MOJOK.CO – Bapak Edy Rahmayadi yang tegas dan disiplin. Selamat pagi, semoga hari-hari bapak berjalan dengan baik. Sehat, bahagia, dan sehat selalu.
Begini Pak Edy Rahmayadi, hari Jumat tanggal 21 September 2018 yang lalu, untuk kesekian kali, bapak menjadi headline banyak media di Indonesia. Apalagi media yang suka membagi halamannya menjadi banyak halaman itu pak hanya untuk menyampaikan berita yang panjangnya tidak sampai 500 kata demi mencari klik pembaca, terutama di kolom olahraganya.
Pak Edy Rahmayadi. Saya sih senang saja kalau bapak masuk headline sesering mungkin. Itu artinya bapak “sudah bekerja”, atau setidaknya melakukan sesuatu hingga disorot kamera wartawan dan dituliskan menjadi sebuah berita kejar tayang. Nah, seiring kebahagiaan saya, terselip sebuah keprihatinan.
Jadi begini, Pak Edy Rahmayadi yang multi–tasking. Saat ini, bapak memegang dua jabatan penting, yaitu Ketua PSSI dan Gubernur Sumatera Utara, masih ditambah menjadi “pengayom” sebuah klub profesional yang berlaga di Liga 1 Indonesia. Beban kerja tiga jabatan ini sungguh luar biasa berat namun bapak tegas siap menjalankan ketiganya secara adil dan disiplin.
Saya memahami tingkat stres yang pasti bapak rasakan ketika berusaha bekerja sebaik mungkin. Memikul tiga jabatan sekaligus mungkin hanya bapak yang bisa. Saya sungguh salut, lho pak. Ini jujur.
Menjadi Ketua PSSI itu sangat berat. Harus total mengurus sepak bola Indonesia, dari level amatir sampai level profesional. Dari menggenjot pembinaan pemain muda, hingga prestasi tim nasional. Dari masalah profesionalitas klub, sampai masalah verifikasi stadion yang konon sungguh aneh itu. Pelik.
Menjadi Gubernur Sumatera Utara? Wah ini semakin berat kerjanya. Bapak bertanggungjawab terhadap jutaan warga Sumatera Utara. Bukan hanya mereka yang memilih bapak ketika Pilkada, tetapi semua termasuk yang tidak memilih. Hajat hidup orang banyak bergantung kepada kerja keras dan fokus bapak.
Pengayom PSMS Medan? Wah ini juga berat pak. Dari mengurus kesejahteraan klub itu sendiri, sampai berurusan dengan suporter yang ndableg dan nakal itu. Punya urusan dengan suporter itu berat, pak. Saya lho sudah merasakannya secara langsung. Jadi saya sungguh relate dengan beban bapak sebagai pengayom PSMS, which is salah satu klub bersejarah di Indonesia.
Jadi ketika bapak menampar seorang suporter, saya merasa tergugah. Perasaan saya seperti terwakili karena terkadang suporter itu perlu untuk ditegasi. Tapi pak, ya jangan sampai salah sasaran begitu. Penonton yang tidak bersalah menyalakan flare kok ditampol. Kan jadinya salah sasaran.
Pun sebetulnya, pak. Mbok jangan sampai main kekerasan. Saya paham kalau Bapak Edy Rahmayadi itu punya darah tantara yang sangat kental. Saking kentalnya, bapak memperlakukan suporter seperti Tamtama Prajurit II yang baru saja masuk ke akademi tentara. Suporter orang sipil, lho pak. Jadi perlakuannya harus berbeda.
Bapak Edy Rahmayadi berkilah bahwa, “Kita semua pasti menginginkan kedisiplinan dalam setiap laga sepak bola di Indonesia.” Itu kata bapak sendiri yang bapak unggah di Instagram pribadi. Saya sih setuju sekali, pak, terutama soal kedisiplinan ini. Suporter memang membutuhkannya.
Saya juga membayangkan bapak dengan sangat disiplin menyelesaikan masalah suporter yang meninggal karena kekerasan. Kan bapak sendiri sudah berjanji. Lalu soal calo tiket itu pak. Sangat merugikan klub. PSSI sudah turun tangan? Pastinya sudah, kan pak? Saya percaya kok sama bapak.
