Katanya, nama panggilan itu penanda keakraban. Misalnya, Anisa menjadi Caca, Rheza menjadi Kriwil, Faiz menjadi Jitong, atau Nisrina menjadi Kumis. Memang begitu kok. Bentuknya bermacam-macam bahkan terkadang malah menjelma menjadi julukan. Yah kalian tahu sendiri lah betapa beragamnya nama panggilan di Indonesia. Semuanya ada, mulai dari yang mendekati nama asli, yang terdengar bagus bahkan sampai yang ngawur blass juga banyak.
Selama hidup, saya telah menyandang beberapa nama panggilan. Ada satu nama yang cukup lucu dan terkenang. Panggilannya, Kumis. Sewaktu Aliyah, terkadang, teman-teman memanggil saya kumis. Ini semua berkat kumis yang nggak seberapa di wajah saya.
Kumis merupakan hal lumrah bagi laki-laki. Bagi perempuan, kumis bisa jadi adalah sesuatu yang nggak diharapkan tumbuh. Tapi, sejujurnya punya kumis tipis juga nggak mengurangi kecantikan seorang wanita, lho. Lihat saja Iis Dahlia, Vanesha Priscilla bahkan Syifa Hadju. Bukan hanya cantik, tetapi manis juga.
Ketika remaja, ternyata saya ditumbuhi banyak rambut tipis yang di bagian wajah. Bukan hanya kumis, tetapi ada juga janggut. Buat saya tidak mengganggu sih, malahan kadang saya senang karena merasa menjadi beda dari yang lain. Jadi boro-boro tersinggung, saya hanya menganggapnya sebagai candaan belaka. Jauh sebelum panggilan kumis disematkan, saya memang berbangga diri karena memiliki kumis tipis.
Sampai suatu waktu, saat pelajaran Biologi kelas 11, guru saya ikut menertawakan kumis tersebut. Barulah saya tahu bahwa kumis tipis pada perempuan identik dengan libido yang tinggi. Iya, saya belum pernah mencari tahu apapun perihal kumis yang nggak seberapa itu. Saat itu, saya hanya menduga-duga ini adalah bagian dari pubertas dan ternyata penyebabnya memang berkaitan dengan hormon. Namanya hirsutisme.
Kalau nggak salah, kejadiannya saat pembahasan bab reproduksi. Ketika menjelaskan materinya tiba-tiba guru saya nyeletuk, “Kalau perempuan ada kumisnya, berarti dia itu ‘jago’,” lalu beliau menyebutkan nama saya sebagai contoh, seisi kelas langsung tertawa. Saya yang saat itu nggak melakukan apa-apa tetapi malah tiba-tiba malu sendiri. Teman-teman yang awalnya nggak tahu tentang mitos itu juga jadi ikut-ikutan meledek. Bahkan, katanya, nama saya juga menjadi contoh di kelas lain. Padahal mau dijadikan contoh pun nggak nyambung kan ya. Contoh dari apa pula?
Yah, saya tahu itu hanya bercanda. Bahkan berkali-kali saat pelajaran biologi, saya juga ikut tertawa karena ‘guyonan’ tersebut. Tapi serius deh, setelah itu, panggilan ‘kumis’ menjadi agak janggal buat saya. Terkadang, ketika saya melewati gerombolan anak laki-laki kelas 11, mereka tertawa sambil memanggil ‘kumis, kumis!’ yang rasanya memang tertuju ke saya. Barangkali maksudnya bukan meledek, tapi sadar nggak sadar saya jadi tersugesti. Rasanya, mereka yang memanggil saya ‘kumis’, pasti mengira kalau saya ini mesum banget orangnya. Padahal itu hanya imajinasi saya sendiri.
Perempuan memiliki rambut berlebih karena disebabkan oleh kondisi medis tertentu. Mulai dari penyebab yang biasa bahkan bisa jadi dia terkena penyakit serius. Coba deh googling. Saya nggak akan membahas ini karena bukan kapasitas saya. Mojok pernah membahasnya di sini.
Optimisme benar-benar berpengaruh terhadap kepercayaan diri. Ini serius loh. Saya yakin pasti di luar sana banyak sekali perempuan-perempuan yang memiliki keadaan sama dengan saya. Terlepas dari masalah kumis, pasti banyak keadaan-keadaan lain yang membuat seseorang merasa gagal dalam memenuhi ekspektasi masyarakat, lalu malah menjatuhkan nilai negatif pada diri sendiri.
Daripada membiarkan kualitas hidup kita menurun karena hal tersebut, lebih baik kita mencoba memberi makna lain atas keadaan tersebut. Misalnya, makna yang membuat pikiranmu menjadi bahagia. Kalau kamu bersikeras dengan perasaan itu, yang terburuk kamu mungkin akan menyabotase dirimu sendiri.
Nisrina Ridiani
Kasihan, Bantul
ninispradita@gmail.com
Uneg-uneg, keluh kesah, dan tanggapan untuk Surat Orang Biasa bisa dikirim di sini