Hidup di Jakarta memang terlihat megah dan serba gemerlap, tapi di balik itu Jakarta punya banyak sisi tidak menyenangkan. Bahasa gaulnya, bittersweet. Biar saya terangkan di sini tentang kota yang membuat 80 persen kehidupan saya tidak tenang.
Dari segi pekerjaan dan gaji, Jakarta memang sudah di atas rata-rata daerah Indonesia yang lain. Pilihan pekerjaannya pun banyak macam dan jenjangnya. Pokoknya di sana itu kita tinggal pilih mau kerja apa dan di mana.
Akan tetapi jangan senang dahulu, pahitnya kerja di Jakarta juga tidak sedikit. Saingan kerja di sana tidak main-main, mulai dari lulusan luar negeri, anak pejabat, anak rantau, anak orang dalam, semua ada. Jadi memang harus mati-matian mengasah kemampuan dan membangunjaringan.
UMR memang tinggi, tapi biaya hidup juga tak sedikit
Kalau dari segi gaji, bekerja di Jakarta memang mendapat gaji yang lumayan. UMR saja sudah menembus Rp4 juta. Pahitnya, walau gaji banyak, biaya hidup di Jakarta juga tidak sedikit. Apalagi kalau tidak bisa mengerem gaya hidup.
Dari segi transportasi, saya melihat banyak orang iri karena di Jakarta sudah memiliki KRL, MRT, LRT, dan busway. Bahkan ada angkot Jaklingko yang gratis. Walau transportasi di Ibu Kota sudah banyak ragamnya, tapi saya sendiri yang sudah 4 tahun tinggal di sana kesulitan untuk bepergian.
Alasannya karena tidak punya kendaraan pribadi. Apalagi kebanyakan rumah di Jakarta itu masuk jauh ke dalam gang-gang atau masuk perumahan. Dengan kata lain, kalau mau mengakses transportasi umum yang bikin iri tadi, harus naik ojek terlebih dulu yang paling tidak menguras kantong hingga sekitar Rp11.000.
Sedihnya naik KRL di Jakarta
Paling menyedihkan ketika bepergian menggunakan KRL. Tarifnya memang murah sih, tapi padatnya penumpang bukan main. Berdiri menjadi seperti kewajiban bagi penumpang yang berangkat bukan jadi stasiun awal.
Dari segi makanan jelas tidak murah. Di warteg misal, beli nasi dengan dua macam oseng, harga termurahnya Rp10.000, jika dikali tiga maka hasilnya lumayan menguras kantong. Pernah saya pernah coba masak sendiri, ujung-ujungnya juga tidak semurah di kampung halaman. Bisa dibayangkan, kalau hidup berkeluarga di Jakarta perlu biaya berapa besar.
Dari segi pertemanan, ini harus pintar-pintar mengaturnya. Kadang kita dipertemukan dengan orang yang lebih kaya atau bahkan kaya banget. Bagian sulitnya, kadang kita diajak nongkrong ke tempat-tempat yang bikin kantong jebol. Di sisi lain, di Jakarta bisa dijumpai juga orang-orang yang kurang mampu. Ada kalanya mereka perlu bantuan dari sisi ekonomi, di sini kita harus pintar-pintar mengatur keuangan kita agar bisa membantu di sisi lain tetap bisa bertahan.
Devinta Cicilia Agustin, Sawangan, Punggelan, Banjarnegara, Jawa tengah., devintacicilia@gmail.com