MOJOK.CO – Pengalaman Yulianti Kurnianingsih, Warga Negara Indonesia yang tinggal di Napoli, saat virus corona lagi ganas-ganasnya menghajar Italia.
Sebelum saya menulis ini, saya mendapat banyak notifikasi pesan Whatsapp dan Facebook Messenger dari teman dan sanak keluarga di Indonesia. Maklum, sebagai orang Indonesia yang tinggal di Napoli, Italia, banyak kerabat yang mengkhawatirkan kondisi saya dan keluarga saya di sini.
Terutama setelah teman dan keluarga saya mendengar berita mengenai di-lockdown-nya seluruh warga Italia karena wabah pandemik virus corona. Itulah kenapa isi dari pesan yang masuk ke hape saya kebanyakan menyiratkan kepanikan.
Bahkan, pesan yang sampai justru memperlihatkan kalau mereka terdengar lebih panik daripada saya.
“Eh, kamu sudah timbun beras belom? Indomie (iya, di Italia ada yang jual Indomie juga), telor, kornet, keju, takut aku lho kamu kelaparan di sana,” atau pesan dari ibu saya yang terdengar lucu tapi nelangsa, “Walah, Teh, kamu anak perempuan Mama, diboyong bule ke sana bukannya hidup senang, sekarang gara-gara virus corona kamu terpenjara di sana.”
Saya yang ngebacanya pun miris. Sesedih itu kah anggapannya kalau sudah baca dan denger kata-kata “lockdown” atau “red zones”?
Oke baiklah. Sekalian biar keluarga dan kerabat saya di Indonesia bisa agak santuy. Saya katakan aja sekalian kalau saya baik-baik saja di Italia. Masih bisa masak dan makan makanan kegemaran macam pizza dicampur nasi dan masih bisa bermesra-mesraan di rumah.
Pada intinya, sebagai warga negara yang baik saya paham bahwa tujuan dari tindakan preventif Pemerintah Italia ini bagus. Apalagi dalam memberantas virus corona supaya tidak menyebar dan membuat kasus baru dan kematian meningkat.
Mengingat di Italia, kasus kematian virus corona (sampai saya menulis ini) sudah mencapai 463 kasus dengan jumlah total kasus 9.172. Wuiih, bukan jumlah yang kaleng-kaleng. Soalnya, angka itu sudah menunjukkan kalau Italia jadi negara Eropa paling terdampak dari virus corona.
Kalau dipikir-pikir, seram juga sih melihat angka kematian yang tinggi yang menempatkan Italia jadi negara paling parah kena dampak corona setelah Cina.
Akhirnya, semalam sebelum saya menulis ini, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte memberlakukan lockdown Italia secara menyeluruh ke setiap sudut penjuru negeri. Kebijakan-kebijakan baru di antaranya, semua sekolah dan universitas tutup sampai 3 April. Cuti bersama untuk sementara. Aseeek, libur.
Praktis aktivitas di luar rumah juga benar-benar dibatasi sampai ke tahap ekstrem. Bahkan untuk bekerja sekalipun, sebagian besar kantor di Italia mengimbau pegawainya untuk smart working saja. Artinya kerja di rumah gitu, dengan menggunakan koneksi internet atau telepon untuk berkomunikasi.
Kegiatan yang biasanya melibatkan jumlah massa yang banyak seperti nikahan, pemakaman, atau beribadah—bahkan ke gereja sekalipun—tidak diperbolehkan. Jadi yang mau nikah, sampai mau bikin acara pemakaman harus pending dulu ya sampai batas waktu yang ditentukan.
Ini beneran.
Pemakaman tidak bisa dilakukan dalam waktu ini karena ya namanya pemakaman pasti kan ramai dengan orang. Rasanya jadi menyedihkan gitu membayangkannya.
Efek yang lebih parah tentu bagi dua sejoli yang sudah mau menikah. Harus cancel reservasi gedung dan jasa katering. Runyam sekali. Benar-benar tak disangka, virus ini ternyata sampai mengancam hubungan dua sejoli yang mau rabi. Oalah, dasar virus corona bedebah.
Meski begitu, penduduk yang mau pergi dengan alasan kesehatan dan belanja kebutuhan sehari-hari saja sih masih diperbolehkan. Selain itu? Dilarang keras.
