Beberapa tahun terakhir istilah street food tak jarang hinggap di telinga kita. Street food atau yang sebelumnya dikenal dengan pedagang kaki lima merupakan destinasi wisata kuliner yang bertempat di pinggir jalan.
Sebenarnya keberadaan street food ini menguntungkan baik bagi pedagang maupun pembeli. Street food mempermudah pedagang dan pembeli untuk bertemu di suatu kawasan. Pedagang mempunyai tempat untuk berjualan dan pembeli memiliki beragam pilihan makanan berjejer untuk dibeli. Namun, keberadaan street food sendiri masih sering diperdebatkan. Banyak ditemui street food yang menempati kawasan tanpa perizinan yang semestinya, seperti menempati trotoar dan bahu jalan sehingga mengacaukan tata ruang dan wilayah kota.
Street food tak dapat dipisahkan dari makanan dan minuman. Di Indonesia tak jarang kita mendengar istilah makanan atau minuman musiman. Masyarakat menilai makanan atau minuman musiman itu sebagai makanan dan minuman viral yang baru muncul diikuti dengan munculnya pedagang baru secara serentak yang sama-sama menjual produk tersebut kemudian meredup dan hilang dengan sendirinya. Es kepal milo, es krim pot, capucino cincau, garlic bread, dan kentang tornado merupakan beberapa contoh makanan dan minuman yang dianggap musiman dan sering kita jumpai di antara pedagang street food.
Memangnya apa yang salah dari makanan dan minuman musiman? Tidak mutlak salah memang, tetapi dinilai kurang baik bagi keberlanjutan usaha pedagang itu sendiri. Pedagang belum sempat mengembangkan usaha barunya itu karena produk tersebut terlanjur turun peminatnya dan tergantikan oleh makanan atau minuman baru yang lebih viral. Mau tidak mau pedagang tersebut mengikuti arus dengan mengganti produk dagangannya.
Tanpa disadari fenomena “musiman” hadir seiring munculnya globalisasi yang memudahkan masyarakat mengakses informasi dan ide tanpa batas. Maka, tak heran muncul seseorang yang terinspirasi dari suatu usaha di daerah lain kemudian membuka usaha tersebut di daerahnya hingga hal semacam ini dianggap sudah biasa.
Pernahkah terbesit dalam pikiran, mengapa fenomena “musiman” ini bisa terjadi? Produk street food ditawarkan dengan harga yang cenderung rendah dengan menyasar kalangan menengah ke bawah. Dengan harga yang terjangkau dan permintaan akan produk yang tinggi, tentunya pedagang produk street food yang dinilai musiman ini akan cepat mendapat untung. Meskipun begitu, harga tetap berpengaruh pada kualitas produk itu sendiri. Kebanyakan masyarakat membeli produk viral hanya untuk memuaskan rasa penasarannya dan rasa FOMO (fear of missing out). Kualitas produk yang di bawah standar dan tidak memenuhi ekspektasi masyarakat lambat laun menyebabkan permintaan akan produk tersebut menurun. Berakhir dengan pedagang yang beralih ke produk viral lain dan begitu seterusnya. Semua ini tidak lain dan tidak bukan dilatarbelakangi oleh niat pedagang yang hanya ingin untung cepat tanpa mempertimbangkan keberlanjutan usaha mereka.
Korean food merupakan salah satu contoh makanan musiman di Indonesia. Korean food telah hadir dan dikenal masyarakat Indonesia sejak beberapa tahun silam. Hal ini merupakan hasil globalisasi melalui K-Drama, K-Movie, dan K-Pop. Saat ini tak sulit mencari pedagang yang menjual Korean street food atau makanan luar negri lainnya dengan harga merakyat yang sebelumnya hanya ditemui pada resto dan café khusus. Tak heran apabila pedagang cimol, cilot, cireng, cilor, dan aci-aci lain bersandingan dengan tteokbokki, gimbab, corndog, odeng, dan permen dalgona di pinggir jalan.
Pada awal munculnya Korean street food di Indonesia antusiasme masyarakat sangat tinggi. Namun, kualitas dan keautentikan produk tidak dapat berbohong dan seakan menjadi bom waktu. Selain itu, perasaan bosan pun mulai muncul karena tidak adanya inovasi dan rasa makanan yang dinilai aslinya “ga enak-enak banget”. Ditambah muncul komplain bahwa makanan tersebut tidak menggunakan bahan-bahan yang seharusnya digunakan, tetapi yang penting bentuknya mirip lalu melabeli produknya sebagai Korean food. “Makanan frozen saos Korea skrg udah nggak ada yg enak, ngasih saos pada semena-mena bgt dan ga enak. Asal ada topokki doang udah dibilang Korea,” ungkap salah satu pengguna Twitter.
Saat ini Korean food memang masih satu-dua ditemui pada jejeran street food di Indonesia dengan permintaan yang tak setinggi dulu tentunya. Kualitas dan keautentikan produk ini dirasa kurang layak untuk dipromosikan sebagai daya tarik wisatawan. Penilaian dasar dari hidangan adalah rasa. Jika mengecewakan lalu apa? Selain rasa, hal menarik di balik suatu hidangan itu juga dibutuhkan untuk menarik para calon pelanggan. Maka, sebaiknya dalam memilih ide produk dagangan itu dipertimbangkan secara matang. Tidak harus autentik, tetapi juga tidak serta merta menelannya mentah-mentah. Ide tersebut dapat diinovasi lebih dahulu dan dapat dipertanggungjawabkan nantinya.
Perlu ditekankan bahwa street food tidak hanya menjual makanan musiman dan makanan luar non autentik tentunya. Masih banyak ditemui pedagang makanan asli Indonesia yang nilai keautentikannya masih terjaga. Jangan salah! Sekalipun pedagang street food menawarkan makanan dan minuman musiman atau non autentik mereka tetap membantu perputaran roda perekonomian. Meskipun akan sangat jauh dari keajegan apalagi perkembangan. Tentunya masih banyak pr yang harus digarap pemerintah mengenai hal ini. Masyarakat baik sebagai pedagang maupun pembeli juga harus lebih bijaksana dan ikut serta mendukung upaya dalam menciptakan budaya kuliner yang lebih ideal di Indonesia yang diharapkan dapat dijadikan daya tarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
Defitri Dwi Nugraheni
Kab. Sleman
[email protected]