[MOJOK.CO] “Ada transfer yang patut ditangisi, ada yang patut dirayakan.”
Pada titik tertentu, aktivitas transfer pemain justru lebih diminati ketimbang pertandingan sepak bola itu sendiri.
Mengapa? Karena sepak bola tak selesai dalam waktu 90 menit saja. Sepak bola justru disusun dari drama, kisah-kisah haru, kekecewaan, dan perpisahan, seperti yang terasa di jendela transfer Januari 2018 ini.
Pada dasarnya, jendela transfer Januari 2018 adalah sebuah konklusi dari saga transfer yang sudah berjalan selama setengah tahun lebih. Sejak musim panas tahun lalu, drama itu sudah mulai dipentaskan. Melibatkan dana tak kurang dari 200 juta paun, beberapa pemain mengucapkan selamat tinggal dengan rasa yang, masing-masing berbeda.
Philippe Coutinho
Pemain asal Brasil ini berusaha begitu keras untuk mencari pintu keluar dari Anfield. Gencarnya pendekatan dari Barcelona membuat Coutinho tak kuasa untuk menolak. Liverpool, sebagai pemilik, tentu tak mau kehilangan salah satu pemain kuncinya. Begitu keras usaha Liverpool untuk mencegah kepindahan Coutinho.
Agak sulit menyalahkan Coutinho yang ingin hijrah ke Catalonia dan bergabung dengan Barcelona. Bersama Barcelona, mantan pemain Internazionale Milano tersebut bisa merasakan manisnya gelar juara setiap tahun. Sesuatu yang sudah tak bisa dirasakan Liverpool selama 20 tahun lebih. Terkadang sulit membedakan, mana Liverpool, mana hidup selibat. Selibat juara.
Pada akhirnya, Liverpool sendiri tak kuasa mencegah transfer ini untuk terjadi ketika Barcelona menyanggupi biaya transfer senilai 100 juta paun. Pertengahan Januari ini, Barcelona sampai menyiapkan pesawat pribadi untuk menjemput Coutinho dan keluarganya.
Coutinho adalah wujud investasi yang menarik dari Barcelona. Tak hanya sebagai tambahan amunisi kelas elite, Coutinho adalah pewaris alami dari Andres Iniesta yang sudah berusia 33 tahun. Regenerasi dan rencana jangka panjang.
Coutinho meninggalkan Liverpool dengan campuran sukacita dan hati yang berat. Boleh dikata, Liverpool yang menyelamatkan kehidupan nestapa dan karier semenjana Coutinho ketika berseragam Internazionale Milano. Meninggalkan kehidupan slum di Internazionale itu hampir seperti katarsis yang membantu Coutinho lahir menjadi manusia baru.
Oleh sebab itu, setelah resmi bergabung dengan Barcelona, Coutinho menyempatkan terbang kembali ke Inggris untuk berpamitan secara resmi dengan rekan-rekannya di Liverpool. Jenis perpisahan yang pada akhirnya dimaklumi, ketika Coutinho hendak menyambut impiannya sejak belia untuk bermain bersama Barcelona.
Liverpool sendiri tak bersedih terlalu lama. Uang 100 juta paun nyatanya cocok untuk menghapus air mata. Hasil penjualan Coutinho dimanfaatkan Liverpool untuk membeli Virgil van Dijk dengan harga 70 juta paun dan membuat bek asal Belanda tersebut menjadi bek termahal di dunia. Memang, uang tak pernah salah. Apalagi kalau banyak.
Saga Alexis Sanchez, Pierre-Emerick Aubameyang, dan Arsenal
Tak jauh berbeda dengan kisah Coutinho, saga Alexis juga dipicu oleh keinginan pemain untuk hengkang dari Arsenal. Jika Coutinho hengkang untuk mengejar impian, Alexis bergabung dengan Manchester United untuk mencari tantangan. Memang, tak ada yang lebih menantang selain hengkang dari klub semi-medioker dan bergabung dengan klub-hampir-medioker lainnya.
Yang membuat saga Alexis semakin menjemukan adalah sikap tak realistis dan keras kepala dari Arsene Wenger, pelatih Arsenal. Wenger seharusnya paham bahwa Alexis selalu membawa kebiasaannya untuk segera hengkang ketika dirinya merasa sudah mentok dengan keadaan dan tak lagi menjadi pusat permainan. Mentok, tiada berbeda dengan kisah Arsenal di Liga Primer Inggris selama 10 tahun terakhir.
Sebenarnya, Arsenal bisa melepas Alexis di musim panas yang lalu ketika Manchester City menawar 60 juta paun. Namun, sambil menepuk dada rentanya, Wenger percaya diri bisa memperpanjang kontrak Alexis sembari menjalani musim 2017/2018. Kontrak Alexis bersama Arsenal sendiri memang akan paripurna di bulan Juni 2018. Jika tak diperpanjang, pemain asal Cile tersebut bisa diboyong klub lain secara gratis.
