat oleh seorang Messi.
Ada satu periode di babak pertama di mana Argentina menunjukkan cara bermain yang rapi dan enak dilihat, yaitu antara menit 35 hingga 42. Lionel Messi, yang diposisikan di belakang Sergio Aguero justru banyak turun sangat dalam, berdekatan dengan Javier Mascherano dan Lucas Biglia. Tujuan pergerakan Messi adalah memastikan progres fase pertama (dari kiper kepada bek, ke gelandang) berjalan lancar.
Dengan begitu, Argentina tidak mudah kehilangan penguasaan bola. Sementara itu, Maximiliano Meza, debutan Argentina dan Di Maria banyak berdiri di ruang halfspace di dua sisi lapangan. Keduanya menjadi jembatan dari pergerakan Messi apabila ingin mensirkulasikan bola ke dua bek sayap yang naik menyerang.
Dengan progres seperti ini, Argentina cukup mudah untuk masuk ke kotak penalti Islandia. Hanya memang, sayangnya, di dalam periode nyaman ini, skuat asuhan Jorge Sampaoli tidak bisa menambah gol.
Laga Argentina vs Islandia ini juga menjadi bukti bahwa lini pertahanan Argentina memang menjadi kelemahan. Baik komposisi maupun cara bertahan Argentina sangat jauh dari memuaskan. Sebuah aspek yang bisa mengganjal niat Argentina kembali melaju hingga babak final. Babak pertama, berakhir dengan sama kuat, 1-1.
Untuk babak kedua, sadar bahwa hasil imbang sudah patut disyukuri, Islandia bermain lebih rapat, terutama di depan kotak penalti. Sebaliknya, Argentina justru kehilangan koordinasi seperti di paruh akhir babak pertama, di mana mereka begitu mudah masuk ke kotak penalti.
Pergantian pemain yang dilakukan Jorge Sampaoli pun terasa janggal. Ketika memburu gol, pelatih plontos tersebut justru mengganti Biglia dengan Ever Banega. Keberadaan Banega dan Mascherano yang mirip tentu sebuah pemborosan ketika Argentina membutuhkan tambahan pemain di dalam kotak penalti.
Saking buruknya performa Argentina di babak kedua, Lionel Messi pun gagal mengeksekusi penalti. Hasil imbang ini sangat merugikan Argentina. Dua lawan selanjutnya adalah Kroasia dan Nigeria. Kroasia jelas lebih menyebalkan ketimbang Islandia dan Nigeria pernah mengalahkan Argentina di laga uji tanding. Hasil Imbang, serasa kekalahan untuk skuat Argentina.