MOJOK.CO – Apakah para pemain senior Arsenal “berani berjuang sampai mati” seperti Manchester United angkatan 1995? Demi lambang meriam di dada dan regenerasi skuat untuk masa depan.
Terkadang, sepak bola bisa menjadi sebuah lorong misteri tersendiri. Terkadang, yang namanya “kebetulan” sebetulnya sebuah pertanda. Bagi Arsenal, kekalahan dari Aston Villa, bisa menjadi “momen kebetulan” itu jika berkaca kepada pengalaman Manchester United angkatan 1995.
Sir Alex Ferguson mempromosikan beberapa pemain muda dari akademi ke tim utama. Keputusan ini bukan tanpa alasan. Bukan sekadar mereka pemain berbakat. Angkatan 1992 Manchester United yang mentas kali pertama di 1995 sudah memberi bukti bahwa mereka punya kekuatan mental untuk menghadapi Liga Inggris.
Angkatan 1992 sudah merasakan pengalaman memenangi FA Youth Cup. Saat itu, rata-rata usia mereka adalah 18 tahun. Tiga tahun kemudian, beberapa pemain dari angkatan 92 tembus tim utama. Sir Alex, yang menonton langsung laga final FA Youth Cup, terlihat sangat percaya kepada mereka.
Manchester United, di bawah Sir Alex Ferguson, adalah sebuah tim yang selalu berani mengambil risiko. Mirip dengan awal-awal masa kepelatihan Arsene Wenger bersama Arsenal. Mereka bisa dengan mudah mendepak pemain bintang jika tidak sesuai dengan prinsip tim. Seiring dengan keberanian itu, tidak heran jika mereka, meskipun masih sangat muda, akan diberi kesempatan.
Saat itu, 19 Agustus 1995, Manchester United melawan Aston Villa dalam lanjutan Liga Inggris. Angkatan 92 yang dibawa Sir Alex ke dalam skuat adalah Gary Neville (20 tahun), Paul Scholes (20 tahun), Ryan Giggs (21, sudah lebih dulu tembus tim utama), Phil Neville (18), Nicky Butt (20), David Beckham (20), dan John O’Keane (20).
Hasilnya? Manchester United kalah dengan skor 1-3. Di balik keberanian mengambil risiko, ada harga yang memang harus diterima. Sir Alex banjir kritikan karena terlalu berani memainkan pemain muda. Salah satunya dari Alan Hansen, komentator, legenda Liverpool.
Di acara Match of the Day BBC, Alan Hansen mengucapkan sebuah kalimat yang kelak “memakan” dirinya sendiri:
“Manchester United punya masalah. Bukan masalah besar. Namun kita tahu ada tiga pemain (kunci) hengkang. Trik (bertahan di Liga Inggris) adalah ketika kamu sedang dalam posisi kuat, kamu harus berani membeli pemain. You can’t win anything with kids.”
Sebuah kegoblokan yang bikin malu Hansen di akhir musim 1995/1996.
Setelah kalah dari Aston Villa di Agustus 1995, Manchester United tidak pernah kalah sampai November 1995. Saat itu, yang mengalahkan mereka adalah Arsenal. Lucunya, di final Piala FA, United mengalahkan Liverpool, mantan tim Hansen. Sir Alex menggunakan kalimat You can’t win anything with kids untuk menjaga api di tungku determinasi anak-anak muda angkatan 92 tetap membara.
Toko cinderamata Manchester United bahkan mencetak kalimat You can’t win anything with kids di kaos yang dijual. Fans United memborong beberapa kaos untuk dikirimkan ke Hansen sebagai bentuk olok-olok. Yah, karma is a bitch.
Sebelum jeda internasional, Arsenal kalah dari Aston Villa dengan skor 0-3. Berbeda dengan Manchester United, Arsenal dan Mikel Arteta terlihat sangat takut memberi kesempatan kepada pemain muda. Ironisnya, beberapa pemain muda yang tidak mendapat kesempatan ini bermain lebih menjanjikan ketimbang mereka yang senior.
Joe Willock, misalnya, tampil sangat baik ketika Arsenal bermain di Europa League. Kualitas Willock dibutuhkan Arsenal ketika kehabisan solusi di depan. Mungkin, saat ini, Willock adalah satu-satunya gelandang sentral Arsenal dengan kecerdasan masuk ke wilayah berbahaya lawan tanpa diduga.
Di lini belakang, William Saliba memang belum stabil dari sisi mental. Namun, jika tidak kunjung dicoba di Liga Inggris, kita tidak akan pernah tahu kesiapannya sampai mana. Risikonya memang besar. Namun, saat ini, mungkin sudah saatnya Arsenal mengambil risiko itu ketimbang mencoba “bermain aman” tetapi hasilnya tetap negatif.
Di sisi lapangan, ketika tidak cedera, Reiss Nelson perlu mendapat menit bermain sebanyak mungkin. Potensi Nelson, bisa dibilang tidak kalah dengan Bukayo Saka. Saya rasa, Nelson cuma sial saja karena di sisi kanan ada Willian dan Nicolas Pepe. Kesialan yang bisa dihilangkan oleh keputusan berani dari Mikel Arteta.
Sama seperti Willock, Nelson juga bermain baik ketika tampil di Europa League. Pepe memang menegaskan bahwa dia ingin bermain secara reguler di sisi kanan. Namun, kita tahu, meski catatan statistiknya cukup bagus, Pepe belum sampai di level terbaik seperti ketika bermain di Liga Prancis.
Sudah waktunya Arsenal berani mengambil risiko dengan menurunkan para pemain muda. Dengan pendekatan yang tepat, mereka justru punya determinasi yang lebih besar untuk tampil baik. Mereka sadar bahwa untuk masuk tim utama, kerja keras saja tidak cukup. Mereka sadar harus memberi “hasil nyata”.
United menjaga anak-anak muda mereka dengan keberadaan pemain senior. Ada Peter Schmeichel, Steve Bruce, Gary Pallister, dan Eric Cantona. Pemain senior dengan mental baja dan keberanian untuk berkelahi demi melindungi juniornya.
Ini juga tamparan untuk pemain senior Arsenal seperti David Luiz, Alex Lacazette, dan Aubameyang. Mereka harus bisa menjadi tulang punggung, menjadi bangunan yang kokoh bagi anak-anak muda. Pada akhirnya, ini soal keberanian. Mereka yang berani mengambil risiko, akan mendapatkan ganjaran terbesar.
Salah satu pelajaran penting yang diterima Tupac, rapper legendaris dari Amerika Serikat adalah nasihat ibunya sendiri. Pelajaran itu berbunyi: “My mama always used to tell me: ‘If you can’t find somethin’ to live for, you best find somethin’ to die for.”
Apakah para pemain senior Arsenal “berani berjuang sampai mati”? Demi lambang meriam di dada dan regenerasi skuat untuk masa depan.
BACA JUGA Fans Arsenal Tak Bisa Bedakan Kritik dan Kebodohan: Blunder Arteta dan Lamunan Jorok Shkodran Mustafi atau tulisan lainnya dari Yamadipati Seno.