Ironisnya, di bulan Januari ini, Alexis hengkang ke United tanpa biaya transfer. Model transfer Alexis adalah pertukaran pemain. Untuk Arsenal, pihak United memberikan Henrikh Mkhitaryan. Sementara itu, sebagai usaha mengisi lini depan dan mencari penggati Alexis, Arsenal melakukan pendekatan dengan Pierre-Emerick Aubameyang, striker Borussia Dortmund.
Tak berbeda dengan Alexis, Aubameyang juga sudah berusaha keras “mendobrak” pintu keluar dari klubnya. Tak lagi merasa jenak dengan Dortmund, Aubameyang mulai bertingkah sejak musim panas yang lalu. Bahkan, saking gemasnya dengan Aubameyang, manajemen Dortmund sampai menjatuhkan sanksi kepada si pemain.
Aubameyang memang sudah memberi indikasi ingin hengkang sejak lama. Ketika Real Madrid dan sebuah klub dari Liga Cina melakukan pendekatan, manajemen Dortmund menolak melepas si pemain. Kekecewaan inilah yang menjadi sumber polah negatif dari Aubameyang.
Pemain asal Gabon ini diboyong Arsenal dengan mahar 57 juta paun, dari banderol awal senilai 65 juta paun.
Perpisahan Alexis dengan Arsenal dan Aubameyang dengan Dortmund memang sebuah perpisahan yang sudah dinantikan. Jenis perpisahan yang justru dirayakan.
Threesome Arsenal-Chelsea-Dortmund
Tak ada yang mengalahkan drama transfer yang melibatkan tiga klub ini di jendela transfer 2018. Threesome antara Arsenal, Chelsea, dan Dortmund.
Jadi begini. Masing-masing dari ketiga klub ini membutuhkan pemain baru. Arsenal butuh pengganti Alexis Sanchez, Chelsea butuh target man, dan Dortmund butuh pengganti dari pengganti Alexis. Bingung? Sebentar, saya bikin makin bingung.
Seperti yang disinggung di atas, Arsenal tertarik dengan Aubameyang, pemain Dortmund, untuk dijadikan suksesor Alexis. Dortmund, bersedia melepas Aubameyang, jika sudah mendapatkan penggantinya terlebih dahulu. Pemain yang diincar Dortmund adalah Michy Batshuayi, striker Chelsea. Sementara itu, Chelsea, siap melepas Batshuayi, jika berhasil mendapatkan Olivier Giroud, yang mana adalah pemain Arsenal. Masing-masing klub keukeuh dengan banderol harga pemain. Dan pada titik ini terjadi deadlock! Jalan buntu!
Tentunya, Arsenal enggan melepas Giroud ke Chelsea karena akan memperkuat rival secara langsung. Pihak Arsenal, pada awalnya, ingin mengirim Giroud ke Dortmund sebagai pelicin pembelian Aubameyang.
Namun, di sini, masalah terjadi. Isteri Giroud, Jennifer, tak mau pindah dari Kota London. Giroud, mau tak mau harus menurut dengan kehendak isterinya. Mengapa?
Tahun lalu, Giroud ketahuan berselingkuh dengan seorang model bernama Celia Kay. Jennifer memaafkan tingkah Giroud. Seiring kata maaf yang diberikan, Giroud tak berkutik selain menuruti keinginan Jennifer, isterinya tercinta! Ihik! Sikap ini, praktis, menyulitkan Arsenal dan mau tak mau, harus melepas Giroud ke Chelsea, yang kebetulan rival Arsenal di Kota London.
Ketika Arsenal akhirnya ikhlas melepas Giroud ke Chelsea, proses threesome yang makin menjemukan ini mulai menemukan jalan terang. Chelsea mengirim Batshuayi untuk tes medis ke Dortmund, dan Aubameyang langsung terbang ke London untuk sesi pemotretan bersama Arsenal.
Sekitar Magrib Waktu Indonesia Bagian Barat tertanggal 31 Januari 2018, saga segitiga ini usai. Aubameyang resmi ke Arsenal, Chelsea meminjamkan Batshuayi ke Dortmund, dan Giroud dibeli Chelsea dengan harga sekitar 18 juta paun.
Perpisahan Giroud dengan Arsenal sendiri terasa emosional, kesedihan mewarnai lini masa Twitter. Musim panas yang lalu, Giroud menolak pendekatan banyak klub dan memilih bersetia dengan Arsenal, meskipun paham dengan risikonya.
Kedatangan Alexandre Lacazette ke Arsenal membuat menit bermain Giroud menjadi sangat terbatas. Padahal, tahun 2018 adalah tahun Piala Dunia. Tak bermain secara rutin bisa merusak peluang Giroud berlaga di Rusia 2018 bersama timnas Prancis. Sebelum terjadi saga tiga klub ini, Giroud tak ingin meninggalkan Arsenal.
Kesetiaan inilah yang membuat kepindahannya ditangisi, berbeda dengan kepindahan Alexis yang justru dirayakan. Jenis perpisahan yang menyesakkan bagi fans Arsenal.
Drama di dalam sepak bola sudah seperti candu, yang membuat penikmatnya sulit untuk beranjak. Dan sekali lagi, pada titik tertentu, aktivitas menjual dan membeli pemain di jendela transfer justru lebih diminati ketimbang pertandingan sepak bola itu sendiri.