Jadi nggak ada ceritanya mau pergi ke rumah gebetan dan dugem-dugem pas malam minggu. Nggak bakalan ada. Atau mau kongkow-kongkow sebagai anak senja untuk menikmati secangkir espresso tapi nongkrongnya bisa tiga jam. Hm, nggak bisa dulu ya Antonio, Mario, Francesco!
Kalau banyak yang masih bandel keluyuran kayak gini, siap-siap aja ditanya polisi apa tujuannya keluar. Karena memang sebelum peraturan ditetapkan, polisi Italia udah banyak yang keluyuran patroli. Jadi ketika aturan ini diterapkan, warga Italia udah biasa melihat polisi berseliweran di jalanan.
Ada banyak aturan-aturan yang mungkin terdengar aneh bagi orang Indonesia. Seperti tidak boleh lama stay di kafe dan dibatasi hanya 10 menit saja, atau jarak antar-orang pun diimbaui jangan sampai kurang dari satu meter.
Sekarang kamu bayangkan bagaimana biasanya saya melihat bar, kafe dan restoran pada akhir pekan sangat penuh sesak dengan orang, sedangkan sekarang lengang dan sepi. Ya ini wajar sih. Soalnya kalau sampai aturan ini tidak diindahkan, polisi Italia tak segan-segan untuk menutup tempat itu. Nggak ada nego-negoan.
Peraturan ini memang terdengar sangat ekstrem dan membuat kesal banyak orang Italia. Apalagi pemilik usaha yang omsetnya turun dengan regulasi ini. Banyak juga sih yang komplain. Nyerocos protes ke pemerintah yang dianggap lebay. Apalagi mengingat, angka kematiannya pun masih di bawah 5 persen.
Namun menurut pendapat saya sebagai orang awam yang lumayan pernah mengenyam pendidikan Global Health, saya jadi sedikit tahu kenapa pemerintah membuat peraturan ini.
Bahkan, sejujurnya saya pun mendukung penuh cara-cara pemerintah di sini untuk mengistirahatkan penduduknya sementara. Soalnya, kalau bukan begini caranya, percaya lah angka terdampak corona akan semakin meningkat di Italia.
Contohnya? Oke, saya ilustrasikan seperti ini saja. Mayoritas muda-mudi di Italia bakalan tetap keluyuran ke rumah jika tidak ada imbauan untuk stay di rumah. Mereka ini sebenarnya nggak peduli-peduli amat sama corona walau angka kematian di Italia cukup tinggi.
Selain karena ada banyak kaum rebahan di Italia juga, pasti ada aja golongan muda-mudi yang ikut aliran “social life is my world’. Nah menurut Conte (bukan nama pelatih ya, tapi Perdana Menteri Italia), gaya hidup seperti ini mesti dikontrol dan dibatasi pada masa genting pemberantasan corona ini.
Soalnya, seperti yang kamu juga udah tahu, virus ini paling cepat menular kalau lewat droplets atau cairan tubuh. Sekarang bayangkan kalau seorang pemuda habis dugem dan tertular virus tersebut karena sibuk “cipika-cipiki” sama temannya, lalu membawa virus itu ke rumah. Bukan tidak mungkin seisi rumah, dari mamah, papah, nenek, kakek, adek pun ikut bakal kena juga.
Makanya, saya setuju banget kalau aksi pencegahan yang dilakukan oleh Pemerintah Italia ini patut dicontoh di beberapa negara, khususnya Indonesia yang penduduknya di atas 250 juta.
Lagian, bukannya saya mau mendoakan yang buruk-buruk untuk negeri asli saya, sampai sekarang saya dan teman-teman Italia saya masih suka bertanya-tanya, masak iya sih di Indonesia baru ada puluhan orang yang terdeteksi positif corona?
Oleh sebab itu, saya pikir Pemerintah Indonesia bisa sih menerapkan cara-cara lumayan ekstrem kayak Pemerintah Italia ini, terutama untuk beberapa kota yang cukup padat penduduknya.
Dan buat kamu, saya pikir nggak perlu ngomel-ngomel pula kalau aturan itu akhirnya nanti mulai diterapkan. Toh lumayan juga, waktu-waktu “karantina” itu bisa kok dihabiskan untuk kegiatan positif yang tepat guna. Kayak maraton nonton drama korea yang tertunda misalnya.
BACA JUGA Yang Membunuh Kita Bukan Corona Virus, tapi… atau tulisan ESAI lainnya.