MOJOK.CO – Hasil Liga Champions yang tak terduga muncul. Real Madrid menggulung Liverpool dengan skor 3-1. Gambaran betapa naifnya Liverpool.
Ada sebuah pernyataan yang “unik” terlontar setelah undian babak perempat final Liga Champions keluar. Fans Liverpool terlihat sangat bersemangat ketika mereka dipertemukan lagi dengan Real Madrid. Aura balas dendam dan performa Madrid di La Liga yang lagi jelek membuat kepercayaan diri fans naik tinggi.
Namun, apa yang terjadi? Hasil Liga Champions yang di luar dugaan terjadi. Liverpool terlihat sangat naif, sementara Real Madrid ternyata sangat pandai. Seperti ingin mematahkan prediksi dan dugaan sebelumnya bahwa anak asuh Zinedine Zidane itu akan kesulitan melawan Liverpool.
Hasil Liga Champions antara Real Madrid vs Liverpool menyajikan skor yang agak berbahaya, terutama untuk tim tandang. Sebuah skor yang sebelumnya diprediksi akan dibawa pulang oleh The Reds. Inilah yang membuat kompetisi antar-klub termahal di dunia itu menjadi sangat menarik. Tidak ada prediksi yang bakal 100 persen tepat.
Hasil Liga Champions yang tak terduga: Real Madrid 3-1 Liverpool
Sebelum laga, Jurgen Klopp menjelaskan alasannya menggunakan Naby Keita dan bukan Thiago Alcantara. Klopp ingin menggunakan pemain yang lebih jago menggiring bola dan bisa menjaga intensitas pressing di lapangan tengah. Naif sekali karena Real Madrid bermain sangat pandai.
Terutama di babak pertama, ketika Liverpool mencoba memaksa Real Madrid bermain di wilayahnya sendiri. Masalah terjadi ketika gelandang dan bek Madrid tidak ditekan secara proper. Naby Keita, Gini Wijnaldum, dan Diogo Jota gagal memberikan pressure untuk gelandang Madrid yang jago mengalirkan bola.
Maka, hasil Liga Champions yang tak terduga itu muncul. Kelemahan Liverpool terekspose secara nyata. Naif sekali. Padahal, jika ingin menekan Real Madrid, setidaknya, Jota harus turun ke lini dua seperti yang bisa dilakukan Roberto Firmino.
Ada dua bukti dari kenaifan Liverpool. Pertama, membiarkan Toni Kroos terlalu lama memegang bola. Kroos mendapat waktu untuk dua hal, yaitu mengontrol tempo dan leluasa memilih sasaran umpan. Gol pertama Vinicius berasal dari situasi ini.
Bukti kedua terlihat sangat nyata di sebelum dan sesudah Real Madrid unggul dua gol. Skuat Madrid memang terlihat “kurang meyakinkan”. Namun, para pemain yang dipakai Zidane adalah jenis pemain yang jago mengalirkan bola di tempat sempit dengan satu sentuhan untuk menghindari tekanan gelandang Liverpool.
Hasilnya adalah justru Liverpool yang tertekan, meski sempat mempersempit skor menjadi 2-1 berkat gol Mo Salah. Ketika sebuah tim bisa mengalirkan bola dengan mudah di tengah tekanan dari pemain lawan yang sebetulnya cukup ketat, tim tersebut akan dengan mudah membuat peluang.
Karena “dipaksa” lebih bertahan, dua bek sayap Liverpool tak bisa menunjukkan kelebihannya, yaitu penetrasi di wilayah lawan. Trent-Alexander Arnold boleh jago mengirim umpan silang. Namun, kelemahannya dalam situasi 1v1 dan menjaga ruang di belakangnya terekspose dengan sangat mudah.
Sebuah kondisi yang seperti menjadi jawaban dari keputusan Gareth Southgate tidak membawa Trent ke timnas Inggris di pertandingan internasional. Untuk kompetisi antar-negara, di mana tekanannya begitu berat, seorang bek sayap harus seimbang. Tidak boleh bagus di satu aspek saja. Tidak heran kalau, misalnya, Trent kalah saing dengan Kyle Walker.
Hasil Liga Champions yang tak terduga ini juga menjadi gambaran penurunan performa Klopp dan anak asuhnya secara keseluruhan musim ini. Klopp memasukkan Thiago di babak kedua demi kontrol lapangan tengah. Namun, yang terjadi adalah Madrid, merespons dengan cantik, lewat zonasi dan pergantian pemain.
Masuknya Federico Valverde membuat Real Madrid hampir selalu menang jumlah pemain di lapangan tengah. Tambahan satu gelandang juga mengizinkan Madrid bertahan lebih dalam dan merasa lebih aman. Apakah mungkin Liverpool lupa mereka tengah menghadapi tim tersukses di Liga Champions dan bukan Arsenal yang mudah dipreteli itu?
Real Madrid dan wajah sang raja
Hasil Liga Champions ini menggambarkan bagaimana sebuah tim tersukses di kompetisi merespons situasi yang tengah tidak bagus. Anak asuh Zidane ini juga tidak bermain dengan kondisi terbaik. Namun, mereka bisa beradaptasi di pertandingan yang menentukan.
Lucas Vazquez, misalnya. Dia sedang beradaptasi menjadi bek kanan setelah Dani Carvajal tak kunjung sembuh. Namun, Lucas bisa bermain cukup seimbang di pertandingan penting dan harus meladeni Jota dan Sadio Mane. Fans Madrid tentu tahu kalau Lucas sering jadi bahan olok-olok karena performanya.
Nacho, bek tengah yang baru bermain jika Sergio Ramos dan Raphael Varane absen. Nacho bukan bek tengah yang “mewah”. Namun jangan salah, Nacho sudah memenangi hampir semua piala yang tersedia. Hebatnya, dia bermain sangat stabil dan mendapat pujian dari Thibaut Courtois.
Vinicius, yang lebih dikenal sebagai “Neymar KW” dan tidak membuat gol, malah menceploskan dua langsung ke gawang Liverpool. Bahkan Vinicius sukses membuat Trent pusing lewat akselerasi dan kepercayaan dirinya untuk bertarung 1v1.
Terakhir, trio Casemiro, Kroos, dan Luka Modric yang tak lagi dianggap terbaik di Eropa, justru bermain hampir tanpa cela. Mengingatkan kita lagi bahwa trio ini yang menjadi tulang punggung keberhasilan Real Madrid memenangi Liga Champions tiga kali berturut-turut.
Real Madrid memberi penegasan inilah performa sang raja. Skuat boleh compang-camping. Performa di La Liga boleh biasa saja. Namun, di momen genting, mereka akan selalu bisa keluar dari tekanan dan mewujudkan hasil Liga Champions yang tak terduga ini.
Bagaimana dengan leg kedua di Anfield? Jika Klopp dan anak asuhnya masih naif dan gagal bermain tanpa cela, impian balas dendam atas malam nahas di Kiev tak akan terwujud. Ingat, Madrid yang “tak seimbang” masih bisa menjadi juara. Tim besar memang seperti ini.
BACA JUGA Casemiro dan Fede Valverde Seperti Lubang Hitam di Pertahanan Real Madrid dan tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.