Nah, untuk suporter sendiri, saya ingin menyampaikan masukan saya pak. Begini, pak. Suporter itu, terutama yang masih muda dan hanya ikut-ikutan, banyak mencontoh para senior yang kadang malah menunjukkan kekerasan di dalam stadion. Ya dari verbal, maupun tindakan. Sama seperti seorang anak di bawah usia 7 tahun yang lebih banyak menyerap polah orang tuanya ketimbang nasihat-nasihat yang bertolak belakang dengan polah orang tua.
Misalnya orang tua melarang anak main hape. Ehh tapi orang tuanya malah sibuk main PUBG atau Facebook-an menyebar hoaks Pemilu 2019. Ada lho pak yang seperti itu. Anak akan mencontohnya.
Kecenderungan suporter itu sama. Mereka akan mencontoh “para patron”. Oleh sebab itu, memutus kesadaran akan kekerasan sangat penting untuk segera dilakukan. Sangat urgen karena setiap musim, selalu ada korban, baik luka fisik sampai meninggal. Soal suporter meninggal Bapak Edy Rahmayadi pasti paham sekali, lah.
Cara memutus kekerasan suporter bagaimana? Ya dengan melakukan pendekatan terus-menerus. Kontinu, “para patron” membuat aksi untuk mengajak suporter generasi baru untuk mendukung secara cerdas, sehat, jauh dari kekerasan. Misalnya dengan sesering mungkin membuat acara diskusi, kumpul-kumpul ngopi bareng. Bisa dengan mendatangkan pembicara yang kompeten untuk mengajak anak muda mendukung secara kreatif.
Apalagi ketika jeda pertandingan karena libur kompetisi. Kan sangat sering itu Liga 1 disela oleh libur yang panjang. Kemarin ada Asian Games 2018, tahun depan ada Pemilu 2019. Sela-sela laga yang panjang ini bisa diisi dengan aksi positif. Jangan sampai lelah mengingatkan, dan tentu saja memberi contoh, kalau kekerasan suporter itu sudah ketinggalan zaman.
Kini saatnya adu kreasi dan mengedepankan persaudaraan. Kisruh dan dendam masa lalu, biar orang-orang lawas yang mengurusnya. Suporter muda kudu berani maju karena ujungnya klub yang akan merasakan manfaatnya. Ya manfaat positif, ya manfaat negatif. Yakin, bukan suporter yang susah, tetapi para pemain dan klub.
Nah masalahnya, Bapak Edy Rahmayadi malah menunjukkan kekerasan di depan ratusan suporter, di depan anak-anak yang datang ke stadion karena diajak bapak dan ibu mereka. Niat bapak itu baik. Tetapi caranya tidak bisa begitu. Mendisiplinkan suporter bukan seperti mengurus Tamtama yang pasti akan hormat seketika karena melihat pangkat. Mendisiplinkan suporter itu kerja seumur hidup dan butuh fokus penuh.
Bapak Edy juga masih ingat tidak soal ucapan-ucapan bapak yang nyeleneh? Ketika itu, timnas wanita Indonesia dibantai China Taipei dengan skor 4-0. Bapak menyebut:
“Dari sisi warna kulit, saya melihat justru tim kita yang seperti China. Warna kulit tim lawan lebih hitam dari kita, karena banyak berjemur, mungkin timnas perlu latihan lebih keras lagi dan dijemur seperti mereka agar lebih baik lagi permainannya,” ungkapnya sesuai dikutip tribunnews.com.
Latihan yang lebih keras itu saya setuju, tetapi tidak perlu membawa warna kulit di dalamnya. Kalau orang enggak memahami, maksud baik bapak bisa disalahartikan menjadi ucapan rasis. Itu berat lho pak sanksi sosialnya.
Latihan yang keras itu saya setuju. Tapi seyogyanya juga dibarengi dengan pembinaan sepak bola wanita dengan lebih baik. Bapak, sebagai ketua PSSI, juga harus bekerja dalam diam untuk soal pembinaan sepak bola wanita. Jangan hanya muncul ketika pertandingan saja, lalu marah-marah ketika timnas wanita kalah banyak. Di sepak bola, banyak hal itu saling berkaitan, kausalitas, ada sebab, ada akibat. Setiap peristiwa, tidak bisa berdiri sendiri.
Begitulah, Pak Edy Rahmayadi. Surat terbuka kedua saya sudah terlalu panjang. Saya takut bapak tidak ada waktu untuk membacanya. Ke depan, saya bermimpi membaca headline berita soal bapak dengan narasi yang lebih baik. Bukan kontroversi, melainkan prestasi. Horas!